Sukses

Mengenal Asian Value yang Ramai Dibahas Gara-Gara Podcast Total Politik dan Pandji Pragiwaksono

Istilah "Asian value" muncul ketika Pandji Pragiwaksono membahas politik dinasti bersama dua host podcast Total Politik. Itu bukan hal baru, karena serangkaian nilai itu telah diprmosikan seja akhir abad ke-20.

Liputan6.com, Jakarta - Istilah "Asian value" jadi topik hangat perbincangan publik jagat maya, bahkan dipelesetkan banyak warganet, setelah podcast Total Politik yang menghadirkan Pandji Pragiwaksono sebagai bintang tamu viral di media sosial. Video yang diunggah ke YouTube pada Selasa, 4 Juni 2024 itu salah satunya memperlihatkan Pandji mencecar dua host Total Politik: Arie Putra dan Budi Adiputro.

Saat itu, mereka tengah membahas dinasti politik. Arie dan Budi menilai dinasti politik sah-sah saja, bahkan menyebutnya sebagai "hak asasi manusia." Ketika dicecar Pandji, Arie menyebut bahwa dinasti politik dilakukan berdasarkan Asian values. Apa itu sebenarnya?

Melansir Britannica, Jumat (7/6/2024), itu merupakan serangkaian nilai yang dipromosikan sejak akhir abad ke-20 oleh beberapa pemimpin politik dan intelektual Asia sebagai alternatif terhadap nilai-nilai politik Barat. Ini mencakup hak asasi manusia, demokrasi, dan kapitalisme.

Para pendukung nilai-nilai Asia biasanya menyatakan bahwa pesatnya perkembangan perekonomian di Asia Timur pada periode pasca-Perang Dunia II disebabkan kesamaan budaya masyarakat mereka, khususnya warisan Konfusianisme. Mereka juga menegaskan bahwa nilai-nilai politik Barat tidak cocok untuk Asia Timur karena memupuk individualisme dan legalisme yang berlebihan.

Praktik itu disebut mengancam tatanan sosial dan menghancurkan dinamisme ekonomi. Di antara Asian values yang sering dikutip adalah disiplin, kerja keras, berhemat, prestasi pendidikan, keseimbangan kebutuhan individu dan masyarakat, serta penghormatan terhadap otoritas negara.

2 dari 4 halaman

Sejak Kapan Asian Values Diperkenalkan?

Klaim mengenai manfaat nilai-nilai Asia mendapat perhatian khusus pada awal tahun 1990-an. Saat itu, klaim Asian values diutarakan tokoh politik terkemuka, seperti mantan perdana menteri Singapura Lee Kuan Yew.

Klaim tersebut bertentangan dengan pernyataan Barat pada masa kini yang menyebut runtuhnya komunisme Eropa dan keberhasilan sosialisme pasar China telah menunjukkan keunggulan hak asasi manusia, demokrasi, dan kapitalisme dibandingkan bentuk-bentuk pengorganisasian masyarakat yang bersaing. Perdebatan nilai-nilai Asia juga terjadi di kalangan internal masyarakat Asia.

Saat terjadi perubahan ekonomi dan sosial yang pesat di Asia Timur, individualisme dan demokratisasi, serta gerakan hak asasi manusia yang menantang tatanan sosio-ekonomi dan rezim otoriter yang sudah mapan tercatat meningkat. Perdebatan ini merupakan elemen dalam perjuangan lebih besar mengenai persaingan visi modernitas dan bagaimana masyarakat Asia harus diorganisir.

Para pendukung nilai-nilai Asia membuat beberapa klaim terkait. Mereka menegaskan bahwa nilai-nilai Asia bertanggung jawab atas pertumbuhan ekonomi yang signifikan di kawasan ini, dengan pembangunan ekonomi harus diprioritaskan pada masyarakat yang sedang keluar dari kemiskinan.

3 dari 4 halaman

Kritik terhadap Nilai-Nilai Asia

Secara lebih umum, hak-hak sipil dan politik harus berada di bawah hak-hak ekonomi dan sosial. Selain itu, karena negara merupakan perwujudan identitas kolektif dan kepentingan warga negara, kebutuhannya harus didahulukan dibandingkan hak-hak individu.

Karena itu, para pendukung nilai-nilai Asia adalah pembela kedaulatan negara yang kuat, termasuk hak untuk tidak campur tangan pihak luar. Ide-ide tersebut diungkap dalam Deklarasi Bangkok tentang hak asasi manusia pada 1993, yang ditandatangani banyak negara di Asia, namun dikritik organisasi-organisasi hak asasi manusia di Asia.

Kritik terhadap nilai-nilai Asia telah menolak klaim yang mengatasnamakan upaya menopang pemerintahan otoriter dan tidak liberal terhadap lawan-lawan domestik dan eksternal. Beberapa kritikus menuduh bahwa wacana nilai-nilai Asia didasarkan pada stereotip budaya Asia yang sederhana, dan dalam hal ini mirip dengan Orientalisme yang telah lama jadi ciri keilmuan Barat mengenai masyarakat Asia dan Arab.

Yang lain menunjukkan adanya kontradiksi antara antiliberalisme yang dianut para pendukung nilai-nilai Asia dan promosi mereka terhadap pembangunan berorientasi pasar, yang menantang dan mengganggu tatanan sosial yang sudah mapan. Yang terakhir, para ahli teori feminis memandang wacana nilai-nilai Asia sebagai upaya melegitimasi hierarki gender, kelas, etnis, dan ras yang tertanam dalam budaya Asia.

4 dari 4 halaman

Apa Saja 4 Dimensi Nilai-Nilai Asia?

Perdebatan nilai-nilai di Asia telah lama berlangsung dalam hal advokasi spekulatif namun tidak memiliki validasi empiris, dan uji statistik baru muncul belakangan ini. Studi yang dipublikasikan Cambridge University Press pada 24 Maret 2016 mengidentifikasi empat dimensi nilai-nilai Asia berdasarkan tinjauan terhadap berbagai wacana nilai-nilai Asia.

Keempatnya adalah kekeluargaan, komunalisme, orientasi otoritas, dan etos kerja. Temuan dari analisis empiris berdasarkan model multilevel dan analisis faktor memberi dukungan yang beragam terhadap hipotesis nilai-nilai Asia.

Meski responden di Asia Timur menunjukkan nilai-nilai yang kuat mengenai pekerjaan dibandingkan responden dari wilayah lain, komitmen terhadap nilai-nilai kekeluargaan dan orientasi otoriter sebenarnya lebih rendah di antara responden di Asia Timur.

Selain itu, walau preferensi terhadap kepemimpinan yang kuat dan tugas sebagai orangtua ternyata membentuk serangkaian sikap yang berbeda di antara masyarakat Asia Selatan dan Tenggara, keempat dimensi tersebut tidak membentuk suatu kompleks nilai yang jelas dalam benak masyarakat Asia Timur.

Video Terkini