Sukses

Darurat Fokus Baca Buku di Tengah Distraksi Dunia Digital dan Budaya Membaca yang Masih Rendah

Budaya membaca yang rendah menjadi salah satu alasan mengapa distraksi dunia digital lewat tayangan audio visual menarik begitu mengganggu individu untuk menjadikan membaca buku sebagai sebuah kesenangan.

Liputan6.com, Jakarta - Buku jendela dunia, lewat buku semua orang bisa memperoleh pengetahuan dan mempelajari berbagai hal. Namun dengan  perkembangan era digital, buku bukan lagi sumber utama atau satu-satunya.

Membaca buku kian sulit, terkalahkan dengan distraksi dunia digital yang tampak lebih menarik melalui tampilan audio dan visual. Memang, orang bisa belajar lewat video tutorial di YouTube atau secara instant memperoleh pengetahuan hanya dengan mendengar dan menonton tayangan. Tapi di balik itu, buku sebenarnya tidak boleh ditinggalkan.

Ada proses mendalam bagi setiap orang saat membaca buku, lewat pengenalan diksi yang baru dan proses memahami suatu informasi kata per kata. Buku menjadi medium penting, meski kini pun sebagian orang beralih membaca buku secara digital melalui lembar halaman PDF. 

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Arys Hilman mengatakan transformasi digital harus disikapi dengan gegap gempita dan sebenarnya bisa menjadi berkah untuk industri buku dan penerbitan. "Ada dua sisi, mendistrupsi media baca tapi memberikan peluang baru," kata Arys, lewat sambungan telepon kepada Liputan6.com, Rabu malam, 22 Mei 2024.

Ia menyambung bahwa, dari berbagai riset masyarakat Indonesia telah mengalami penurunan drastis dalam hal kebiasaan membaca buku sejak 2015. Namun sebenarnya terjadi peningkatan kebiasaan membaca secara daring, lewat platform yang berbeda yaitu melalui media online, termasuk pesan WhatsApp.

Saat ini menurut Arys, pihak penerbit telah mengakali perkembangan zaman ini dengan memproduksi buku dalam format digital yang lebih interaktif yang mirip produk audio dan video. Digitalisasi tak serta-merta mematikan bisnis penerbitan buku dan justru para penulis pun kini bisa mengklaim karyanya secara mudah dalam format digital sebagai HAKI.

2 dari 4 halaman

Digitalisasi Harus Dipandang dari Sisi Positifnya

Lebih jauh Arys mengatakan banyak sumber buku dari dunia digital. Saat penerbit ingin menerbitkan buku baru, maka kini biasanya akan ada proses feedback dari calon pembaca tentang pemilihan cover buku.

Penerbit juga mendapat kemudahan dalam hal pemasaran buku-buku baru dan bisa menjualnya secara daring. "Dan itu memotong biaya pemasaran cukup besar, menangkap keinginan masyarakat dan di sisi pengiriman kita bisa langsung tahu tracking buku, serta berapa harganya," jelas Arys.

Digitalisasi menurutnya harus menjadi berkah. Dunia digital bisa menepis rendahnya penghargaan hak cipta sehingga Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dengan menghargai hak atau karya cipta para penulis maupun kreatornya.

Meski tak dapat menampik, dari sisi lain digitalisasi membawa disrupsi dan membuat penerbit berhadapan dengan platform non-buku. Diakuinya bahwa dunia baca akan kalah dengan Youtube dan platform lainnya seperti TikTok.

Mengutip hasil studi Programme for International Student Assessment, dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) disebutkan bahwa 70 persen siswa Indonesia memiliki kemampuan literasi yang rendah. Ia menyebut kemerosotan literasi terlihat pada 2023, yang mencakup riset tahun 2022 dari OECD.

Riset ini dinilai dari tiga komponen yaitu literasi membaca, literasi numerasi matematika, hingga literasi sains. "Ini mengkhawatirkan, indeks literasi secara umum akan semakin menurun, padahal itu adalah modal untuk menyerap ilmu pengetahuan," katanya lagi sambil mengatakan sebenarnya angka ini memang sudah menurun sejak tahun 2015 hingga 2022. 

 

3 dari 4 halaman

Permasalahan pada Budaya Membaca

Akar masalah dari fakta tersebut menurutnya adalah budaya membaca. Karena sebenarnya minat baca di Indonesia tinggi, namun budaya membacanya yang tidak ada. Bicara literasi, modal kemampuan membaca dari melek hurup di Indonesia sudah mencapai 96,04 persen masyarakat yang bisa membaca.

