Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Pakistan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang mahasiswa berusia 22 tahun karena membagikan foto dan video di WhatsApp yang menggambarkan Nabi Muhammad, menurut sebuah laporan. Mengutip New York Post Selasa, 12 Maret 2024, seorang remaja berusia 17 tahun juga dinyatakan bersalah atas kasus yang sama, tetapi divonis berbeda.
Menurut BBC, perbuatan semacam itu dapat dihukum mati di negara Muslim tersebut. Federal Investigation Agency (FIA) Pakistan mengajukan pengaduan pada 2022 dan hukuman mati dijatuhkan minggu ini pada Maret 2024 di pengadilan setempat di Kota Gujranwala, sebelah utara Lahore.
Baca Juga
Pria berusia 22 tahun, yang tidak disebutkan namanya, dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah karena memiliki foto dan video yang berisi pernyataan yang mengejek Nabi Muhammad dan para istrinya, menurut outlet tersebut. Sementara, remaja berusia 17 tahun yang juga tidak disebutkan namanya, dinyatakan bersalah karena membagikannya. Dia lolos dari hukuman mati karena usianya, kata para pejabat.
Advertisement
Kedua terdakwa membantah tuduhan tersebut. Pengacara mereka mengklaim kedua terdakwa tersebut telah 'dijebak dalam kasus palsu'. Namun, FIA mengklaim bahwa penyidik telah memeriksa isi telepon kedua terdakwa dan menemukan 'materi tidak senonoh'. Ayah dari pemuda 22 tahun itu mengatakan kepada BBC bahwa akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Lahore.
Kasus penistaan agama sangat umum terjadi di Pakistan. Meskipun tidak ada seorang pun yang pernah dieksekusi, hukum soal penistaan agama adalah hal yang umum di Pakistan.
Kasus Penistaan Agama Sering Terjadi di Pakistan
Meski sebagian besar hukuman dibatalkan saat naik banding oleh pengadilan yang lebih tinggi, massa yang main hakim sendiri telah membunuh puluhan orang bahkan sebelum sebuah kasus diajukan ke pengadilan. Mereka yang terbunuh termasuk penganut agama minoritas, politisi terkemuka, pelajar, ulama, dan orang-orang dengan penyakit mental.
Mereka dibakar sampai mati, digantung oleh massa, ditembak mati di ruang sidang, dibacok sampai mati di pinggir jalan, serta bentuk-bentuk eksekusi di luar hukum lainnya. Pada Agustus 2023, undang-undang penistaan agama di Pakistan kembali mendapat sorotan setelah kaum muslim membakar gereja-gereja dan rumah-rumah orang Kristen di bagian timur negara itu. Mereka menuduh dua anggota komunitas tersebut menajiskan Alquran.
Mengutip Al Jazeera, pada Jumat, 18 Agustus 2023, polisi Pakistan menangkap dua orang Kristen yang dituduh menistakan agama. Sebuah tuduhan yang tidak terbukti menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW seperti ini pun dapat menyebabkan pembunuhan di tangan orang-orang yang main hakim sendiri.
Polisi mengatakan sejauh ini mereka telah menangkap 146 orang yang terlibat dalam serangan terhadap komunitas Kristen di Jaranwala, kawasan industri kota Faisalabad pada Rabu, 16 Agustus 2023.
Advertisement
Undang-undang Penistaan Agama Telah Dikodifikasi
Undang-undang penistaan agama telah dikodifikasikan di Pakistan sejak pemerintahan Inggris, tetapi diperluas di bawah pemerintahan militer Pakistan, menurut outlet tersebut. Pada 1980, terdapat komentar yang menghina tokoh-tokoh Islam. Perilaku tersebut merupakan tindakan ilegal yang dapat dipidana hingga tiga tahun penjara. Sedangkan untuk penistaan terhadap Alquran, pelakunya bisa dipenjara seumur hidup setelah undang-undang tersebut diamandemen pada 1982.
Kemudian pada 1986, sebuah klausul terpisah ditambahkan untuk menjadikan penistaan terhadap Nabi Muhammad dapat dihukum dengan 'hukuman mati atau penjara seumur hidup'. Para kritikus mengatakan undang-undang penistaan agama sering disalahgunakan terhadap kelompok minoritas Pakistan dan bahkan terhadap umat Islam untuk menyelesaikan masalah pribadi.
Undang-undang tersebut yang sebagiannya adalah warisan dari bekas penguasa kolonial Inggris, jarang digunakan hingga 1970-an. Namu, pada 1980-an, undang-undang tersebut diperkuat sebagai bagian dari upaya untuk mengislamkan negara pada masa kediktatoran militer Jenderal Muhammad Zia ul-Haq.
Mantan Perdana Menteri, Imran Khan, pun mendukung undang-undang tersebut dan pada 2021 menyerukan negara-negara mayoritas Muslim untuk bersatu melobi pemerintah Barat agar mengkriminalisasi penghinaan terhadap nabi umat Islam.
Para Hakim Seringkali Menghadapi Tekanan untuk Menjatuhkan Hukuman
Menurut media dan peneliti lokal, setidaknya 85 orang telah dibunuh sehubungan dengan tuduhan penistaan agama sejak 1990. Para hakim yang mengadili kasus penistaan agama melaporkan bahwa mereka menghadapi tekanan untuk menjatuhkan hukuman, apapun bukti yang ada, dan takut akan kekerasan fisik jika mereka tidak menjatuhkan hukuman.
Ketika kekerasan anti-penistaan agama terjadi, polisi setempat terlihat berdiri di samping dan membiarkan massa melakukan serangan mereka. Sering kali, mereka takut dicap sebagai 'penista agama' karena tidak mengizinkan hukuman mati tanpa pengadilan.
Sejak 2011, ketika Gubernur Punjab, Salmaan Taseer ditembak mati oleh pengawalnya atas seruan agar undang-undang penistaan agama direformasi, perdebatan arus utama mengenai masalah ini hampir mustahil terjadi. Saat ini, tuduhan penistaan agama palsu sering kali dilontarkan sebagai cara untuk menekan lawan yang berselisih, termasuk oleh para pemimpin politik terkemuka.
Menurut Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat, pada 2023, setidaknya ada 53 orang yang ditahan di seluruh Pakistan atas tuduhan penistaan agama.
Advertisement