Sukses

Kontroversi Penghargaan Pulitzer untuk Artikel New York Times Bernada Propaganda Anti-Palestina

Penghargaan Pulitzer untuk tulisan New York Times soal konflik Palestina-Israel dianggap sebagai bentuk propaganda anti-Palestina. Pulitzer dikelola oleh Columbia University yang menolak divestasi dari Israel dan mengusir demonstran pro-Palestina.

Liputan6.com, Jakarta - Konflik yang masih berjalan di Gaza membawa dampak kolateral hingga dalam dunia media. Kantor berita New York Times yang baru saja menerima tiga penghargaan Pulitzer pada Senin, 6 Mei 2024, dituduh telah memanfaatkan artikelnya sebagai propaganda anti-Palestina.

Perusahaan stasiun TV TRTWorld, membagikan sebuah unggahan yang mengangkat kontroversi penghargaan Pulitzer yang diterima oleh kantor berita asal New York, Amerika Serikat tersebut. Unggahan yang dibagikan lewat Instagram itu memberitakan ketidakberimbangan New York Times dalam meliput berita soal konflik di Gaza.

"The New York Times telah memenangkan Hadiah Pulitzer dalam pelaporan internasional atas “liputan luas dan terbuka mengenai serangan mematikan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober," serta melaporkan “respons mematikan yang dilakukan militer Israel,"" tulis akun @trtworld dalam keterangannya pada Selasa, 7 Mei 2024.

Diketahui bahwa New York Times juga menggunakan liputan soal kekerasan seksual berjudul "Screams Without Words: How Hamas Weaponized Sexual Violence on October 7," yang diterbitkan pada Desember 2023. Selain itu, New York Times juga ketahuan menginstruksikan jurnalis mereka untuk menghindari pemakaian kata "genosida" atau "pembersihan etnis". Hal ini mempertegas sikap mereka dalam konflik tersebut yang pro-Israel.

Selain New York Times, beberapa media lain yang menerima penghargaan Pulitzer adalah Washington Post, Reuters, dan AP. Ketiganya diberikan penghargaan atas jasa mereka dalam meliput tema imigran, kekerasan bersenjata, dan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

2 dari 4 halaman

Pulitzer Dikelola oleh Columbia University yang Menolak Demonstran Pro-Palestina

Penghargaan Pulitzer diketahui dikelola Columbia University yang menjadi titik awal pergerakan protes mahasiswa Amerika Serikat pro-Palestina. Columbia University terlibat dalam upaya pembungkaman terhadap demonstran dan memanggil kepolisian untuk 'membersihkan' para pengunjuk rasa dari halaman kampus mereka. 

Dua editor surat kabar mahasiswa Columbia menguraikan dalam sebuah artikel pada akhir pekan ini tentang "penindasan" pemberitaan yang dilakukan universitas, termasuk ancaman penangkapan dari polisi dan tuntutan dari universitas untuk menyerahkan video dan foto, tulis TRTWorld dalam keterangannya.

Sebelumnya, Columbia University mulai menskors aktivis pro-Palestina yang menolak membongkar perkemahan di kampusnya di Kota New York setelah sekolah Ivy League tersebut menyatakan kebuntuan dalam pembicaraan yang bertujuan untuk mengakhiri protes yang terpolarisasi, dilansir dari kanal Global Liputan6.com.

Rektor Columbia University, Minouche Shafik menegaskan pihak kampus tidak akan mendivestasi Israel, yang merupakan tuntutan utama para pengunjuk rasa. Sebaliknya, dia menawarkan investasi di bidang kesehatan dan pendidikan di Jalur Gaza dan menjadikan investasi langsung kampus lebih transparan.

 

 

3 dari 4 halaman

Tuduhan Bias New York Times sudah Tercium Sebelum Pemberian Pulitzer

Tuduhan soal bias anti-Palestina dari media New York Times pernah dilontarkan oleh Profesor Filsafat di Rutgers University sekaligus kolumnis untuk Jacobin, Ben Burgis pada 29 Februari 2024. Dalam artikel berjudul "The New York Times Has an Ugly Anti-Palestinian Bias," Burgis mengutarakan keanehan investigasi New York Times soal kekerasan seksual yang dilakukan oleh Anat Schwarz, seorang non-jurnalis yang memiliki keyakinan anti-Palestina dan memiliki hubungan dengan militer Israel.

Burgis menyebut investigasi New York Times itu sebagai "refleksi ekstrem dari bias pro-Israel yang tidak kunjung padam dalam surat kabar tersebut". Ia menyebutkan bahwa New York Times menggunakan potongan video yang menampilkan seorang wanita berbaju hitam yang terbaring di atas tanah sebagai 'bukti' kekerasan seksual yang dilakukan Hamas. Kini, potongan video tersebut tidak bisa dijumpai di internet meski New York Times mengklaim bahwa video tersebut 'viral'.

Bahkan, Burgis menyebutkan kalau pers Israel, meskipun melaporkan ratusan berita tentang korban 7 Oktober 2023, tidak pernah menyebut "perempuan berpakaian hitam" bahkan dalam berita-berita sebelum terbitnya investigasi dari New York Times tersebut pada 28 Desember 2023.

 

 

4 dari 4 halaman

Jadi Justifikasi Genosida

Burgis juga menyampaikan bahwa ketidakberimbangan investigasi New York Times telah memanas-manasi ketegangan yang terjadi pasca penyerangan 7 Oktober tersebut. Ia menyebut bahwa artikel tersebut membentuk paradigma seolah kekerasan seksual yang terjadi pada satu waktu melainkan penyerangan yang sistematis.

"Taruhannya besar karena narasi negara Israel mengenai peristiwa 7 Oktober, yang sangat menekankan kekerasan seksual, telah digunakan untuk membenarkan kekejaman dalam skala besar," tulis Burgis dalam artikel tersebut.

Ia mengatakan bahwa investigasi New York Times tersebut jadi salah satu faktor yang bertanggung jawab atas terusirnya 1,9 juta warga Gaza akibat upaya balas dendam Israel lewat aksi carpet bombingnya. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sangat sistematis dalam upaya mereka untuk menghancurkan infrastruktur sipil di wilayah tersebut sehingga universitas terakhir yang berdiri di Gaza dihancurkan dalam sebuah pengeboman yang terkendali. Puluhan ribu warga sipil telah terbunuh, termasuk lebih dari dua belas ribu anak-anak, sebut Burgis.

Ironisnya, pembersihan yang dilakukan Israel kepada warga Gaza dalam upaya mengejar Hamas tersebut juga menimbulkan korban kekerasan seksual, hal yang pada awalnya dipakai sebagai senjata memburu Hamas ke Gaza.