Liputan6.com, Jakarta - Malam Lailatul Qadar adalah salah satu keistimewaan bulan Ramadan yang disebutkan bakal mendapatkan kebaikan setara 1000 bulan. Tidak ada yang tahu kapan malam Lailatul Qadar, tapi disebutkan bisa jatuh di malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, yakni pada malam ke 21, 23, 25, 27, 29, hingga 31.
Waktu ini disebut sebagai saat yang tempat bagi umat Muslim untuk mengintensifikasi ibadahnya, termasuk dengan iktikaf. Selain itu, masyarakat di berbagai tempat menyambut Lailatul Qadar dengan tradisi berbeda-beda. Berikut beberapa tradisi masyarakat Indonesia dalam menyambut sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
1. Selikuran ala Kasunanan Surakarta
Advertisement
Malam Selikuran Kasunanan Surakarta merupakan salah satu bentuk tradisi untuk menyambut malam Lailatul Qadar yang telah terlaksana sejak masa pemerintahan Pakubuwono IX (1861-1893). Tradisi ini disebut Selikuran karena dilaksanakan pada malam ke-21 Ramadan.
Dikutip dari ejournal.uinsaizu.ac.id, Selasa (26/03/2024), Tradisi Selikuran dilakukan dengan upacara pembacaan doa keselamatan kepada Allah SWT dengan hidangan tumpeng sebanyak seribu buah yang akan dibagi-bagikan kepada para abdi dalem dan masyarakat. Upacara ini dilakukan di Masjid Agung Surakarta.
Setelah pembacaan doa selesai, tumpeng-tumpeng tadi akan diarak para abdi dalem dengan berjalan kaki menggunakan lampu (ting). Lauk pendamping yang disediakan bersama nasi tumpeng, antara lain kedelai hitam, telur puyuh matang, cabai hijau, rambak, dan mentimun. Masyarakat biasanya antusias berebut untuk mendapatkan nasi tumpeng dan lauk-pauknya.Â
2. Maleman di Masjid Agung Demak
Beda cerita di Demak. Mereka memiliki tradisi menyambut malam Lailatul Qadar dengan bermalam di masjid atau maleman. Tradisi maleman di Masjid Agung Demak dimulai sejak zaman Wali Songo dan diteruskan ke masa Kerajaan Demak dan berlanjut hingga saat ini.Â
Dilansir dari, ejournal.undip.ac.id, ritual khusus maleman di Masjid Agung Demak dimulai pukul 00.30 sampai pukul 02.00. Pada acara ini, masjid akan dibuka pada pukul 23.00, setelah sebelumnya dikosongkan sehabis jemaah salat taraweh.
Begitu masjid dibuka, jemaah yang telah berdatangaan segera memenuhi ruangan utama masjid dan biasanya mereka melaksanakan salat tahiyyatul masjid kemudian tadarus Alquran. Setelah itu, imam memimpin rangkaian ibadah Lailatul Qadar yang sudah pakem rangkaiannya dari tahun ke tahun, berupa salat tasbih empat rakaat dan salat sunnah mutlak dua rakaat, lalu membaca wirid.
Â
3. Liquran oleh Masyarakat Melayu Pontianak
Sementara, masyarakat Melayu Pontianak menyambut malam Lailatul Qadar yang dimulai pada malam ke-21 di bulan Ramadhan. Tradisi ini sering disebut sebagai malam Liquran. Diambil dari jurnal.untan.ac.id, masyarakat Melayu Pontianak menyambut malam Liquran dengan membuat gerbang dari Keriang Bandong.
Keriang Bandong adalah permainan sejenis lampu hias. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti ikan, bulan sabit, bintang, bahkan dengan hanya menggunakan obor atau pelita yang dihidupkan dan dihias di depan teras rumah.
Keriang bandong disiapkan pada malam pertama hingga malam ketujuh Liquran.. Menghidupkan lampu-lampu ini diyakini sebagai tanda agar malaikat singgah ke rumah mereka dan sebagai ungkapan suka cita menyambut malam yang penuh dengan kemuliaan.
Advertisement
4. Dile Jojor bersama Warga Nusa Tenggara Barat
Masyarakat Muslim Lombok pada umumnya masih melaksanakan tradisi unik dengan menyalakan "Dile Jojor", sejenis obor kecil yang terbuat dari bahan buah jamplung yang diolah dan dibakar. Dilansir dari laman lombokbaratkab.go.id, tradisi yang masih mirip dengan Liquran di Pontianak ini dilakukan setiap malam ganjil di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.Â
Tradisi Dile Jojor diawali dengan membawa dulang berisi nasi dan lauk pauk yang diantarkan ke masjid untuk berbuka puasa bersama tokoh agama dan masyarakat. Biasanya, Dile Jojor dinyalakan setelah ibadah salat Maghrib. Dusun yang semula gelap menjadi terang terkena sinar dari nyala api Dile Jojor.
Selain fungsi budaya, alasan dinyalakannya Dile Jojor adalah sebagai penerang jalan orang yang akan mengantarkan zakat fitrah. Sebelum masuknya listrik ke negeri seribu masjid ini, para pembayar zakat akan menunggu hingga Dile Jojor ini dinyalakan.
Â
5. Hepatirangga dari Wakatobi
Tradisi Hepatirangga adalah budaya yang dilakukan oleh orang Wanci dari Wakatobi. Dilansir dari journal.fib.uho.ac.id, Hepatirangga adalah tradisi mewarnai kuku dengan menggunakan daun pacar. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu. Mereka akan mengumpulkan anak-anak yang baru pulang salat tarawih atau anak-anak yang tidak mengikuti salat untuk dipakaikan Hepatirangga.
Pembuatan Hepatirangga adalah dengan mengunyah atau menggiling daun pacara hingga halus. Setelah itu, para ibu akan memakaikannya pada anak-anak dengan rentang usia 1 hingga 15 tahun, sambil diceritakan sebuah kisah rakyat. Sedangkan, anak-anak yang berusia 16 tahun ke atas ada yang dipakaikan oleh orangtuanya atau mereka akan melakukan bersama teman-temannya.
6. Rabas Sowan di Halmahera Selatan
Dikutip dari journal.iain-ternate.ac.id, Rabas Sowan adalah tradisi dari Halmahera Selatan yang sudah diwariskan secara turun temurun. Tradisi malam Lailatul Qadar ini dilakukan dengan sebuah ritual yang meliputi satu pohon pisang utuh yang masih ada daun dan buahnya, satu pohon tebu dengan daunnya yang kemudian disatukan dan diikat di depan rumah lalu dihiasi dengan kertas minyak warna-warni.
Pada pohon pisang tersebut digantungkan juga hadiah dan kudapan seperti kue andara yang terbuat dari beras yang digiling, ketupat mini, uang pecahan Rp1000, Rp5000, Rp10.000 bahkan sampai Rp100.000. Pemasangan hadiah dilakukan dari waktu sore pukul 16.00 dan anak-anak akan dipersilahkan berebut mengambil hadiah pada saat azan Maghrib. Konsepnya mirip dengan saweran aqiqah yang di mana hadiah ditancapkan di buah kelapa, sedangkan ini di batang pisang.
Rabas Sowan ini dibuat ketika anak-anak telah menyelesaikan puasanya. Dalam kegiatan ini, anak-anak bisa menikmati kebersamaan dan perayaan bulan Ramadan yang lebih berkesan.
Advertisement