Sukses

Eksistensi Literasi Bahasa Daerah Lewat Program Revitalisasi, Memunculkan Kebanggaan Penutur Aslinya

Saat mengidentifikasikan keberagaman bahasa di dunia, maka Indonesia yang memiliki 718 bahasa daerah tentunya patut bangga. Ini mencirikan kekayaan budaya yang tak dimiliki oleh bangsa lain, sehingga sebagai salah satu pemilik bahasa terbanyak harus merawatnya.

Liputan6.com, Jakarta - Saat mengidentifikasikan keberagaman bahasa di dunia, maka Indonesia yang memiliki 718 bahasa daerah tentunya patut bangga. Ini mencirikan kekayaan budaya yang tak dimiliki oleh bangsa lain, sehingga sebagai salah satu pemilik bahasa terbanyak harus merawatnya.

Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan oleh UNESCO diperingati setiap tahunnya pada 21 Februari adalah bentuk pengingat bagi setiap penduduk dunia tentang betapa pentingnya bahasa ibu. Sebuah langkah tepat yang diambil untuk menjaga bahasa ibu dari kepunahan.

"Bahasa daerah ada peningkatan semangat untuk penutur setelah ada program revitalisasi bahasa daerah," ujar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan E. Aminudin Aziz dalam wawancara telepon dengan Liputan6.com, Jumat, 16 Februari 2024.

Pria yang akrab disapa Prof. Amin ini mengungkapkan, dari program revitalisasi bahasa daerah telah diluncurkan sejak 2022 terdapat peningkatan antusiasme keikutsertaan program. Sebelumnya pada pra-program yang berlangsung pada 2021, pemerintah hanya menargetkan peserta program sebanyak 1.500 orang saja, tapi ternyata diikuti oleh 1,2 juta orang.

Pada 2022 program berlanjut dengan penyebaran di 13 provinsi meliputi 39 bahasa daerah yang diajarkan dan menghasilkan peserta sebanyak 2,9 juta orang. Berlanjut pada 2023, program tersebut juga mengalami peningkatan penyebaran dengan 72 bahasa yang diajarkan untuk 25 provinsi. 

"Dari target 3,5 juta orang peserta, tapi jumlahnya lebih dari 5,1 juta orang (yang ikut program)," ungkap Amin.

Menurutnya, antusiasme masyarakat dilatarbelakangi model pembelajaran yang menyenangkan. Peserta bahkan boleh memilih jenis bahasa daerah yang sesuai minat. "Alhamdulilah, semangat mereka tumbuh dan malah bertanya-tanya kapan diadakan lagi," tukas Amin lagi.

2 dari 4 halaman

Pemanfaatan Teknologi untuk Pelestarian Bahasa Daerah

Amin menyebut bahwa teknologi menjadi faktor pendukung bagi pengembangan revitalisasi bahasa daerah. Hal ini lantaran pembelajaran bisa menggunakan materi yang sudah diunggah.

Teknologi juga memudahkan mereka yang tidak bisa hadir secara langsung dengan belajar melalui daring. Seperti melalui podcast, kata Amin, ini menjadi fasilitas bagi pembelajaran bahasa daerah.

Para pembelajar bahasa daerah kini juga ada yang ikut mendukung pelestarian bahasa daerah dengan membuat konten-konten edukatif. "Mereka buat konten di medsos bisa jadi rujukan di daerah, ada yang di TikTok ada yang di YouTube.

Namun meski ada antusiasme, Amin mengingatkan bahwa tujuan program revitalisasi bukan untuk mencegah kepunahan bahasa daerah. "Karena sebuah keiscayaan bahasa daerah akan punah kalau tidak digunakan, ini kita berupaya memperlambat," jelasnya, sambil menambahkan bahwa dengan program tersebut akan muncul tunas baru sebagai agen yang melestarikan bahasa daerah. 

Punahnya bahasa ibu, tambahnya, dipicu oleh berbagai faktor yang utamanya karena sikap bahasa dari penuturnya. "Tidak melihat bahasanya berwibawa untuk berkomunikasi atau dinilai tidak keren," katanya. Pihaknya pun mengusahakan agar para penuturnya memiliki perasaan bangga atas bahasa daerahnya, bahkan bisa jadi sumber penghasilan untuk orang-orang yang kreatif memanfaatkannya. 

