Sukses

Bayi Kurang dari 6 Bulan di Gaza Terpaksa Makan Kurma, ASI Ibu Tidak Keluar di Tengah Langkanya Susu Formula

Makanan padat yang diberikan pada bayi kurang dari enam bulan ini kemungkinan tidak dapat dicerna, tapi para orangtua putus asa karena dihadapkan pada risiko kelaparan di tengah perang di Gaza.

Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari empat bulan sudah perang Israel di Gaza berlangsung, membuat warga sipil di wilayah kantong itu menghadapi krisis kemanusiaan yang parah. Kondisi mengenaskan ini pun tidak mengecualikan para bayi, yang mana banyak di antara mereka terancam malnutrisi, bahkan kelaparan.

Saking sulit, bayi berusia kurang dari enam bulan terpaksa diberi makanan padat, seperti kurma. "Saya tidak bisa membelikannya susu fomula karena kami tidak punya cukup uang. Kami bahkan tidak bisa membeli popok. Saya coba menyusuinya, tapi (ASI saya) seperti air," cerita seorang ibu, dikutip dari Middle East Eye, Sabtu, 10 Februari 2024.

"Ia tidak mau (meminum ASI saya), karena ia tidak merasakan nilai gizinya," si ibu menambahkan.

Pengakuan serupa datang dari ibu lain bernama Zainab al-Zein. Ia mengaku terpaksa mengambil keputusan putus asa: memberi makan bayi perempuannya, yang baru berusia 2,5 bulan, makanan padat yang mungkin tidak dapat dicerna tubuh mungilnya. Menurut al-Zein, pilihannya adalah itu atau melihat bayinya kelaparan karena susu formula langka di Gaza.

"Saya tahu kami melakukan sesuatu yang merugikannya, tapi tidak ada apa-apa," kata al-Zein, sambil memberi makan biskuit hancur pada putrinya yang menangis di tenda dingin yang kini mereka sebut rumah, dikutip dari AP. "Ia menangis dan menangis terus."

Perang di Gaza telah memicu bencana kemanusiaan yang menyebabkan kekurangan bahan pokok. Beberapa yang paling terdampaknya adalah bayi, anak-anak, dan orangtua mereka, yang mana popok dan susu formula sulit didapat atau harganya melonjak hingga tidak terjangkau.

2 dari 4 halaman

Pengiriman Bantuan yang Terhambat

Penderitaan mereka semakin rumit karena pengiriman bantuan yang terhambat pembatasan Israel dan pertempuran yang tiada henti. Pengungsi Palestina juga semakin terdesak ke wilayah yang kian sempit, sehingga memicu wabah penyakit, yang mana anak-anak kekurangan gizi sangat rentan terdampak.

PBB mengatakan, penduduk Gaza berada dalam risiko kelaparan, dan seperempat penduduknya sudah kelaparan. Bagi warga Palestina yang mengalami kondisi yang semakin mengerikan, tindakan paling mendasar, seperti mengganti popok anak, telah jadi sebuah kemewahan yang membutuhkan pengorbanan.

"Saya menjual makanan anak-anak saya agar bisa membeli popok," kata Raafat Abu Wardeh, yang memiliki dua anak yang memakai popok.

Bantuan tidak menjangkau semua orang, dan kekurangan bahan pokok telah menyebabkan harga meroket. Dengan hancurnya perekonomian Gaza, hanya sedikit warga Palestina yang memiliki pendapatan tetap dan sebagian besar menghabiskan tabungan mereka atau hidup dari bantuan.

Di kios-kios darurat, anak-anak yang lebih besar bekerja sebagai pedagang asongan, menjual popok satuan dengan harga tiga hingga lima shekel (sekitarRp13 ribu--Rp21 ribu) atau satu bungkus dengan harga hingga 170 shekel (sekitar Rp723 ribu). Sebungkus popok sebelum perang berharga 12 shekel sekitar Rp51 ribu).

3 dari 4 halaman

Penyebaran Penyakit

"Harga popok sangat tidak masuk akal," kata Anis al-Zein, yang membelinya di sepanjang jalan di pusat Deir al-Balah dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan Zainab. "Seorang anak membuat Anda mengeluarkan uang 20 shekel (sekitar Rp85 ribu) sehari."

"Apalagi dalam situasi buruk seperti ini, semua harga melambung tinggi dan tidak ada pendapatan bagi masyarakat. Bahkan tidak ada bantuan," imbuhnya.

Beberapa orangtua beralih menggunakan popok kain, namun popok tersebut perlu dicuci dengan air yang juga jarang ditemukan. Mohammed al-Khatib, manajer program lokal Bantuan Medis untuk Palestina yang berbasis di Inggris, mengatakan, beberapa orang terpaksa membeli popok yang lebih kecil dan merekatkannya.

Kurangnya produk segar, menjamurnya kedai makanan yang tidak diatur, dan cuaca dingin telah berkontribusi terhadap penyebaran penyakit, termasuk infeksi saluran pernapasan, ruam kulit, dan diare. "Saat ini musim dingin, dan anak-anak sering kali basah kuyup," kata al-Khatib.

Perang telah menimbulkan kehancuran tidak terbayangkan, dengan lebih dari 27 ribu warga Palestina tewas dan hampir 67 ribu orang terluka dalam serangan Israel, menurut pejabat kesehatan setempat.

4 dari 4 halaman

Kekurangan Gizi sampai Ancaman Kelaparan

Kurangnya popok telah menambah buruknya kondisi sanitasi bagi sekitar 1,7 juta pengungsi Palestina. UNICEF mengatakan minggu ini bahwa sebagian besar pengungsi hanya mendapat 1--2 liter air sehari untuk minum, memasak, dan mencuci.

Dikatakan bahwa diare kronis di kalangan anak-anak terus meningkat. UNICEF menyebut, pengiriman bantuan ke Gaza tidak memenuhi kebutuhan yang sangat besar.

Badan tersebut memperkirakan 20 ribu bayi hingga usia enam bulan membutuhkan susu formula, yang telah diberikan UNICEF bersama kebutuhan lain, termasuk popok dan uang tunai. "Ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anak di Gaza," kata juru bicara UNICEF Ammar Ammar.

Kebutuhan bayi adalah bagian dari ancaman lebih luas terhadap 335 ribu anak di bawah usia lima tahun di Gaza, yang berisiko tinggi mengalami kekurangan gizi parah, kata UNICEF. "Bagi banyak keluarga di Gaza, ancaman kematian akibat kelaparan sudah kian nyata," kata Ammar.

Kantor kemanusiaan PBB mengatakan pada Rabu, 7 Februari 2024, pemeriksaan baru-baru ini menunjukkan bahwa hampir 10 persen anak-anak di bawah usia lima tahun menderita kekurangan gizi akut, peningkatan 12 kali lipat dibandingkan sebelum perang.

Angka ini bahkan lebih tinggi di Gaza utara, yang sebagian besar telah terputus dari bantuan selama berbulan-bulan.