Liputan6.com, Jakarta - Puntung rokok termasuk jenis sampah yang paling banyak ditemukan di ruang publik. Karena ukurannya yang kecil, banyak orang menganggap sampah jenis ini tidak terlalu merusak ekosistem. Namun, hasil penelitian menemukan sebaliknya.
Sebuah studi di Amerika Serikat menguji berapa banyak puntung rokok dalam satu liter air dapat membunuh separuh dari ikan yang ada dalam tangki. Hal ini disebut sebagai LC50 atau Lethal Concentration 50 percent. Hasilnya, kadar racun pada satu puntung rokok cukup untuk meracuni satu liter air.
"Puntung rokok itu banyak tapi tidak kelihatan dan tidak banyak yang peduli soal itu," tutur Ujang Solihin Sadikin, Kepala Sub Direktorat Tata Kelola Produsen KLHK pada webinar Hari Peduli Sampah Nasional yang diadakan oleh Aliansi Zero Waste bersama Nexus Foundation dan Yayasan Lentera Anak, Selasa, 27 Februari 2024.
Advertisement
Karena itu, pria yang akrab disapa Uso itu menyatakan bahwa pemerintah perlu memasukkan puntung rokok dalam kategori limbah B3 (bahan beracun berbahaya). Ia merespons rekomendasi yang diajukan oleh Jalal, Penasihat Komite Nasional Pengendalian Tembakau dan Yuyun Ismawati, Co-Founder dan Penasihat Senior Nexus Foundation pada webinar yang bertajuk "Dampak Filter Plastik Puntung Rokok Terhadap Kesehatan dan Lingkungan."
Ujang menambahkan bahwa keberadaan sampah puntung rokok tidak terhitung dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). "Kalau perlu, puntung rokok masuk sebagai jenis sampah sendiri sehingga jelas jumlahnya berapa dan muncul di SIPSN-nya KLHK," tuturnya ketika menjadi penanggap dalam acara tersebut.
Saat ini, puntung rokok diklasifikasikan sebagai limbah berbahaya (B3) menurut peraturan Uni Eropa. Sampah puntung rokok dapat melepaskan berbagai bahan kimia yang berasal dari pengolahan tembakau. Misalnya, residu pestisida dari pemanenan, titanium dioksida dari proses produksi, atau logam yang hadir karena proses pembakaran.
Pencemaran Puntung Rokok Semakin Memprihatinkan
Dalam studi independen yang dilakukan sekelompok peneliti pada 2002 terhadap filter rokok milik Philip Morris, ditemukan bahwa perusahaan tersebut sudah berbohong selama 50 tahun soal filter rokoknya yang cacat. Hal ini dapat terdeteksi sebab rokok produksi Philip Morris melepaskan filter rokok yang mengandung cellulose acetate atau partikel lain dalam kondisi tidak tersaring atau normal.
Karena terbuat dari selulosa, puntung rokok masih bisa didaur ulang. Namun, butuh lima tahun untuk satu buah puntung rokok untuk bisa terurai. Daur ulang puntung rokok dapat menghasilkan insektisida atau bahan korosif sebab keadaannya yang sudah terkontaminasi dengan nikotin, tar, dan logam.
Yuyun merekomendasikan pengelolaan terhadap sampah puntung rokok ini mesti diterapkan dengan menagih pertanggungjawaban sosial dari perusahaan penghasil rokok. Selain itu, Yuyun menilai perlu pengembangan program dan insentif bagi perusahaan yang dapat menarik kembali sampah puntungnya dan mendaurulangnya menjadi hal lain yang berguna dan tidak merusak lingkungan.
"Pemerintah juga harus ikut berkolaborasi dengan mendukung penelitian tentang bahaya rokok terhadap lingkungan dan mendorong produsen rokok untuk mencari bahan pengganti filter rokok saat ini," ucap Yuyun.
Advertisement
Tanggung Jawab Sosial Produsen Rokok yang Perlu Dikejar
Di lain sisi, Penasihat Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Jalal, berpendapat bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan rokok kontradiktif dengan tujuan berdirinya suatu lembaga CSR. Jalal menyebut bahwa CSR perusahaan rokok tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai bagian yang bertanggung jawab secara sosial untuk memperbaiki dampak buruk dari produksi perusahaannya.
"Apa yang dilakukan oleh CSR dari perusahaan rokok ini adalah apa yang disebut sebagai Corporate Social Irresponsibility (CSI)," ujarnya.
Contohnya, kata dia, dampak lingkungan produksi rokok terhadap perubahan iklim yang terbesar ada pada pertanian dan pengeringan daun tembakau, tidak banyak dilaporkan oleh industri rokok itu sendiri. Menurut dia, dampak lingkungan dari konsumsi rokok jauh lebih besar daripada konsumsi daging merah.
Jalal mengemukakan salah satu cara untuk bisa menjerat industri rokok untuk bertanggung jawab adalah dengan pemberlakuan Extended Producer Responsibility (EPR) dengan perusahaan produsen tetap bertanggung jawab atas dampak buruk yang dihasilkan dari produk-produknya, suatu hal yang industri rokok tak pernah lakukan.
Ke mana Harus Menuntut Keadilan untuk Alam?
Rekomendasi kebijakan yang dilayangkan para aktivis akhirnya berkutat pada pentingnya menuntut tanggung jawab sosial perusahaan rokok untuk menarik kembali puntung rokok yang menjadi limbah. Mereka juga meminta pemerintah untuk mempertegas regulasi produksi terkait rokok, menghentikan pemotongan pajak (tax heaven) bagi perusahaan rokok, memasukkan puntung rokok sebagai kategori limbah B3, dan mulai berbenah untuk membersihkan limbah rokok yang sudah mencemari tanah selama bertahun-tahun.
Terkait dengan meminta komitmen perusahaan rokok, masing-masing dari pembicara dan pendamping memberikan jawaban yang berbeda-beda. "Komitmen harusnya dijawab oleh perusahaan rokok sendiri sebagai bentuk pertanggungjawaban CSR mereka," jawab Yuyun.
"Saya merasa bahwa soal komitmen ini mungkin harusnya dijawab oleh Kementerian Perindustrian dengan perusahaan rokok ini. Bahkan jika boleh, diadakan cukai sampah puntung rokok yang ditanggung oleh produsen," tambah Uso.
Sementara, Kepala Yayasan Lentera Anak menyatakan, "Melihat ke belakang sepertinya kita tidak bisa meminta komitmen kepada mereka. Seharusnya produksi mereka diregulasi sehingga perusahaan rokok ini tidak merasa di atas angin."
Advertisement