Sukses

Hasil Investigasi Awal Kotak Hitam Pesawat Singapore Airlines yang Alami Turbulensi Parah

Turbulensi parah yang dialami pesawat Singapore Airline menyebabkan satu penumpang meninggal dunia dan puluhan lainnya terluka.

Liputan6.com, Jakarta - Investigasi awal turbulensi parah yang menimpa penerbangan Singapore Airlines mengungkap bahwa pesawat tersebut berakselerasi dengan cepat ke atas dan ke bawah. Burung besi itu juga turun sekitar 178 kaki (54 meter) dalam waktu 4,6 detik.

Melansir BBC, Sabtu, 1 Juni 2024, seorang penumpang asal Inggris tewas dan puluhan lainnya luka-luka ketika penerbangan London-Singapura mengalami turbulensi di langit Myanmar sebelum akhirnya dialihkan untuk mendarat di Thailand. Penyelidik Singapura telah mengekstraksi data penerbangan dan kotak hitam demi melakukan penyelidikan.

Singapore Airlines mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan penyelidik, serta mendukung penumpang dan awak yang terdampak, termasuk biaya pengobatan dan rumah sakit. Temuan awal Biro Investigasi Keselamatan Transportasi Singapura (TSIB) menyatakan, akselerasi cepat ke atas dan ke bawah menyebabkan cedera pada penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman.

Badan tersebut mengatakan, penerbangan tersebut beroperasi seperti biasa hingga kemungkinan terbang di atas area yang "mengembangkan aktivitas konvektif" saat melewati selatan Myanmar pada ketinggian 37 ribu kaki. Pada 07.49.40 GMT, setelah periode akselerasi ke atas, pesawat tersebut dengan cepat berakselerasi ke bawah dalam kurun waktu 0,6 detik.

Efeknya diibaratkan, seperti "meletakkan telur di dalam kotak, lalu menggoyangkannya ke atas dan ke bawah," kata pakar penerbangan Dr Guy Gratton pada BBC. "Setelah pilot diberitahu awak kabin bahwa ada penumpang yang terluka di dalam kabin, (ia) mengambil keputusan untuk mengalihkan ke Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, Thailand," lanjut laporan itu.

2 dari 4 halaman

Penyelidikan Masih Berlanjut

Sekitar 17 menit setelah turbulensi, pilot mampu melakukan "penurunan terkendali dari ketinggian 37 ribu kaki," kata laporan tersebut. Mereka menambahkan bahwa pesawat tidak mengalami turbulensi lebih parah selama pengalihan penerbangan ke Bangkok.

Pilot juga meminta layanan medis untuk segera bertindak saat kedatangan. TSIB, yang beroperasi di bawah Kementerian Transportasi Singapura, mengatakan bahwa penyelidikan ini masih berlangsung.

Total ada 211 penumpang dan 18 awak di dalam pesawat Boeing 777-300ER, menurut Singapore Airlines. Geoff Kitchen (73) meninggal karena dugaan serangan jantung di dalam pesawat, sementara 104 penumpang lain dibawa ke Rumah Sakit Samitivej Bangkok untuk perawatan.

Ali Bukhari (27), yang duduk bersama istrinya Ramiza, mengatakan pada BBC bahwa pesawat tersebut "langsung terjun bebas." "Mengerikan sekali. Seperti menuruni rollercoaster vertikal," katanya."Masker oksigen jatuh semua, bagian dalam pesawat rusak."

"Saya kira itu karena kekuatan turbulensi, tapi kebanyakan hanya karena semua orang yang tidak mengenakan sabuk pengaman langsung terlotar ke udara dan menabrak langit-langit. Kami melihat darah di langit-langit. Itu benar-benar kacau. Banyak orang di lantai," ia menyambung.

3 dari 4 halaman

Pengakuan Petugas Medis

Sebelumnya, fakta lain telah terungkap. Salah seorang petugas medis yang memberi pertolongan pertama pada pasien setelah pesawat mendarat di Bandara Suvarnabhumi Bangkok mengungkap bahwa kabin belakang pesawat mengalami kerusakan terparah.

Dalam wawancara dengan Thai PBS dan diterjemahkan 8world, petugas bernama dr. Wichanya itu menyatakan, sebagai bagian dari tim medis yang ditempatkan di bandara, ia diinformasikan bahwa pesawat yang bermasalah akan mendarat dalam 30 menit dan banyak yang terluka di dalamnya. Informasi awal menyatakan seorang penumpang pesawat tewas dan 30 orang lainnya terluka.

Mengutip AsiaOne, Minggu, 26 Mei 2024, ia segera bekerja mempersiapkan kedatangan pesawat dan mengaktifkan tenaga medis yang dibutuhkan. Ia mengakui bahwa awalnya skeptis ketika mendengar tentang jumlah orang yang terluka di dalam pesawat karena angkanya terus berfluktuasi.

Setelah pesawat mendarat 10 menit lebih awal dari perkiraan, dr. Wichyanya jadi salah satu orang pertama yang memasuki kabin. Ia menggambarkan kabin depan hanya mengalami sedikit kerusakan, bahkan tidak ada tanda-tanda kerusakan. Namun saat berjalan menuju ke tengah, ia menyadari bahwa ada lebih banyak kerusakan pada perangkat keras, serta lebih banyak penumpang yang terluka.

4 dari 4 halaman

Tantangan Operasi Penyelamatan

Dokter Wichyanya menyatakan, bagian yang mengalami kerusakan terparah dan jumlah korban luka terbanyak adalah bagian belakang pesawat. Ia menambahkan bahwa sesuai prosedur, evakuasi diprioritaskan pada mereka yang mengalami luka ringan dan berat.

Petugas medis mengeluarkan mereka dari pesawat untuk perawatan dan evaluasi sebelum dibawa ke rumah sakit. "Suasana di dalam kabin saat itu sangat sepi. Kemungkinan besar para penumpang masih syok setelah mengalami pengalaman mengerikan tersebut," ucapnya.

Cuaca buruk jadi tantangan bagi semua orang yang terlibat dalam upaya penyelamatan. Petugas tanggap darurat harus segera mendirikan tenda di landasan dalam waktu 20 menit karena perkiraan akan turun hujan lebat untuk menjamin kenyamanan penumpang yang dievakuasi.

Peristiwa ini terjadi sekitar dua jam setelah pesawat mendarat dan operasi masih berlangsung. Menurut dokter yang telah bekerja di bandara selama 12 tahun itu, kondisi tersebut adalah keadaan darurat medis berskala besar pertama yang ditangani timnya.

Ia juga menggambarkan kerja tim yang terlibat serupa dengan penyelamatan gua pada 2018 yang melibatkan 12 anak laki-laki dari tim sepak bola dan pelatih mereka di Chiang Rai. Ia menambahkan, para penumpang patuh dan memberi jalan pada tim medis.