Liputan6.com, Jakarta - Pelestarian resep makanan Indonesia bukan sesuatu yang bisa ditawar, dan di antara sejumlah upayanya, menjaga alam ternyata punya peran krusial. Setidaknya itu menurut temuan penelitian proyek Pusaka Rasa Nusantara (PRN) yang diinisiasi Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia dan didukung Hibah Dana Duta Besar AS untuk Pelestarian Budaya (AFCP).
Ketua timnya, Meilati Batubara, mengatakan usai peresmian Festival Merayakan Gastronomi Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Jumat, 2 Februari 2024, "Kami menemukan, korelasi antara melestarikan alam dengan makanan ternyata erat banget."
"(Keseharian) masyarakat di daerah masih sangat erat sama alam," imbuhnya. "Warga desa, terutama di Papua atau wilayah lain di daerah Indonesia Timur itu masih melihat alam sebagai pasar, hutan sebagai pasar."
Advertisement
Karena sadar alam adalah sumber pangan yang menyambung hidup dan warisan leluhur, mereka dengan ketat menjaganya. "Masalahnya, kalau orang-orang yang tidak dekat dengan alam, seperti masyarakat perkotaan, jadi tidak merasa perlu menjaga (alam)," ucap Mei. "Kita buang sampah sembarangan atau merusak dengan cara berkebun yang tidak baik."
Mei menyebut bahwa pihaknya ikut prihatin mendengar cerita masyarakat di banyak wilayah selama mereka mendokumentasikan warisan kuliner Indonesia. "Sedih dengar mereka cerita, dulu ada ikan ini, sekarang sudah enggak ada. Dulu kita masih sempat ngerasain tanaman ini, sekarang sudah enggak ada," bebernya.
Tradisi Lokal Penjaga Kelestarian Alam
Mei bercerita bahwa ia dan tim sempat ke Sumatra Barat untuk mendengar bahwa rendang sekarang hanya mengandalkan 55 daun dari awalnya 120 daun. Ia menyebut, "Alasan mereka karena hutannya jauh atau tanamannya sudah tidak ada."
"Jadi, banyak sekali makanan yang hilang karena alam kita rusak," ia menambahkan. "Ada juga yang karena hewannya sudah tidak ada, tanamannya juga sudah tidak ada."
"Kami juga menemukan bahwa ada beberapa daerah yang berupaya merawat alam karena mereka masih senang dengan makanan tertentu, atau sajian itu merupakan bagian dari upacara adat," bebernya.
Di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur dan Papua, misalnya, Mei mencontohkan, punya tradisi sasi. "Khususnya di Raja Ampat," kata dia. "Jadi kalau mereka merasa kok ikannya jadi kecil, jadi sedikit, terus mereka khawatir alam rusak gitu, mereka kemudian memberi waktu istirahat bagi ibu Bumi."
"Duduk bersamalah kepala adat, kepala agama, dan kepala pemerintahan setempat. Mereka memutuskan mensasi daerah ini. Jadi dibatasi, jadi dari pulau ini sampai ke pulau ini, tidak boleh ada penangkapan ikan, dan itu bisa berlangsung sampai bertahun-tahun," Mei menceritakan.
Â
Advertisement
Dilakukan Berdasarkan Hukum Adat
Mei melanjutkan, masyarakat setempat taat dengan aturan sasi karena dilandaskan hukum adat. "Jadi, hukumannya berat (bila melanggar)," ucapnya. "Itu adalah salah satu cara mereka menghormati Bumi."
Di masyarakat NTT, sasi juga dilakukan di darat, membuat warga setempat tidak boleh mengganggu alam. "Mirip nyepi, tapi ini dilakukan seminggu biasanya," kata Mei.
Menurutnya, praktik serupa sudah seharusnya juga dilakukan manusia modern. "Kita tidak bisa terus-menerus 'memperkosa' Bumi lah istilahnya," ujar dia. "Jangan berpikir bahwa bahan pangan itu akan selalu ada. Jangan berpikir bahwa hidup kita jauh dari bahan pangan karena kita hidup di kota."
"Makanan, resep, semua bisa hilang karena perubahan alam atau kerusakan alam," tuturnya, seraya menambahkan penting adanya gerakan kolektif untuk menjaga Bumi demi memperpanjang usia resep warisan asli Indonesia.
"Salah satu yang kami temukan, masyarakat adat di Kalimantan ada yang mendorong pelestarian (buah) tengkawang dengan mengajukan habitatnya jadi hutan lindung," katanya lagi bercerita.Â
Festival Merayakan Gastronomi Indonesia
Topik keeratan resep warisan dan keberlanjutan alam ini jadi salah satu yang dibahas dalam gelaran Festival Merayakan Gastronomi Indonesia yang masih akan berlangsung sampai 11 Februari 2024 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Selama festival berlangsung, pengunjung dipersilakan menjelajah Pop Up Gastronomy Museum untuk lebih memahami sejarah dan budaya kuliner Indonesia. Di samping itu, ada juga instalasi ragam bumbu makanan khas Nusantara, ruang pamer khusus makanan-makanan fermentasi lokal, alat-alat makan dan masak, serta tidak ketinggalan, macam-macam rempah yang memperkaya, sekaligus jadi ciri khas kuliner Indonesia.
Tidak berhenti di situ saja, karena mereka juga menggelar demo masak tradisional. Ada juga Taste Workshop yang agendanya berbeda-beda setiap hari, mulai dari karbohidrat dan kacang-kacangan, cascara tea, tengkawang butter, sagu Nusantara, madu hutan, sampai pemanis alami selain tebu.
Selain itu, terdapat pula food film screening dan culinary mural live art. Melengkapi agenda, rangkaian Culinary Talk pun tidak kalah seru. Topiknya mulai dari kuliner dan alam, wisata kuliner, memuliakan sisa makanan, sampai panggung fermentasi Nusantara.
Salah satu acara spesial di Festival Merayakan Gastronomi Indonesia adalah Traditional Communal Dinner yang, sesuai namanya, menyajikan makanan tradisional yang dimasak langsung para juru masak lokal dari berbagai penjuru Indonesia. Pilihannya, yakni:
- Kuliner Hutan Papua
- Hidangan Khas Keraton Buton
- Kuliner Kutai Kartanegara
- Kuliner Khas Pulau Samosir
- Kuliner Khas Gorontalo
Sementara agenda lain selama festival bisa diikuti secara gratis, Traditional Communal Dinner punya tiket masuk seharga Rp320 ribu per orang dan calon pengunjung diminta mendaftar di bit.ly/MerayakanGastronomiFeast.
Advertisement