Sukses

Menparekraf Sandiaga Uno Tanggapi Isu Tapera: Ini Pil Pahit yang Harus Kita Ambil

Menparekraf Sandiaga Uno menyebut Gen Z tidak akan punya rumah bila tidak dibantu pendanaannya dari sekarang melalui Tapera.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menjawab isu tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang ditentang banyak pihak. Ia menekankan bahwa kebutuhan terhadap perumahan rakyat itu merupakan keniscyaan sehingga harus disiapkan dari sekarang.

"Kalau ditunda-tunda terus, Gen Z enggak akan pernah bisa punya rumah. Saya bisa jamin itu. Gen Z enggak akan bisa punya rumah kalau tidak dibantu dari sekarang untuk pendanaan," ujar Sandi ditemui seusai peluncuran IndoBisa di Sarinah, Jakarta, Jumat (31/5/2024).

Ia melanjutkan, "Ini sebuah pil pahit yang harus kita ambil ... Sesuatu yang tidak populer, tapi kita harus (lalui) semua bersama-sama."

Menparekraf mengakui bahwa tekanan ekonomi yang dialami masyarakat saat ini, khususnya di lapisan terbawah, semakin berat. Biaya hidup sehari-hari, termasuk ongkos kesehatan, ongkos sekolah, hingga ongkos pangan, meningkat nyaris tidak terkendali. Karena itu, Sandi berpendapat, harus dicari mekanisme pemungutan Tapera yang tepat.

"Enggak bisa semuanya dibebankan pada pekerja, tapi enggak bisa semuanya juga dibebankan pada pemerintah, tapi ada (satu hal) yang saya sebut kemitraan," ucapnya.

Ia menyatakan, negara lain yang juga menerapkan 'tapera' memiliki model pembagian beban. Baik pekerja, pemerintah, maupun pengusaha diwajibkan menanggung hal itu secara bersama-sama dengan porsi disesuaikan kemampuan.

Ia juga menyatakan aturan pemungutan tidak bisa disamaratakan untuk semua pihak. Pasalnya, kondisi perusahaan juga beragam. "Ada beberapa perusahaan yang sudah siap karena bisnisnya memang menghasilkan cash yang banyak. Tapi, ada juga yang mengalami tantangan, terutama yang padat karya. Nah, ini harus dicari sebuah ekuilibriumnya," katanya.

2 dari 4 halaman

Tak Sepakat Bila Bersifat Sukarela

Sandi menegaskan bahwa Tapera sudah semestinya bersifat wajib untuk semua pihak. "Kalau tidak dibuat wajib, akhirnya nanti hanya yang sanggup atau secara voluntary itu tidak akan cukup penyediaan perumahannya," ia beralasan.

Ia menyatakan, harus ada kebijakan yang bisa menyediakan kepastian kepemilikan rumah bagi generasi mendatang. Menparekraf menyebut, negara lain memiliki skema tapera yang dikelola lembaga tertentu agar tabungannya bisa berkembang terus. Hal itu mengingat adanya inflasi dan biaya pembangunan rumah yang semakin meningkat.

Namun, ia memberi catatan. "Harus dikelola secara profesional, harus transparan, kita harus tahu apa instrumen yang dibelinya, dan harus ada secondary sama tertiary market-nya supaya likuiditasnya terjaga."

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) meminta pemerintah mempertimbangkan kembali dan mengkaji ulang kebijakan iuran Tapera. Aturan tersebut menyebutkan simpanan peserta ditetapkan sebesar tiga persen dari gaji atau upah peserta, atau dari penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.

 

3 dari 4 halaman

Tapera Dinilai Duplikasi Program MLT BP Jamsostek

Dikutip dari kanal Bisnis Liputan6.com, Ketua Umum APINDO, Shinta W. Kamdani mengatakan bahwa dunia usaha pada dasarnya menghargai tujuan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan pekerja. Namun, ia menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Jokowi pada 20 Mei 2024 itu menduplikasi program yang ada.

"PP No.21/2024 yang ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 20 Mei 2024, kami nilai sebagai duplikasi program existing, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja yang berlaku bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek. Kami berpandangan, Tapera dapat diberlakukan secara sukarela. Pekerja swasta tidak wajib ikut serta, karena pekerja swasta dapat memanfaatkan program MLT BP Jamsostek," kata Shinta dalam konferensi pers di kantor APINDO, Jumat (31/5/2024).

Dengan itu, APINDO dan KSBSI menyarankan pemerintah agar lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, yang sesuai PP adalah sebesar maksimal 30 persen, sekitar Rp138 triliun. Ia menyatakan, nilai aset JHT sebesar Rp460 triliun dianggap bisa dimanfaatkan untuk program MLT perumahan bagi pekerja, mengingat ketersediaan dana MLT yang sangat besar dan dinilai belum maksimal pemanfaatannya.

4 dari 4 halaman

Suara Konfederasi Pekerja

Sementara, Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban memaparkan bahwa pemerintah sebenarnya bisa memaksimalkan pemanfaatan dana MLT BPJS Ketenagakerjaan untuk program kepemilikan rumah bagi pekerja yang belum memiliki tempat tinggal.

"Untuk itu, kami minta setidaknya pemerintah merevisi pasal 7 dari yang wajib menjadi sukarela," ujar Elly. "Penerapan Undang-Undang Tapera tidak menjamin bahwa upah buruh yang telah dipotong sejak usia 20 tahun sampai pensiun bisa mendapatkan rumah tempat tinggal."

"Belum lagi sistem hubungan kerja yang masih fleksibel (kerja kontrak). Ini masih jauh dari harapan untuk bisa mensejahterakan buruh. Kami menganggap, Undang-Undang Tapera bukanlah Undang-Undang yang mendesak, sehingga tidak perlu dipaksakan untuk berlaku saat ini," jelas dia.

Di kesempatan itu, APINDO dan KSBSI juga mengungkap bahwa keduanya akan membentuk tim untuk menyusun Kertas Posisi dalam menyikapi kebijakan Tapera. Presiden Joko Widodo pada Senin, 20 Mei 2024, meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Klasifikasi kelompok yang wajib mengikuti program ini, yakni ASN, TNI, POLRI, pekerja BUMN/BUMD, serta pekerja swasta.

Video Terkini