Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak cara untuk menunjukkan perlawanan dan para perempuan Cape Malay, sebutan untuk keturunan muslim dari Indonesia dan tempat lain yang diperbudak di Afrika Selatan, menunjukkan lewat kue. Nama kue itu tweegevrietjie, dikenal pula sebagai kue bermuka dua, dan Hertzoggie.
Tweegevrietjie memiliki ciri berwarna merah jambu dan cokelat yang mencolok. Sedangkan, Hertzoggie adalah makanan dengan cangkang biskuit renyah diisi dengan selai aprikot kental dan di atasnya diberi meringue kelapa yang dibumbui lembut sebelum dimasukkan ke dalam oven.
Pada dasarnya, tweegevrietjie sama dengan Hertzoggie. Namun alih-alih topping meringue, kue tersebut dihiasi dengan gula icing: setengah merah muda dan setengah coklat. Chef sekaligus penulis buku masak Muslim legendaris, Cass Abrahams, mengatakan itu adalah representasi visual dari 'orang kulit putih berhati hitam yang mengingkari janji'.
Advertisement
Mengutip Aljazeera, Selasa, 5 Maret 2024, kue ini diciptakan oleh perempuan pendukung seorang nasionalis afrikaner, JBM Hertzog, yang berkulit putih pada 1920-an. Kue terus dibuat di Partai Nasional yang menerapkan politik apartheid (pemisahan orang kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan) pada 1948.
Perempuan Cape Malay adalah pendukung Hertzog dan janji-janjinya. Menurut Cass Abrahams, Hertzog membuat dua janji. "Dia mengatakan bahwa akan memberikan hak pilih kepada perempuan, dan hy sal die slawe dieselfde as die wittes maak (dia akan membuat para budak setara dengan orang kulit putih)," ujarnya.
Perempuan Cape Malay tersebut tentunya bahagia mendengar janji Hertzog. Namun, Hertzog mengingkari janjinya yang kedua pada 1930 dengan membiarkan mereka kehilangan haknya. Perempuan Cape Malay kembali membuat kue versi kedua sebagai bentuk sarkastik.
Tweegevrietjie memiliki tekstur kasar dan tidak enak sama sekali. Kue tersebut sampai saat ini masih dipanggang dan dapat dijumpai pada acara minum teh Cape Malay, pernikahan, pemakaman, terutama saat Idul Fitri.
Janji Kosong Politikus Afrika Selatan
Pada 1920-an, politik di Afrika Selatan berpusat pada apa yang disebut sebagai “native question”, yaitu mencari solusi yang dapat diterapkan terhadap kebenaran bahwa jumlah penduduk 'kulit berwarna' jauh melebihi jumlah penduduk berkulit putih. Persatuan Afrika Selatan baru didirikan pada 1910.
Berkat konstitusi 'gado-gado' yang disepakati secara tergesa-gesa, setiap provinsi mempunyai aturan pemungutan suara yang berbeda. Perdana Menteri Jan Smuts menolak untuk menjawab native question”, dia berharap bahwa pertanyaan tersebut akan terjawab dengan sendirinya. Sebaliknya, saingan berat Smuts, Hertzog, memiliki gagasan yang sangat jelas tentang cara menyelesaikan pertanyaan tersebut.
Sejak 1919 dan seterusnya, sebagai pemimpin oposisi, Hertzog berupaya bersama untuk memenangkan suara 'kulit berwarna'. Kesepakatan baru yang dibuatnya sederhana, tulis Gavin Lewis dalam sejarah penting politik kulit berwarna di Afrika Selatan,
"Sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap kebijakan (Hertzog), kelompok kulit berwarna akan ikut serta dalam hak istimewa yang ditetapkan bagi pekerja kulit putih, dan akan menjadi pekerja kulit berwarna dan dikecualikan dari pembatasan yang diterapkan pada orang Afrika."
Advertisement
Perempuan Dianggap Membawa Kemunduran Demokrasi
Berkat janji ini, Hertzog yang berkoalisi dengan Partai Buruh mampu menggulingkan Smuts pada Pemilu 1924. Tapi, hanya di Afrika Selatan yang beranggapan bahwa dengan melibatkan perempuan dalam pemilihan suara justru akan membawa kemunduran bagi demokrasi. Karena itu, Hertzog kemudian melakukan upaya melalui Undang-Undang (UU) Pemberian Hak Perempuan pada 1930.
Namun, seorang sejarawan, Mohamed Adhikari, mengatakan bahwa UU tersebut berdampak pada jumlah suara Hertzog. Hertzog telah kehilangan jumlah suara dari warga kulit berwarna, dari 12,3 persen jadi 6,7 persen hanya dalam semalam.
"(Undang-undang tersebut) mewakili perubahan yang terjadi pada pihak Hertzog. Sepanjang akhir tahun 1920-an, ia mencoba menarik pemilih kulit berwarna agar mendukung Partai Nasional dengan prospek 'Kesepakatan Baru' yang akan memberi mereka kesetaraan ekonomi dan politik, namun tidak setara secara sosial dengan orang kulit putih. Tindakan ini hanyalah perkembangan terbaru dalam tren terkikisnya hak-hak sipil kulit berwarna selama beberapa dekade," jelasnya.
Karena marah, perempuan kulit berwarna kembali memanggang tweegevrietjies (kue bermuka dua) sebagai bentuk ekspresi kekecewaan mereka.
Perang ideologi di Dapur
Seorang penulis buku masak dan koki TV, Fatima Sydow, berbicara kepada Al Jazeera sebelum kematiannya pada Desember 2023, menafsirkan topping kue tersebut dengan lebih harfiah.
"Bibi saya selalu mengatakan kepada saya bahwa, baginya, lapisan gula berwarna merah muda dan cokelat adalah representasi visual dari Undang-Undang Area Kelompok yang mendukung apartheid. Hal ini mengingatkannya bahwa dia tidak bisa duduk di bangku atau berenang di pantai itu," jelasnya.
Undang-undang tersebut telah membawa perubahan. Pinggiran kota, pantai, sekolah, pekerjaan, kereta api dan bus hanya diperuntukkan kelompok ras tertentu.
Satu hal yang tidak diragukan lagi, kata Abrahams, adalah bahwa hal itu merupakan 'tindakan pembangkangan'. Sydow mengamini, "Rakyat saya tidak bisa berekspresi secara vokal karena mereka akan ditangkap. Jadi, mereka membiarkan kue mereka yang berbicara."
Profesor Studi Perempuan, Gender, dan Seksualitas di Penn State University, Gabeba Baderoon, mengatakan bahwa dari perbudakan hingga pasca-apartheid, "dapur membentuk arena yang tak henti-hentinya, berbahaya, dan transformatif di mana terjadi persaingan yang tidak seimbang antara para budak dan perempuan. Pemilik dan budak diperangi. Pada akhirnya, orang-orang yang diperbudak datang untuk membentuk masakan Afrika Selatan dengan cara yang tidak terduga."
Advertisement