Tapi melek hurup tidak cukup jika tidak didukung dengan pengembangan bahan bacaan. Akses masyarakat terhadap bahan bacaan terbilang belum memadai. Bahkan bicara mengenai perpustakaan, di tingkat SD hingga SMP dan SMA sebanyak 33 persen tidak dalam kondisi baik.

"Ini bukti akses kendala minat baca," tegasnya.

Budaya literasi membaca menurutnya harus kembali menjadi program di sekolah-sekolah, agar minat membaca bisa tersalurkan. Dulu menurutnya ada gerakan literasi sekolah, agar minat baca tersalurkan dengan adanya waktu khusus yang sediakan sekolah.

"Ini harus gerakan bersama, karena yang punya akses dari atas ke bawah itu pemerintah," terangnya.  

Tapi baru-baru ini langkah pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan menjadikan sastra sebagai kurikulum merupakan sebuah kemajuan. Sejumlah karya sastra dalam bentuk novel dijadikan bahan ajar yang relevan dengan mata ajar tertentu seperti novel sejarah, novel terkait fisika.

"Langkah yang baik dari kemendikbudristek untuk dapat mengembangkan budaya baca," pujinya.

Ia mengatakan setidaknya sudah diresmikan 177 karya sastra untuk SD, SMP dan SMA yang diharapkan jumlahnya akan bertambah. "Dari sini pembudayaan kebiasaan membaca tidak akan membebani siswa, yang membuat mereka pergi dari buku, jangan dites karena memberatkan dan membuat anak-anak gagal menyenangi buku, mundur dari dunia baca," tutupnya.

 

4 dari 4 halaman

Perpustakaan Sangat Relevan di Era Disrupsi

Sarana dan buku-buku berkualitas untuk membudayakan membaca bisa didapatkan dengan murah saat pergi ke perpustakaan. Selain perpustakaan milik sekolah, pemerintah, terdapat pula perpustakaan yang dikelola pribadi maupun swasta.

"Di era overstimulasi saat ini di mana informasi berganti setiap detik perpustakan semakin relevan terutama perpustakaan fisik, banyak penelitian ada fenomena otak popcorn, kita sangat mudah terdistraksi, kemampuan kita untuk deep thinking menurun," ungkap Penulis Buku dan Pendiri Baca di Tebet, Kanti W. Janis, saat wawancara telepon dengan Liputan6.com pada Kamis, 23 Mei 2024.

Itu sebabnya perpustakaan semakin relevan untuk menghindari distraksi membaca buku. Dengan datang ke perpustakaan, seseorang berarti ingin mengkhususkan diri datang ke suatu tempat untuk memusatkan konsentrasi.

"Kalo ke perpustakaan orang pasti sudah membangun tujuan, pasti beda kalau datang ke mal atau kafe, jadi bisa lebih fokus," imbuhnya.

Ia menyambung penelitian tentang fenomena otak popcorn akibat disrupsi gadget dan media sosial. Kanti lalu menyinggung isi buku Nicholas Carr yang berjudul The Shalows: What the Internet Is Doing to Our Brains.

Buku itu mengungkap berbagai penelitian ilmiah tentang bahayanya keadaan saat ini termasuk cepatnya arus informasi yang berseliweran di dunia maya dan keterkaitan dengan distraksi saat membaca buku. Dibanding menonton tayangan YouTube, membaca buku sendiri menurutnya bisa memiliki banyak kelebihan karena lewat membaca seseorang bisa memahami argumentasi dengan lebih fokus.

Perpustakaan adalah jawaban untuk orang yang ingin menghindari distraksi dan fenomena otak popcorn, agar kemampuan otaknya tidak tumpul. Ia juga menekankan bahwa membaca bukanlah kemampuan yang diberikan begitu saja seperti anak kecil yang dengan mudahnya bisa meniru ucapan orang dewasa.

"Kalau membaca menulis harus diajarkan," imbuhnya.

Namun pendekatannya bukan dengan membaca saja, harus ada program latihan membaca yang berbeda bukan dalam rangka pemberantasan buta huruf dan membaca komperhensif. Membaca buku di sini menurut Kanti adalah upaya memahami isi bacaan dan mendapat pengetahuan untuk bisa dipakai dalam kehidupan. 

 

Video Terkini