Sukses

Berburu Cuan Lewat Tokek untuk Pengobatan Tradisional, Kini Dilematis karena Sebagian Nyaris Punah

Perburuan tokek rumah di desa-desa di Cirebon, Jawa Barat, masih menjadi pekerjaan yang cukup menjanjikan. Sekitar 100 ekor ekor tokek bisa meraup cuap Rp150 ribu.

Liputan6.com, Jakarta - Perburuan tokek di desa-desa di Cirebon, Jawa Barat masih menjadi pekerjaan yang cukup menjanjikan. Berbekal lampu yang melingkar di kepala, ember, dan tongkat kayu tipis, Dody Hermawan (42) dan rekan-rekannya memulai misi hampir setiap malam di sekitar desa-desa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. 

Dengan menggunakan tongkat yang panjangnya sekitar dua meter dan ujungnya dilem, mereka dengan gesit menusuk reptil tersebut. Setelah itu, dia akan melepaskannya dari tongkat dan mengumpulkannya dalam ember. Mengutip Channel News Asia pada Sabtu, 8 Juni 2024, jika sedang beruntung, setiap pemburu bisa dapat sekitar 400 tokek dalam delapan jam, dua kali lipat dari biasanya terutama saat musim hujan atau sedang banyak serangga yang dapat dimakan oleh tokek.

"Semua bermula ketika kakak laki-laki saya memberi saya tugas untuk mencari tokek karena dia menjualnya," kata Dody, yang memulai pekerjaan tersebut sekitar 12 tahun lalu. "Awalnya, tidak ada seorang pun yang mau berburu tokek karena masyarakat tidak percaya bahwa hal itu dapat menghasilkan uang," tambahnya.

Dody membuktikan bahwa hal itu bisa. Dia menangkap sekitar 100 ekor ekor per malam yang kemudian dijualnya seharga Rp150 ribu kepada saudaranya, saat itu. Saudaranya kemudian menjualnya lagi kepada seorang pengusaha yang mengekspornya ke Tiongkok untuk keperluan pengobatan tradisional Tiongkok (TCM).

Jumlah tersebut cukup besar pada saat itu, karena biaya hidup di desanya, Kertasura, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, lebih rendah dibandingkan kota-kota, seperti Jakarta atau Bandung. Semakin hari, banyak orang yang memperhatikan dia bekerja sebagai pemburu tokek sampai akhirnya banyak yang bergabung. Kini, puluhan dari total 9.000 warga desanya membantu berburu dan mengolah tokek untuk diekspor.

2 dari 4 halaman

Jumlahnya Masih Melimpah dan Sebagai Komoditas Ekspor

Menurut pakar reptil dan amfibi dari Institut Pertanian Bogor, Mizra Kusrini, mengatakan bahwa tokek ini diyakini masih melimpah jumlahnya. Tahun ini kuota tangkapan tokek rumah Asia sekitar 2,5 juta ekor, kuota tangkapan tokek rumah ekor pipih (Hemidactylus platyurus) juga sekitar 2,5 juta, sedangkan tokek cakar empat (Gehyra mutilata) sekitar 2 juta.

Mereka dapat ditangkap sebagai hewan peliharaan atau untuk dikonsumsi, kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Satyawan Pudyatmoko. Ketiga spesies tersebut diperbolehkan untuk diburu di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta karena dianggap sebagai daerah potensial untuk ekspor. Ia mengatakan, ada lebih dari lima pemegang izin ekspor yang bekerja pada usaha kecil dan pemburu di desa-desa. 

"Masyarakat di desa membantu menangkap, mengumpulkan, memilah (bias) sesuai ukuran, mengeringkan, dan terakhir mengemas," kata Satyawan. "Kegiatan ini bisa menjadi sumber penghasilan utama atau tambahan," tambahnya.

KLHK tidak memberikan informasi mengenai kuota ekspor dan volume ekspor sebenarnya. Dulu, jumlah ekspor sebenarnya melebihi kuota untuk spesies tertentu, seperti tokek Tokay.

Dari 2013--2019, lebih dari 79,5 juta tokek Tokay diekspor oleh Indonesia berdasarkan data Kementerian Perdagangan, jauh melebihi kuota panen pada saat itu, menurut laporan 2023 oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hanya sekitar 1,7 juta izin ekspor legal yang dilaporkan oleh KLHK dari 2013--2019. 

