Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan media sosial dan informasi beredar di dunia maya membuat banyak orang terpapar dengan cara diet atau olahraga untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal. Namun, apakah cukup dengan cara itu? Perlukah kita berkonsultasi dengan ahli gizi atau dokter gizi?
Menurut dr. Adelina Haryono, Sp.GK, AIFO-K, dari RS Pondok Indah - Puri Indah, informasi yang tersebar di media sosial seringkali tidak dapat diverifikasi kebenarannya dan tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan. Modusnya beragam, misalnya akun mencatut nama dan foto dokter gizi dan menggunakannya untuk menjual program diet atau suplemen diet.
Baca Juga
"Atau akun yang menjual program diet berdasarkan keberhasilan pengalaman pribadi, tidak berdasarkan keilmuan. Belum lagi akhir-akhir ini ditemukan penggunaan artificial intelligence (AI) untuk membuat konten palsu dan menyesatkan, seolah-olah konten tersebut dibuat oleh dokter," imbuhnya kepada Tim Lifestyle Liputan6.com secara tertulis, Jumat, 7 Juni 2024.
Advertisement
Hal senada juga disampaikan dr. Angela Dalimarta, Sp.GK yang berpraktik di Akasia 365mc. Ia mengatakan banyak mitos viral beredar di media sosial yang sayangnya diikuti banyak orang. Ia menyebutkan contoh orang berdiet hanya minum air putih atau mencoba diet ketogenik lemak tinggi tapi yang dikonsumsi adalah goreng-gorengan.
"Bukannya berhasil, malah jadi berpenyakit. Padahal, diet itu semestiya makin sehat, bukan banyak penyakit," kata dr. Angela dihubungi dalam kesempatan berbeda.
Secara general, dr. Adelina menguraikan sejumlah kesalahan umum yang dilakukan saat diet mandiri, yakni:
- Menganggap semua informasi yang tersedia di media sosial benar dan sesuai untuk semua orang
- Menganggap satu-satunya cara untuk lebih sehat adalah dengan menurunkan berat badan
- Cara untuk menurunkan berat badan adalah dengan mengurangi porsi makan atau tidak makan golongan makanan tertentu (misalnya tidak makan nasi, hanya makan protein saja, atau hanya makan sayur dan buah saja)
- Parameter sukses diet hanya penurunan berat badan
Kapan Perlu Konsultasi ke Dokter Gizi?
dr. Angela menyatakan bahwa mereka yang berpenyakit tertentu adalah kelompok yang paling direkomendasikan untuk menjalani program diet dengan pengawasan dokter spesialis gizi klinik. Salah satunya pasien dengan penyakit komplikasi diabetes karena kadar gula darah yang perlu dikontrol ketat. Begitu pula pasien dengan penyakit jantung dan hipertensi.
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal juga perlu perhitungan khusus asupan proteinnya. Kalau pun tidak punya penyakit komplikasi, pasien dengan kelebihan berat badan juga disarankan berkonsultasi dengan dokter gizi. Pasalnya, mereka punya risiko kesehatan yang mengurangi kualitas hidup, seperti mengalami osteoporosis atau osteoarthritis karena berat badan membebani lututnya.
"Perlu sekali pengaturan makanan. Di-follow up tiap bulan bagian mana fat-nya yang masih berlebihan. Terkadang ada yang turun BB-nya, tapi fat-nya di bagian kaki enggak turun-turun. Kalau bagian kaki sulit turun, dia akan bebani lututnya," ia menjelaskan.
Konsultasi juga disarankan bila calon pasien merasa stagnan dalam proses menurunkan berat badan. Dengan begitu, bisa diketahui apakah proses diet sudah benar atau belum karena semuanya dipersonalisasi. "Pola diet luar seringkali enggak sesuai dengan kita karena body fat tinggi sementara ototnya rendah," ucap dr. Angela.
Sementara, dr. Adelina menyarankan wanita yang ingin menjalani program hamil untuk menjalani program diet dengan pengawasan dokter karena berat badan berlebih dapat memengaruhi kesuburan. "Dalam keadaan hamil, asupan makanan dan nutrisi juga harus diperhatikan agar kadar gula darah tetap terjaga sehingga mencegah terjadinya diabetes gestasional," imbuhnya.
