Liputan6.com, Jakarta - Menemukan Indonesia di Singapura rasanya tidaklah sulit, termasuk di Galeri Nasional Singapura yang menjadi pusat ruang pamer karya seni dari berbagai negara. Meski begitu, hati saya terharu melihat banyak karya seniman Indonesia dipajang bersanding dengan karya para seniman internasional.
Itu terjadi di pameran bertajuk Tropical: Stories from Southeast Asia and Latin America yang diklaim sebagai pameran komparatif ekspresi artistik besar pertama di dunia. Berlangsung dari 18 November 2023 hingga 24 Maret 2024, pameran ini mencakup abad ke-20, dan mengeksplorasi kisah nyata para seniman, pemimpi, dan penulis yang berani mengancam konvensi, dan memupuk solidaritas setelah kolonialisme.
Baca Juga
Lebih dari 200 lukisan, patung, gambar, pertunjukan, dan instalasi imersif oleh lebih dari 70 seniman. Terbagi menjadi tiga tema besar yang semuanya meminjam dari tiga literatur legendaris, yakni The Myth of the Lazy Native karya sosiolog Malaysia kelahiran Bogor, Indonesia, Syed Hussein Alatas; Bumi Manusia yang dibahasaInggriskan menjadi This Earth of Mankind karya Pramoedya Ananta Toer, serta Subversive (El Filiburterismo) karya Jose Rizal, pahlawan nasional Filipina.
Advertisement
Â
Masing-masing bagian mengkomparasi karya seniman Asia Tenggara dan Amerika Latin, mencoba menarik benang merah antara belahan bumi yang berbeda walau sama-sama berada di Selatan Bumi. Ditemukanlah kesamaan latar belakang sejarah, yakni dua kawasan itu mengalami era kolonialisme alias penjajahan.
Shabbir Hussain Mustafa, kurator senior galeri itu menerangkan bahwa inti dari pameran itu terletak pada pencarian tak tergoyahkan para seniman dan pemikir dari Asia Tenggara dan Amerika Latin yang berusaha untuk mengklaim posisi mereka yang sah dalam sejarah seni dan seterusnya. Semangat pemberdayaan dan perubahan coba ditangkap dengan menggunakan pendekatan berbeda saat memajang karya.
Â
Â
Kisah Perang Puputan Bali di Galeri I
Di Galeri I, mata saya tertumbuk pada dinding berwarna biru yang menceritakan kisah Bali, tepatnya soal perang puputan Badung. Perang penghabisan rakyat Bali untuk mempertahankan tanahnya dari penjajah itu nyatanya direkam oleh seniman Belanda W.O.J Nieuwenkamp. Pada 1906, ia ikut dalam rombongan pasukan Belanda yang mendarat di Pantai Sanur dan langsung dihadang rakyat dan keluarga Kerajaan Badung di Istana Denpasar. Peristiwa itu direkamnya lewat beberapa lukisan.
Seketika ingatan saya melayang pada koleksi perhiasan emas milik Pangeran Dewa Agung Gede Agung di Museum Nasional, Jakarta. Diceritakan bahwa ada lima kali perang puputan di Bali, termasuk Puputan Klungkung. Permaisuri dan putra mahkota gugur pada 28 April 1908. Raja Klungkung terakhir Ida I Dewa Agung Gede Jambe pun gugur dalam pertempuan melawan Belanda bersama prajurit setianya.
Cerita soal Bali diulas berdasarkan interpretasi pelukis Prancis Paul Gauguin soal daerah tropis. Di saat ia menggambarkan situasi di Tahiti lewat lukisan berjudul Poor Fisherman, pada saat yang sama Bali juga sejak lama digambarkan sebagai pulau tropis yang eksotis. Tapi, Pulau Dewata itu tak melulu bercerita soal pariwisata. Ada sisi lain yang bisa dikulik dari sudut pandang berbeda.
Advertisement
Dari S. Soedjojono hingga Semsar Siahaan
Masih di ruang yang sama, yang ditata terbuka tanpa sekat, saya juga menemukan lukisan karya S. Soedjojono berjudul Ibu Menjahit di sana. Namanya tersohor sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia. Rupanya, lukisan yang menampilkan figur istri Sudjojono, Mia Bustam yang sedang mengandung itu dipinjamkan oleh Galeri Nasional Indonesia ke Galeri Nasional Singapura.
Yang tak kalah menarik perhatian adalah lukisan nyentrik karya Semsar Siahaan. Sejumlah karyanya disebar di beberapa titik dalam pameran tersebut, termasuk lukisan berjudul Olympia Identity with Mother and Child di Galeri I. Lukisan itu merupakan salah satu bentuk kritik sang seniman kepada penguasa saat lukisan dibuat pada 1988, yakni Orde Baru.
Cerita tentang sosok Semsar bahkan diberi tempat khusus di Galeri 2 yang bertema Bumi Manusida. Diceritakan bahwa saat masih menjadi mahasiswa FSRD Institut Teknologi Bandung, ia memprotes karya dosennya, Sunaryo, berjudul Torso. Menurutnya, karya Sunaryo telah merampas budaya masyarakat Papua, khususnya Suku Asmat.
Ia pun menyeret karya patung dosennya ke lapangan kampus dan membakarnya. Ia lalu membungkusnya dengan daun pisang sebagai simbol 'penyembuhan' dan menamai ulang karya itu sebagai Oleh-Oleh dari Desa. Karya tersebut rupanya disimpan dengan baik oleh Sunaryo sebagai bukti bahwa ia tak marah dengan ulah mahasiswanya, tetapi justru mengapresiasinya sebagai seniman berbakat.
Dirancang Interaktif dan Menyenangkan
Walau secara garis besar isu yang diangkat cukup berat hingga dahi berkerut, kurator pameran merancang sejumlah titik yang bisa membuat pengunjung bersenang-senang. Topeng dari kanvas yang berbau misalnya. Selain bisa dipakai sebagai properti untuk foto Instagram, pengunjung juga dirangsang keterampilan sensorinya.
Di bagian lain, Anda bisa menemukan busana unik untuk kostum saat berfoto. Sementara, favorit saya terletak di City Hall Chamber tempat karya instalasi Helio Oiticica yang berjudul Tropicalia dipamerkan pertama kali di Asia Tenggara. Karya tersebut dijelaskan merupakan kritik terhadap konstruksi populer Brasil sebagai "surga tropis".
Karya seni tersebut menginterogasi realitas kompleks kehidupan sehari-hari di Dunia Selatan. Pengunjung diajak melangkah menjadi karya seni yang menampilkan lempengan beton, tumbuhan, macaw, pasir, kerikil, dan kayu struktur, memasuki dunia multi-indera ketika mereka merenungkan penjajaran yang nyata antara stereotip indah dan kenyataan pahit kehidupan Brasil.
"Tropical mewujudkan upaya Galeri untuk mendorong pemahaman yang lebih baik tentang seni rupa Asia Tenggara, sejarahnya, dan hubungannya dengan sejarah seni global. Kami berharap pameran ini akan berkontribusi pada wacana yang sedang berlangsung mengenai pembingkaian ulang seni modern, yang dapat terwujud berkat dukungan seniman, kolega, dan mitra berharga di seluruh dunia," kata Eugene Tan, Direktur Galeri Nasional Singapura dalam sambutan pembukaannya, akhir November 2023.
Pada 1 April 2024, Eugene diangkat menjadi CEO Galeri Nasional Singapura menggantikan Chong Siak Ching. Ia juga akan menjabat sebagai CEO SAM sekaligus Ketua Gugus Seni Rupa (VAC).
Advertisement