Sukses

Guru Honorer, Nasibmu Kini

Guru honorer telah jadi salah satu ujung tombak pendidikan yang memerdekakan, kendati nasib mereka sering kali jadi praktik peribahasa, "Bagai kucing mati rasa."

Liputan6.com, Jakarta - Guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa bukan karena tidak berjasa, tapi tidak ada yang mampu membalas jasanya. Mereka telah jadi ujung tombak pendidikan yang memerdekakan, kendati nasibnya sering kali jadi praktik peribahasa, "Bagai kucing mati rasa," terutama guru honorer.

Mendengar langsung dari "tangan pertama," ada Sifa Azzahra yang bekerja sebagai guru honorer di PAUD Al-Hafidz di Tajurhalang, Kabupaten Bogor. "Saya mulai jadi guru sejak 2018," katanya melalui pesan pada Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 3 Mei 2024.

"Sejak kecil," ia menyambung. "Saya suka sekali dengan dunia pendidikan. Belajar untuk meningkatkan kualitas diri yang lebih baik gencar saya lakukan, membuka les, dan kegiatan lain."

Cerita lain datang dari Dwiki Kurniawan yang merupakan guru honorer di SMP N 194 Jakarta. "Saya mengajar Bahasa Indonesia kelas delapan dengan kurikulum merdeka," sebut dia, juga lewat pesan, Jumat, seraya menambahkan bahwa ia telah menjalani profesi itu selama sekitar empat tahun.

Tidak ketinggalan, ada pula Ayu yang bekerja sebagai guru honorer di salah satu sekolah swasta di Jakarta. "Saya bekerja sebagai guru honorer sejak 2020 saat masih kuliah di Yogyakarta," kata dia via pesan suara.

Pekerjaan ini dijalani Ayu, karena terkait jurusan kuliahnya. "Saya (ambil studi) pendidikan mata pelajaran, tapi sekarang bekerja jadi guru kelas yang notabene mengajarkan semua pelajaran," imbuh dia. "Senangnya bekerja sebagai guru honorer adalah jadwalnya cukup fleksibel."

 

2 dari 4 halaman

Suka Duka Jadi Guru Honorer

Dwiki bercerita, jadi guru merupakan panggilan hati. "Tidak semua orang mau dan bisa jadi guru," ucapnya. "Dibutuhkan kesabaran yang tinggi untuk mengajar siswa dengan berbagai macam karakter dan kemampuan. Karena itu, sebagian besar orang yang mendaftar sebagai guru merupakan panggilan dari hati masing-masing untuk mendidik para siswa agar jadi lebih baik di masa datang."

Baginya, menjadi guru bukan hanya tentang mengajar, tapi juga belajar di saat bersamaan. "Saat guru sedang mengajar dan menerangkan pada siswa, kami secara tidak langsung juga sedang melakukan proses belajar dan penambahan wawasan untuk diri sendiri, membuat daya ingat dan wawasan seorang guru sangat kuat karena terasah setiap hari," bebernya.

Ditanya soal suka duka, ia menjawab, "Menurut saya, lebih banyak sukanya: dapat melatih kesabaran saya dalam memahami murid, menambah pengalaman saya dalam public speaking, dan (ada) apresiasi murid terhadap guru."

Senada dengan itu, Sifa mengatakan, ia memang bercita-cita jadi guru. "Saya melihat bahwa saya memiliki panggilan hati, kebahagiaan di bidang ini (pendidikan). Saya bermotivasi untuk jadi seorang guru hingga saat ini," kata dia.

Pekerjaan ini menyenangkan untuknya karena membuatnya bertemu anak-anak berkarakter unik. "Menghilangkan stres karena bertemu anak-anak yang lucu dan bermacam tingkah polahnya," ia menambahkan. 

Dukanya, Sifa melanjutkan, gajinya sedikit. "Tapi, hal itu tidak membuat saya berhenti dari dunia pendidikan anak usia dini. Saya malah semakin tertantang mencerdaskan anak usia dini," ujar dia.

