Sukses

Mengenal Pasar Daur Ulang Limbah Elektronik Informal di Vietnam, Risiko Bahaya di Balik Cuan yang Menggiurkan

Limbah elektronik memenuhi tempat pembuangan sampah di Vietnam. Para pekerja di salah satu pasar mendaur ulang sebagian sampah tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Limbah elektronik memenuhi tempat pembuangan sampah di Vietnam. Hal itu dipandang sebagai peluang tambahan penghasilan oleh para pekerja di salah satu pasar dengan mendaur ulang sebagian sampah tersebut.

Mengutip AP News pada Sabtu, 4 Mei 2024, pria bernama Dam Chan Nguyen (44) termasuk salah satunya. Ia memulai pekerjaannya sebagai pendaur ulang komputer sekarat atau mati total sejak dua dekade lalu di Pasar Nhat Tot, pasar daur ulang informal terbesar di Kota Ho Chi Minh, Vietnam.

Ia awalnya menyelamatkan komputer dengan monitor besar dan prosesor berat. Sekarang, dia kebanyakan bekerja dengan memperbaiki laptop dan sesekali MacBook.

Dari dulu, prinsip utama karyanya tidak berubah, "tidak ada yang sia-sia". Apa yang bisa diperbaiki sudah diperbaiki. Apa yang bisa diselamatkan akan digunakan kembali di tempat lain. Yang tersisa, dijual sebagai barang bekas.

"Kami memanfaatkan segala kemungkinan," ungkap Nguyen kepada AP News.

Toko tempat dia bekerja adalah salah satu dari sekian banyak toko di pasar yang tersebar di beberapa jalan. Toko-toko tersebut ramai dikunjungi oleh pelanggan yang menawar barang-barang elektronik bekas. 

Sebagian besar toko di pasar tersebut merupakan ruangan tunggal yang penuh dengan perangkat elektronik bekas atau limbah elektronik. Para pekerja yang ada di toko tersebut kebanyakan adalah orang-orang dari berbagai wilayah di Vietnam. Mereka bekerja memperbaiki atau menyelamatkan barang-barang seperti laptop, ponsel bekas, lensa kamera, remote televisi, bahkan seluruh unit AC.

2 dari 4 halaman

Bahan Kimia Berbahaya dalam Perangkat Elektronik

Nguyen adalah satu dari tiga karyawan yang ada di toko tersebut. Pengalamannya selama bertahun-tahun dalam bisnis ini telah menghasilkan hubungan dengan pelanggan tetap, termasuk beberapa pusat perbaikan komputer lain yang mengandalkannya untuk pekerjaan-pekerjaan rumit. 

Dia bekerja 11 jam sehari dengan gaji bulanan sekitar 470 dolar AS (Rp7,5 juta), yang artinya sekitar 2,5 kali lipat dari upah minimum di kota terbesar dan termahal di Vietnam. Ini adalah pekerjaan yang menuntut dan tidak disertai dengan tunjangan kesehatan atau rencana pensiun. 

Kesehatan Nguyen baik-baik saja, namun ia mengkhawatirkan potensi bahan kimia berbahaya dalam perangkat elektronik yang ia bongkar tanpa alat pelindung diri. Belum lagi ketika ada cuaca panas ekstrem yang kian meningkat di Kota Ho Chi Minh. Toko kecil ini bisa terasa seperti oven, terutama di musim panas.

"Duduk di sini rasanya seperti mati," katanya. "Saya hanya harus bertahan. Saya harus bekerja untuk mencari nafkah," tambah Nguyen.

3 dari 4 halaman

Limbah Elektronik Makin Membludak, Proses Daur Ulang Lambat

Di Vietnam, biasanya para pekerja sampah menyebar ke rumah-rumah penduduk dan mengumpulkan sampah yang dapat diambil dari tempat sampah di sudut-sudut jalan. Negara lain, seperti Nguyen, telah membangun jaringan untuk memperoleh barang elektronik bekas.

"Kami mendapatkan barang bekas dari mana saja, siapa pun yang menjual, saya beli," katanya.

Adanya kesibukan para pekerja ini melambangkan bahwa dunia menghasilkan lebih banyak limbah elektronik. Menurut informasi, limbah elektronik saat ini lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. 62 juta metrik ton limbah pada 2022, diproyeksikan akan tumbuh menjadi 82 juta metrik ton pada 2030, menurut laporan Persatuan Telekomunikasi Internasional PBB dan lembaga penelitian UNITAR.

Negara-negara Asia menghasilkan hampir separuhnya. Mengelola limbah tersebut adalah salah satu upaya penting dalam mengatasi dampak limbah elektronik yang mengkhawatirkan, seperti bahan kimia yang bocor ke lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. 

Kurang dari seperempat sampah elektronik dikumpulkan dan didaur ulang dengan benar pada 2022. Sebagian sisanya berakhir di tangan pekerja sampah informal, seperti Nguyen, di berbagai belahan dunia. Hal ini terutama terjadi di negara-negara Asia Tenggara yang menurut laporan PBB, tidak ada satu pun limbah elektronik yang dikumpulkan atau didaur ulang secara resmi.

4 dari 4 halaman

Perlu Adanya Kolaborasi

Perusahaan daur ulang formal biasanya memiliki sertifikasi untuk membongkar dan mendaur ulang perangkat elektronik menggunakan mesin canggih. Mereka juga lebih berhati-hati terhadap risiko kesehatan dari limbah elektronik, yang dapat mengandung komponen beracun. 

Anggota Persatuan Telekomunikasi Internasional PBB, Bel, mengatakan bahwa pendaur ulang formal harus mencoba dan bekerja dengan pekerja informal untuk mendapatkan akses terhadap lebih banyak sampah tanpa merugikan mata pencaharian pekerja informal. Hal ini dapat memberikan keuntungan lain, seperti memitigasi risiko kesehatan bagi pekerja informal, dan memastikan bahwa mereka tidak memungut sampah yang paling berharga dan membuang sisanya.

Nguyen juga mengatakan bahwa kolaborasi antara pekerja sampah informal dan formal di Vietnam akan sangat bermanfaat bagi pekerja informal di Vietnam. Dia akan memiliki lebih banyak komputer untuk diperbaiki dan diselamatkan serta menghasilkan lebih banyak uang. 

"Jika kami bisa memformalkan pekerjaan kami, itu akan menjadi sempurna," katanya.

Negara di Asia Tenggara ini merupakan salah satu dari sedikit negara di kawasan ini yang memiliki undang-undang yang mengatur penanganan limbah elektronik. Mereka menyusun rencana nasional untuk mengelola limbah elektronik pada 2020. 

Hal tersebut bertujuan untuk mengumpulkan dan mengolah 70 persen limbah elektronik pada 2025. Mereka juga telah mencoba untuk mengintegrasikan pekerja informal ke dalam sistem formal untuk memberi mereka perlindungan yang lebih baik.

Video Terkini