Liputan6.com, Jakarta - Gambar bernuansa alam yang digunakan pada label sampo, gel mandi, dan krim mungkin membuat Anda berpikir bahwa Anda melakukan hal yang berarti bagi lingkungan. Eits, jangan tertipu penampilan produk skincare maupun kecantikan lain.
Visual yang mengundang tidak selalu berarti menunjukkan komitmen tulus terhadap ekologi, dan mungkin hanya memanfaatkan persepsi ramah lingkungan untuk mengarahkan suatu produk ke keranjang belanja Anda. "Sangat populer untuk beriklan pada kemasan kosmetik dengan gambar tanaman dan daun, bunga, dan buah," kata Kerstin Effers, staf perlindungan lingkungan dan kesehatan di pusat saran konsumen di kota Düsseldorf, Jerman, dikutip dari SCMP, Rabu (10/4/2024).
Menurut Effers, Anda harus mencermati apakah kemasan suatu produk menyatakan bahwa produk tersebut mengandung sejumlah bahan alami yang tampaknya "terlalu bagus untuk jadi kenyataan," misalnya 98 persen. Hal ini karena kandungan air dalam produk juga dapat dimasukkan dalam informasi ini berdasarkan peraturan Uni Eropa.
Advertisement
"Jika membeli sampo atau sabun mandi cair, misalnya, yang mengandung 80 persen air, Anda akan dengan cepat mencapai 98 persen (klaim alami) yang disebutkan," kata advokat konsumen tersebut. "Namun, jika menghitungnya tanpa air, bukan hanya dua persen, melainkan 10 persen yang tidak berasal dari alam."
Bahkan jika produsen mengatakan suatu produk bebas dari bahan tertentu, hal ini pada akhirnya tidak memberi tahu Anda apapun tentang komposisi lain. Klaim "bebas dari mikroplastik" tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa plastik larut lain yang tidak terurai dengan baik telah digunakan.
Perhatikan Urutan Penulisan Bahan-Bahan
Bila bahan-bahan tertentu diiklankan, setidaknya Anda harus melihat posisinya dalam daftar bahan. "Sering terjadi kosmetik yang diiklankan mengandung bahan nabati, yang sering kali hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit, padahal bahan utamanya adalah bahan kimia sintetis," kata Effers.
Berbeda dengan bahan makanan, persentase bahan yang diiklankan pada judul produk kosmetik tidak harus dicantumkan. Namun, bahan-bahannya harus dicantumkan dalam urutan kuantitasnya. "Mungkin saja Anda membeli krim lidah buaya, misalnya, dan lidah buaya masih tercantum setelah bahan pengawet di bahannya," sebut dia.
Penting juga untuk mengetahui bahwa jika kata kunci "upcycling" digunakan untuk produk kecantikan atau perawatan kulit, ini mungkin berarti bahwa bagian tanaman telah digunakan untuk produk yang seharusnya tidak digunakan, seperti biji kacang atau kulit buah. Namun, tidak ada persyaratan hukum untuk penggunaan istilah tersebut pada produk yang dijual di Uni Eropa.
Berdasarkan undang-undang UE yang disahkan pada Januari 2024, produsen tidak akan dapat menghiasi label dengan kata-kata, seperti "ramah lingkungan," "netral iklim," atau "dapat terurai secara hayati" tanpa memberikan bukti kuat mengenai hal ini.
Advertisement
Kemasan Ramah Lingkungan
Negara-negara anggota Uni Eropa masih harus menyetujui undang-undang yang disahkan Parlemen Eropa, dan punya waktu dua tahun untuk mengubah arahan tersebut jadi undang-undang nasional. Saat memilih produk yang dibuat dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan, ada baiknya mencari merek kosmetik alami, kata Effers.
Ia menyebut, "Banyak zat yang menimbulkan masalah, baik bagi kulit atau lingkungan, yang tidak dimasukkan sejak awal." Jika ingin menambah poin dengan kemasan ramah lingkungan, produk kosmetik padat adalah pilihan yang baik, seperti sampo padat dalam bentuk batangan, menurut Effers.
Bentuknya yang lebih padat, sebut dia, mengurangi jumlah kemasan plastik yang dibutuhkan. Biasanya, barang yang dijual tanpa kemasan "tidak terlalu dipertanyakan dari segi bahannya, terutama yang memiliki segel kosmetik alami," katanya. "Ini jelas merupakan alternatif yang baik dibandingkan produk konvensional berbahan dasar air dalam botol plastik besar."
Di Indonesia, Head of Communication & Engagement Waste4Change, Hana Nur Auliana, mengatakan bahwa sudah semakin banyak merek kecantikan yang menginisiasi program pengumpulan kemasan produk mereka. Beberapa di antaranya bahkan memperbolehkan kemasan brand lain untuk ikut dikumpulkan dalam programnya.
"Tren ini kian dilirik brand karena mereka melihat semakin eco-conscious-nya para konsumen. Jadi, semakin brand dapat memenuhi kebutuhan pengelolaan sampah kemasan, semakin loyal pula mereka (konsumen)," tuturnya melalui pesan, 23 Juli 2021.
Risiko Pemalsuan Produk
Dengan menumpuknya sampah kemasan produk kecantikan, pihaknya menilai, ada risiko pemalsuan produk. "Menggunakan kemasan bekas dan ramuan produk palsu, itu bisa dengan mudah dipasarkan ke masyarakat. Terlebih jika bentuk kemasan, logo unik, dan mudah dibuka untuk diisi ulang," Hana menjelaskan.
Di sisi lain, membuang sampah kemasan skincare sembarangan dapat menimbulkan penumpukan jenis sampah sulit terurai di alam. Penumpukan ini, apalagi jika bercampur dengan material lain, akan menimbulkan gas rumah kaca yang berdampak buruk bagi lingkungan.
"Gas rumah kaca, seperti yang sudah kita ketahui, memengaruhi perubahan iklim. Salah satu tanda perubahan iklim yang bisa kita lihat adalah curah hujan tinggi dan tidak kenal musim lagi," katanya.
Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Novrizal Tahar, menjelaskan, peran dan tanggung jawab produsen dalam pengurangan sampah kemasan sudah tertera dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Juga, Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Sementara, pedoman pelaksanaan kewajiban produsen dalam pengurangan sampah telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Advertisement