 

3 dari 4 halaman

Tidak Ada Jaminan Selama Mendidik

Keluhan serupa diungkap Ayu. Ia berbagi, "Secara bayaran drastis banget sama profesi lain. Dulu 2020 di Yogyakarta, guru honorer sekali datang cuma dibayar Rp75 ribu, jadi seminggu paling enggak dapat Rp150 ribu. Buat saya yang guru honorer mengajar 40 anak dalam satu kelas itu wow banget."

"Terus yang sekarang, gaji masih di bawah UMR, saya juga kaget," ia mengaku. "Saya pikir gaji utama guru UMR Jakarta, tapi setelah lihat slip gaji, jauh di luar dugaan. Untung masih ada uang transportasi, jadi masih bisa dapat sedikit tambahan."

Menurut dia, guru honorer masih kurang diapresiasi. "Dengan gaji segitu, job desc-nya banyak," curhatnya. "Utamanya memang mengajar, tapi kami juga harus mengurusi administrasi yang begitu banyak."

"Kami harus menagih biaya sekolah ke anak-anak yang belum bayar, bahkan saya menyebarkan selebaran penerimaan siswa baru yang seharusnya tidak dilakukan seorang guru. Masa sih guru honorer diperas sebegitunya?" kata dia.

"Dengan gaji segitu, kami harus putar otak lagi bagaimana bisa bertahan hidup di Jakarta yang butuh biaya besar. Apalagi, kami tidak mendapat jaminan apapun dari yayasan," ia menambahkan.

Dalam kasusnya, yang merupakan seorang wali kelas, posisi dalam mendidik anak jadi "terbatas." "(Saya) enggak dapat perlindungan dari yayasan. Tamengnya, 'Maklumlah guru honorer.' Jadi misalnya ada anak di kelas bermasalah, mau bertindak, pasti ujung-ujungnya, 'Maklumlah guru honorer.'"

"Bagaimana bisa menindaklanjuti masalah di kelas kalau tidak dapat perlindungan dari yayasan?" kata dia. 

Ayu berharap akan ada lebih banyak perhatian untuk guru honorer ke depan. "Semoga pendidikan bisa lebih memperhatikan jaminan untuk guru honorer, minimal BPJS. Semoga sesama guru honorer, kita cepat dapat pekerjaan yang pasti," harapnya.

4 dari 4 halaman

Jasanya Dibutuhkan, tapi Haknya Diabaikan

Mengamini itu, Sifa berkata, "Banyak sekali orang yang meremehkan guru honorer, padahal mengetahui karakteristik itu tidak semudah yang mereka bayangkan. Belum lagi harus perbanyak senyum dan sabar yang luar biasa. Sebagai seorang guru, bukan hanya wawasan luas saja yang diperlukan, tapi juga kemampuan komunikasi yang baik."

Dwiki menyambung, "Guru honorer jasanya dibutuhkan, tapi haknya diabaikan, Pemerintah harus peduli akan hak guru honorer, masih banyak guru honorer yang sudah mengabdi belasan, bahkan puluhan tahun, tapi masih belum diangkat jadi ASN."

"Guru honorer berhak mendapat kesejahteraan yang mumpuni dan dapat mengangkat derajat keluarga mereka," ia menambahkan.

Diminta berpesan untuk sesama rekan guru honorer di peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024, ia menyampaikan, "Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga pendidikan di Indonesia semakin maju kualitasnya, (bisa menciptakan) pendidikan yang inklusif, bermutu, dan merata sebagai pilar utama dalam pembangunan bangsa."

Sifa melanjutkan, "Bagi semua guru di Indonesia, tetap semangat dalam mendidik demi generasi masa depan yang cemerlang. Betapa besarnya jasa kalian karena ikut andil dalam membangun dan mempertahankan negara tercinta ini. Jangan khawatir dengan rezeki, karena Tuhan telah menjanjikan hal tersebut pada kita."

Ayu menutup, "Semoga pendidikan lebih baik lagi. Tata cara dalam pendidikan juga (semoga) lebih diperbaiki. Semoga ke depan lebih jelas lagi hak-hak guru honorer itu apa saja."