3 dari 4 halaman

Tidak Ada Undang-Undang yang Melindungi

Kesenjangan ini terjadi karena eksportir tidak perlu mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup pada saat itu. Pada 2019, tokek Tokay ditambahkan ke Apendiks II Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah untuk dikendalikan perdagangannya. Tiongkok adalah importir utama tokek Tokay, yang dianggap efektif dalam menekan asma, meredakan batuk, dan mengobati diabetes serta penyakit lainnya.

Hewan ini berasal dari sebagian besar Asia mulai dari India selatan hingga Indonesia. Mereka tumbuh di daerah perkotaan dan memakan serangga serta laba-laba. Mereka mulai bereproduksi pada usia sekitar enam bulan hingga satu tahun, dan hidup selama sekitar lima tahun.

Mirza yakin bahwa tokek rumah tidak mungkin diburu secara berlebihan karena ukuran fisik hewan tersebut tidak berubah. Ketika hewan tertentu diburu secara berlebihan, populasi yang tersisa menjadi lebih kecil karena semakin sedikit anggota dewasa yang tersisa, jelasnya. Para pemburu juga menangkap tokek secara manual dibandingkan menggunakan metode industri, katanya. 

Tokek rumah saat ini tidak dilindungi undang-undang dan perdagangan hewan internasional mungkin tidak diatur, kata direktur jaringan pemantauan perdagangan satwa liar Asia Tenggara TRAFFIC, Kanitha Krishnasamy. Tetapi, peningkatan koleksi spesies liar dalam skala besar dapat menjadi penyebab potensial kekhawatiran konservasi.

"Tentu saja masih banyak yang harus dilakukan untuk memahami volume yang dipanen dan diperdagangkan, mengapa mereka dicari, dan bagaimana hal ini mempengaruhi populasi liar dan ekosistem," katanya.

4 dari 4 halaman

Penyeimbang Ekosistem yang Terancam Pemburu Cuan

Direktur eksekutif kelompok lingkungan hidup Walhi cabang Jawa Barat, Wahyudin Iwang, mengatakan perburuan dan perdagangan kadal akan "berdampak negatif pada ekosistem dan habitat". Tokek memiliki fungsi penting dalam keseimbangan ekosistem, keselamatan dan kesehatan manusia. Salah satu fungsi penting kadal adalah sebagai hewan pemakan nyamuk.

Di desa-desa seperti Kertasura, tokek telah menjadi sumber pendapatan dan membuka usaha kecil-kecilan. Para pemburu di Cirebon hampir setiap malam berkonvoi ke berbagai kabupaten di Jawa Barat dan bahkan Jawa Tengah. Konvoi tersebut terdiri dari hingga 16 orang. Bukan pekerjaan yang mudah tentunya karena dibutuhkan beberapa minggu latihan secara terus-menerus supaya gesit dalam menemukan tokek dan menikamnya sebelum mereka melarikan diri, menurut Pak Dody.

Para pemburu mendapat sekitar Rp42 ribu per kilogram tokek yang mereka tangkap, kata salah satu pemburu, Rosulun. Dia juga mengatakan bahwa sekarang ia mendapat penghasilan sekitar Rp150 ribu per malam, lebih rendah dari sebelumnya yang bisa dibayar Rp200 ribu. Jika bekerja 20 hari dalam sebulan, pria berusia 52 tahun itu bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp3 juta, sedikit di atas upah minimum di Cirebon yang sebesar Rp2,5 juta.

Rosulun dan Dody menjual tangkapan mereka kepada keponakan Dody, Ita Purwita (27) yang mempekerjakan warga desa untuk membersihkan, mengeringkan, dan mengemas tokek. Sebagian besar petugas kebersihan dan pengepakan yang dipekerjakan Ita memiliki pendidikan sekolah dasar atau menengah. 

Salah satu dari mereka, Murwanti (51), menikmati pekerjaan tersebut dan tidak merasa jijik dengan pekerjaan tersebut. "Saya sangat menyukai pekerjaan ini karena ada kebebasan. Ada TV di sini, wifi. Kita juga bisa menyalakan musiknya. Apa yang perlu dikeluhkan?" kata Murwanti yang telah bekerja dengan Ita selama kurang lebih empat tahun dan berpenghasilan hingga Rp100 ribu sehari.

Video Terkini