3 dari 4 halaman

Metode Pembelajaran Bahasa Daerah Sesuai Kebutuhan

Setidaknya terdapat tiga bahasa daerah yang dominan dipakai di masyarakat serta ada muatan kurikulumnya yaitu bahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Di sisi lain, pentingnya program revitalisasi bahasa juga semakin memacu keinginan orang mempelajari bahasa daerah, karena metodenya memiliki 3 tipe berbeda disesuaikan dengan kebutuhan.

Untuk tipe a, bahasa tersebut merupakan bahasa dominan yang dipakai di masyarakat dan dijadikan muatan lokal tapi hanya di wilayah tertentu karena tidak bisa digunakan di daerah lain. Sementara tipe b adalah revitalisasi di sekolah dan masyarakat, biasanya yang menggunakanan penggiat komunitas.

Lalu tipe c, kebanyakan bahasa yang ada di wilayah timur Indonesia seperti Kalimantan, NTT, dan Maluku yang paling banyak bahasa daerahnya. "Tipe c pembelajaran hanya di masyarakat, balai desa dan kelurahan, gereja, masjid, maupun sanggar," katanya lagi.

Menurut Amin, lantaran mengadopsi model yang berbeda untuk revitalisasi bahasa daerah, pihak UNESCO sempat merasa kaget, bahwa Indonesia dengan bahasa paling kompleks bisa menerapkan model tersebut. Dirinya yang mewakili Indonesia, bahkan diminta berbicara di UNESCO mengenai metode tersebut untuk berbagi dengan bangsa lainnya di dunia dalam pelestarian bahasa ibu.

4 dari 4 halaman

Keluarga Garda Terdepan Pelestarian Bahasa Daerah

Lebih jauh, Amin mengatakan bahwa keluarga merupakan garda pertama dan terakhir yang menjadi pewarisan bahasa daerah. "Kalau punya kepedulian maka itu jadi kabar baik yang akan menjadi titik cerah mempertahankan bahasa daerah," kata Amin.

Sementara itu, pentingnya merawat bahasa daerah diungkapkan oleh Ennitan Octavia, seorang perantau di Jakarta yang merupakan orang Batak asli Toba-Samosir. "Kalau di orang Batak istilahnya nggak tahu bahasa Batak dibilang dalle, ibaratnya dia orang batak tapi tidak tahu silsilah keluarga dari kampung mana dan biasanya di tanah rantau itu disebut dalle," ungkap Enni saat wawancara telepon dengan Liputan6.com, Jumat, 16 Februari 2024. 

Menurutnya, masyarakat Batak yang sangat menjaga budayanya mudah teridentifikasi dari penggunaan nama marga. "Kalau ketemu orang batak biasanya langsung berbahasa batak," sambungnya sambil menambahkan saat di kampungnya, otomatis orang Batak akan berkomunikasi dengan bahasanya.

Penggunaan bahasa Indonesia bahkan untuk formal seperti kepada guru dan saat ada di kampungnya orang yang berbahasa Indonesia biasanya akan langsung dianggap "kekotaan". Di rumah, ia dan suami karena berasal dari suku yang sama, selalu berbicara dengan bahasa ibu mereka. Tujuannya pun agar anaknya yang masih balita, kelak setidaknya sudah terbiasa mendengarkan bahasa Batak. 

Pentingnya pelestarian bahasa daerah di lingkup keluarga juga dirasakan oleh Nur Faiza. Sebagai perantau di Jakarta, ia menggunakan bahasa daerah karena nenek buyutnya serta sang ibu sudah terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Madura dan Jawa. 

Faiza mengaku sejak kecil terbiasa berbahasa Madura dengan ibunya yang orang asli Kalimantan tapi lama bermigrasi ke Jember yang kebanyakan ditinggali oleh penduduk dari suku Madura. "Nenek buyut agak sulit berbahasa Indonesia, mamanya suami juga pakai bahasa Sunda di rumah," kata Faiza sambil mengungkap alasan penggunaan bahasa daerah di rumah agar di antara anggota keluarga tetap bisa berkomunikasi lebih baik. 

Saat dewasa dan pindah bekerja di Jakarta, logat Jawanya pun medok. Tapi ia sama sekali tidak merasa terasing karena sering jadi bahan ledekan. Kebiasaan di keluarganya itu juga memudahkannya berkomunikasi saat pulang kampung, ia jadi bisa tahu percakapan orang sekitarnya dan tak kesulitan bergaul.Â