Liputan6.com, Jakarta - Tentara Israel kembali bertindak semena-mena. Mereka menahan istri wartawan koresponden Middle East Eye(MEE) Mohammed al-Hajjar pada Kamis, 2 April 2024. Namun mereka menolak mengungkapkan alasan wanita itu ditahan di pos pemeriksaan militer saat keluarganya melakukan perjalanan ke selatan Kota Gaza.
Sejak melancarkan invasi darat ke Gaza pada akhir Oktober 2023, pasukan Israel telah menahan ratusan warga sipil dari rumah mereka atau saat melarikan diri melalui jalan-jalan yang dinyatakan aman oleh tentara. Beberapa orang telah dibebaskan setelah diinterogasi tapi banyak juga yang dibawa ke lokasi yang dirahasiakan.
Baca Juga
Serbu Rumah Sakit, Tentara Israel Tahan Puluhan Petugas Kesehatan Laki-laki dan Tewaskan 2 Pasien Anak Gaza Utara
Kantor PM Israel Rilis Foto Benjamin Netanyahu di Bunker Saat Serangan ke Iran, Sembunyi?
7 Ledakan Terdengar Saat Israel Serang Fasilitas Militer Iran, Picu Wilayah Udara Teheran Ditutup
Melansir dari laman Middle East Eye, Kamis, Hajjar yang telah bekerja dengan MEE selama lebih dari enam tahun, mengatakan seorang tentara Israel menghentikan keluarganya di sebuah pos pemeriksaan di koridor Netzarim pada Kamis pagi,. Mereka diperintahkan untuk mengambil kartu identitas anggota keluarga dekatnya dan warga Palestina lainnya yang juga menuju ke selatan kota.
Advertisement
Hajjar mengaku diinterogasi tentang semua orang di dekatnya, dan ketika tentara itu memeriksa kartu identitas istrinya, Inas, dia bertanya apa hubungan mereka. Setelah memberi tahu prajurit itu bahwa itu adalah istrinya, prajurit itu berkata: “Berikan kartu identitasnya padanya dan suruh dia datang. Kamu pergi ke selatan”.
"Saya pikir dia ingin menanyakan sesuatu padanya, jadi saya menunggu di luar. Tentara itu kembali dan berkata: ‘Pergi ke selatan, berangkat dari sini’," kenang Hajjar.
Dia kemudian mengatakan ingin menunggu istrinya tetapi segera diancam dengan todongan senjata untuk pergi. Hajjar lalu berusaha menuju ke selatan bersama kedua anaknya yang masih kecil. Setelah berjalan cukup lama di bawah cuaca panas, dia menjatuhkan salah satu tasnya karena kelelahan.
Beberapa jam kemudian, Hajjar mengatakan tentara Israel menelepon saudara laki-laki istrinya, Alaa, dan memintanya untuk mengenakan pakaian putih, dan membawa bendera putih. Ia harus menyerahkan diri jika ingin saudara perempuannya dibebaskan.
Belum Ada Kabar tentang Istri Al-Hajjar
Hajjar mengatakan, Inas, tidak memiliki afiliasi dengan kelompok politik mana pun dan ayahnya pernah bekerja di Israel. Sementara itu, saudara laki-lakinya yang lain bekerja di toko ayahnya dan baik dia maupun teman-temannya tidak terlibat dengan faksi politik mana pun. Ia hanya bisa menduga penhanan istrinya berkaitan dengan profesinya sebagai jurnalis.
Pihak Israel diduga mencoba mengintimidasi wartawan agar tidak memberitakan situasi dan fakta yang sebenarnya terjadi di Palestina terutama di wilayah Gaza. Pihak Israel selama ini memang terkesan berusaha menyembunyikan sejumlah fakta mengenai kekejaman mereka terhadap warga Palestina.
Hajjar mengaku belum menerima kabar lagi tentang istrinya, maupun saudara laki-lakinya yang bertemu dengan tentara Israel. "Saya khawatir mereka akan menganiaya atau melakukan kekerasan terhadapnya. Anak-anak menangis sepanjang waktu, mereka menginginkan ibu mereka," katanya.
Warga Palestina yang ditahan oleh pasukan Israel di Gaza kerap dibawa ke pusat penahanan yang kini terkenal karena menyiksa, menganiaya, dan kondisi yang mempermalukan dan merendahkan martabat para tahanan. Sementara itu, kondisi warga Gaza semakin memprihatinkan. Banyak sampah menumpuk dan cuaca panas melanda Gaza di tengah serangan militer Israel, lalat dan nyamuk berkembang biak di Rafah.
Advertisement
Tenda Pengungsi Seperti Oven Raksasa
Kehidupan menjadi lebih suram bagi para pengungsi yang tinggal di tenda-tenda. Pekan lalu, suhu sudah mencapai 30 derajat celsius, mengubah tenda pengungsi yang terbuat dari terpal dan lembaran plastik jadi "oven raksasa."
Di sebidang tanah di pinggiran kota paling selatan di perbatasan Mesir, sekitar 20 tenda telah didirikan, semuanya dinaungi kain besar yang terbentang di atasnya, rangkum TRT World, dikutip Rabu, 1 Mei 2024. Namun, kain tipis berwarna gelap ini tidak sebanding dengan terik matahari yang menyebabkan suhu meningkat dengan cepat pada akhir April.
Cuaca kering juga membuat air minum dan makanan kian sulit didapatkan pengungsi di Rafah. "Air yang kami minum hangat," kata Ranine Aouni al-Arian, seorang perempuan Palestina yang mengungsi dari kota terdekat Khan Yunis yang hancur, pada AFP. "Anak-anak tidak tahan lagi dengan panas dan gigitan nyamuk, serta lalat."
Ia menggendong bayi yang wajahnya dipenuhi gigitan serangga dan mengatakan bahwa ia berjuang menemukan "pengobatan atau solusi." Di sekelilingnya, kawanan lalat dan serangga lain tidak henti-hentinya berdengung. "Ini pertama kalinya kami melihat begitu banyak (lalat), karena sampah dibuang di mana-mana," kata pengungsi lainnya, Aala Saleh.
Sampah Menumpuk di Gaza
Ia mengatakan, hampir mustahil untuk tidur di dalam tenda, "karena kami terbangun dari gigitan nyamuk, dan perhatian utama kami adalah membunuh serangga-serangga ini." Di tengah gelombang panas dan kondisi lingkungan yang tidak sehat, ia mengaku khawatir akan penyebaran penyakit.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan adanya lonjakan penyakit menular, seperti Hepatitis A, yang disebabkan kondisi tidak sehat di kamp-kamp pengungsian, pada Januari 2024. "Sampah terus menumpuk dan air mengalir langka di Gaza," terang UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, dalam sebuah unggahan di X, minggu lalu. "Saat cuaca semakin panas, risiko penyebaran penyakit meningkat."
Rafah menampung sekitar 1,5 juta pengungsi, menurut PBB. Jumlah itu merupakan lebih dari separuh penduduk Gaza yang telah dikepung dan dibombardir Israel selama hampir tujuh bulan. Sampah menumpuk di jalan-jalan ketika kontainer sampah berukuran besar meluap setelah layanan dasar tidak berfungsi di tengah perang terburuk yang pernah terjadi di Gaza.
Tentara Israel tanpa henti menggempur wilayah Palestina menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan militer Israel telah menewaskan sedikitnya 34.488 orang di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan di wilayah kantong tersebut.
Advertisement