Liputan6.com, Jakarta - Profesi influencer mendapatkan momentumnya di masa pandemi. Saat orang tak bisa berkegiatan secara bebas, media sosial menjadi sarana mengekspresikan diri hingga mencari penghidupan. Tak jarang, generasi Z alias Gen Z yang tergiur dengan kesan mudahnya mendapatkan uang bermodal popularitas.
Mengutip laman New York Post, Jumat, 23 Februari 2024, laporan terbaru mencatat bahwa pasar influencer yang didominasi megabintang internet seperti Charli D’Amelio dan MrBeast meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak 2019. Tak heran, industri itu menggerakkan sektor lain.
Baca Juga
Universitas ternama seperti USC, Cornell, Duke, dan Chapman bahkan telah meluncurkan kursus yang didedikasikan untuk influencer bagi mereka yang ingin menjadi terkenal. South East Technological University di Irlandia juga mengambil komitmennya dan menawarkan gelar sarjana seni bagi para pemburu popularitas.
Advertisement
Beauty influencer, Shantania Beckford (29), beralih dari tunawisma menjadi orang yang menghasilkan lebih dari 12.500 dolar AS sebulan yang setara Rp200 juta. Ia mendapatkan banyak endorse dari perusahaan-perusahaan mewah seperti Sephora, Reebok, dan Gym Shark, berkat ketenaran di media sosial.Â
Akan tetapi di balik kesenangan menjadi influencer, banyak Gen Z yang mengalami depresi lantaran tidak bisa melakukan kegiatan lain selain bergaya di depan kamera. Banyaknya tuntutan yang dihadapi membuat mereka tertekan, bahkan depresi, karena harus tampil sempurna. Akhirnya, para influencer ini lebih memilih meninggalkan dunia mereka dan mencari kegiatan lain.
Â
Influencer Alami Depresi
Hannah Warling (26) misalnya, yang sempat terjun ke dunia tersebut kini tidak lagi menjadi influencer yang berada di bawah pusat perhatian. Ia harus terus-menerus mengunggah konten seperti tutorial menata gaya, unggahan promosi untuk orang-orang mewah seperti Ralph Lauren dan Jimmy Choo, membuat dirinya tidak puas. Syuting solo di rumah setiap hari pada akhirnya membuat orang yang mengaku "ekstrovert" itu terjerumus ke dalam depresi.
Menurutnya, menjadi seorang influencer itu sama saja dengan menjual diri sendiri kepada dunia. Ketika menjadi seorang influencer, berarti kita yang menjadi produknya. Pekerjaan tersebut menuntut orang selalu aktif sepanjang waktu.
"Saat menjadi seorang influencer, Anda menjadi produknya. Anda menjual diri Anda kepada dunia," ujarnya dari Los Angeles menjelaskan kepada The Post.Â
"Dan ketika Anda adalah produknya, Anda tidak bisa berhenti. Anda harus selalu aktif sepanjang waktu. Anda terus memperbarui media sosial Anda, membuat video, melakukan kesepakatan merek karena mata pencaharian Anda bergantung padanya," tambahnya.
Advertisement
Dicuci Otak oleh Tekanan Tanpa Henti
Dari sekitar 10,2 juta trendsetter digital di seluruh AS, sejumlah influencer terkenal lainnya meninggalkan dunia influencer yang mewah. Pengalaman serupa yang juga dirasakan oleh Ana Wolfermann (22) yang telah mencapai kesuksesan hingga bisa mendapatkan akses eksklusif ke acara-acara New York Fashion Week dan bertemu orang-orang terkenal lainnya.
Ia bahkan memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada lulusan perguruan tinggi yang baru lulus. Namun, Ana memilih untuk berhenti setelah tiga tahun.
Selain keuntungan menjadi pionir, Wolfermann mulai merasa "dicuci otak" oleh tekanan yang tak henti-hentinya untuk mengunggah dan tampil demi kesenangan media sosial. Dia mengunggah dalam Tiktoknya bahwa "ini bukanlah hal yang ingin saya lakukan secara penuh waktu".
"Ketika saya melakukan apapun dalam hidup saya, saya harus meluangkan waktu untuk mengambil foto atau merekam video saya," katanya. "Saya benci itu. Ini adalah pekerjaan yang terlalu mementingkan diri sendiri," ujarnya kepada The Post.
Memulai Pekerjaan Baru yang Membuat Nyaman
Marisa Kay (25) menyingkirkan diri dari dunia influencer fesyen. Abigail Grace (25) seorang ahli kebugaran dan tata rias dari Arkansas, juga melakukan hal yang sama karena merasa tidak dapat menjalani kehidupan yang nyaman. Sementara, Georgie Morley, seorang vlogger kesehatan juga beralih menjadi fotografer pernikahan.
Banyak Gen Z yang meninggalkan gemerlap dunia influencer karena mereka merasa lelah dan tertekan. Rata-rata mereka tidak mau terus menjalani kehidupan yang kacau-balau.
Setelah berhenti menjadi influencer, Warling yang berkisah di awal akhirnya mendapatkan pekerjaan penuh di kantor sebagai ahli strategi pertumbuhan sosial di sebuah perusahaan mode pada September 2023 lalu. Warling mengatakan kepada The Post bahwa dia tidak pernah sebahagia ini.
"Saya suka bekerja dalam lingkungan tim yang memberi saya struktur sehari-hari dan komunitas tatap muka," katanya seraya menambahkan bahwa dia masih menikmati membuat konten media sosial di waktu senggangnya dari waktu ke waktu.
"Sekarang, saya bekerja di lingkungan yang tidak hanya berpusat pada diri saya sendiri – ini tentang membantu orang lain, dan itu membuatku merasa baik," ungkapnya.
Advertisement