Advertisement
Apakah Selalu Perlu Biaya Tinggi?
dr. Adelina menekankan bahwa pemantauan ahli dibutuhkan untuk mengetahui kondisi dasar setiap orang sebelum program, menentukan target dan jangka waktu target dapat dicapai dengan aman, membuat pola diet yang personal sesuai dengan kondisi, kebiasaan, kebudayaan, tingkat ekonomi, serta kondisi medis masing-masing orang. Pemantauan juga dapat membantu evaluasi suatu program, apakah sudah sesuai, apakah target tercapai, serta apakah ada efek samping.
Tapi, ia mengingatkan agar dipisahkan antara program diet berbayar dengan tujuan bisnis, seperti menjual obat, suplemen, dan treatment, dengan program diet untuk kesehatan. Menurut dia, dalam konteks bisnis, program diet yang menyertakan penjualan obat, suplemen, dan treatment identik dengan biaya tinggi.
"Sedangkan dalam pelayanan kesehatan, proses konsultasi dan pamnatauan oleh tenaga ahli menciptakan biaya atas jasa yang disediakan. Apakah selalu biaya tinggi? Tentu tidak," ucapnya.
Dia menerangkan, penggunaan obat, suplemen, atau perawatan adalah alat bantu dan tidak wajib menjadi komponen program diet. Meski begitu, ia menyatakan bahwa ada kondisi medis tertentu yang mengharuskan pasien mendapatkan obat/tindakan/suplementasi/makanan pengganti (oral nutrition support), dengan harga cukup tinggi, agar pasien mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Itu pula yang disampaikan dr. Angela. Tapi, ia menegaskan bahwa obat-obatan maupun treatment bukanlah yang utama, melainkan mempertahankan gaya hidup sehat yang akan membuat hasil berdampak jangka panjang.
"Malah akan rebound lagi kalau pola makan dan olahraga tidak dijaga. Obat-obatan hanya jika diperlukan, juga dengan tindakan," katanya.
Tidak Hanya soal Berat Badan
dr. Adelina menyebutkan secara medis, terapi pengobatan dan tindakan harus diberikan sesuai indikasi. Misalnya pasien dengan obesitas derajat 2 (indeks massa tubuh lebih dari 30 kg/m2), selain mengatur pola makan dan menambah aktivitas fisik, pasien juga dapat diberikan obat untuk mempercepat dan meningkatkan efikasi penurunan berat badan.
"Percepatan dilakukan karena berpacu dengan waktu untuk mencegah terjadinya komplikasi kesehatan (sakit jantung, stroke, darah tinggi, diabetes), sehingga dibutuhkan upaya yang lebih agresif," kata dia.
dr. Angela menambahkan, pasien diabetes juga bisa dibantu dengan obat-obatan, seperti Ozeampic, yang dikenal bisa menekan rasa lapar dan membuat kita merasa kenyang lebih lama. Namun, ia mengingatkan bahwa obat itu belum dapat persetujuan FDA, BPOM-nya Amerika Serikat, untuk menjadi obat diet yang aman.
Terkadang, pasien memerlukan tindakan tertentu, seperti LAMS (Local Anesthetic Minimal-Invasive Liposuction), agar bisa mengoptimalkan usaha. Setelah itu, pasien akan disusunkan pola makan dan olahraga yang harus dijalankan agar gaya hidupnya berubah setelah berat badan turun.
"Kalau tindakan doang, enggak mau diet, ya nggak akan optimal. Mesti sehabis tindakan, dikonsultasikan. Gaya hidup berubah. Semua berkesinambungan karena itu enggak hanya makanan," ucapnya.
Bahkan bila mengalami masalah emotional eating, pasien bisa dirujuk ke psikiatri. "Perlu ngereset core problemnya di mana, supaya teratasi... Sekitar 30 persen pasien saya mengalami stress eating," ucapnya.
Advertisement