Liputan6.com, Jakarta - Warga Gaza hampir pasti melewatkan Iduladha di tengah berlanjutnya serangan bertubi-tubi Israel. Namun, bayang-bayang itu tidak membuat seorang guru Palestina mundur dalam memberi suasana Hari Raya Kurban pada anak-anak di wilayah kantong tersebut.
Melansir video Middle East Eye yang dibagikan di YouTube pada Selasa, 11 Juni 2024, anak-anak di Gaza terlihat melakukan semacam manasik haji. Mereka melantunkan bacaan Talbiyah, "Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk. Laa syarika lak."
"Kami mengajarkan pada anak-anak kami bahwa ini adalah Hari Raya bagi umat Muslim, dan kami tetap mengajarkannya pada mereka, terlepas dari situasi sekarang," kata guru bernama Mona Abu Khader. "Ini tetap jadi Hari Raya penting bagi Muslim."
Advertisement
Maka itu, ia ingin anak-anak Muslim di Gaza tetap memahami esensi Lebaran Haji. "Kami ingin mereka tahu bahwa peringatan ini melibatkan ibadah haji dan ritual mengurbankan hewan ternak," ia menyambung.
"Kami menyambangi kamp pengungsi untuk mengajarkan anak-anak Bahasa Arab dan pelajaran lain untuk menstimulasi edukasi dan memastikan mereka tidak lupa pada aspek-aspek pendidikan mereka," pengawas inisiatif Mohammad Khudari menambahkan.
Ia berkata bahwa ada lusinan anak di kamp pengungsi tersebut. Di video, mereka berkeliling ka'bah buatan, serta diajarkan seputar tata cara menyembelih hewan kurban. Tahun lalu, warga Palestina di Jalur Gaza merayakan Hari Raya Kurban sebagaimana mestinya, dengan pesta keluarga besar, pembagian daging pada mereka yang kurang mampu, pakaian baru, serta hadiah untuk anak-anak.
Iduladha yang Asing bagi Warga Gaza
Namun tahun ini, lapor AP, dikutip dari ABC News, setelah delapan bulan serangan Israel, banyak keluarga yang makan makanan kaleng di tenda-tenda yang sesak. Hampir tidak ada daging atau ternak di pasar lokal, dan tidak ada uang untuk membeli makanan atau hadiah.
Gaza berisi "serangan militer, kelaparan, dan kesengsaraan yang seolah tidak akan ada habisnya," menurut outlet tersebut. "Tidak ada Iduladha tahun ini,” kata Nadia Hamouda, yang putrinya terbunuh dalam serangan dan melarikan diri dari rumahnya di Gaza utara, beberapa bulan lalu.
Ia kini tinggal di sebuah tenda di pusat kota Deir al-Balah. "Ketika mendengar azan, kami menangisi orang-orang yang telah meninggal dan barang-barang kami yang tidak tersisa, apa yang terjadi pada kami, dan bagaimana kami dulu hidup," ungkapnya.
Gaza sudah miskin dan terisolasi, bahkan sebelum perang. Namun, masyarakat masih bisa merayakannya dengan menggantungkan dekorasi warna-warni, memberi kejutan pada anak-anak dengan camilan dan hadiah, serta membeli daging atau menyembelih hewan ternak untuk dibagikan pada mereka yang kurang beruntung.
"Itu benar-benar perayaan Iduladha," kata Hamouda. "Semua orang bahagia, termasuk anak-anak."
Advertisement
Warga Gaza Bergantung pada Bantuan Kemanusiaan
Kini, sebagian besar wilayah Gaza hancur dan mayoritas dari 2,3 juta warganya telah meninggalkan rumah mereka. Serangan Israel telah menewaskan lebih dari 37 ribu warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan setempat.
Sebagian besar pertanian dan produksi pangan di Gaza telah hancur, membuat masyarakat bergantung pada bantuan kemanusiaan yang terhambat pembatasan Israel dan pertempuran yang sedang berlangsung. Badan-badan PBB telah memperingatkan bahwa lebih dari satu juta orang, hampir separuh populasi, berisiko mengalami tingkat kelaparan tertinggi dalam beberapa minggu mendatang.
Pada awal Mei 2024, Mesir menutup penyeberangannya ke kota Rafah di Gaza selatan setelah Israel merebut wilayah itu, sehingga menutup satu-satunya rute bagi orang untuk memasuki atau meninggalkan kawasan tersebut. Itu berarti hampir tidak ada warga Palestina dari Gaza yang dapat melakukan ibadah haji tahunan sebelum Iduladha.
Ashraf Sahwiel, salah satu dari ratusan ribu warga Palestina yang melarikan diri dari Kota Gaza pada awal perang dan tinggal di tenda, tidak tahu kapan atau apakah ia bisa kembali ke rumah. "Kami bahkan tidak tahu apa yang terjadi dengan rumah kami atau apakah kami dapat tinggal di dalamnya lagi, atau apakah mungkin untuk dibangun kembali," katanya.
Harga Pangan di Gaza Melonjak
Abdelsattar al-Batsh mengatakan, ia dan tujuh anggota keluarganya belum makan daging sejak perang dimulai. Satu kilogram daging berharga 200 shekel (sekitar Rp885 ribu)). Seekor domba hidup, yang dapat dibeli hanya dengan 200 dolar AS sebelum perang, sekarang berharga 1,3 ribu dolar AS (sekitar Rp21,4 juta) bila tersedia.
"Saat ini, yang ada hanyalah perang. Tidak ada uang. Tidak ada pekerjaan. Rumah kami telah hancur. Saya tidak punya apa-apa," kata al-Batsh.
Iyad al-Bayouk, pemilik peternakan sapi yang sekarang ditutup di Gaza selatan, mengatakan kekurangan ternak dan pakan yang parah akibat blokade Israel telah menaikkan harga. Beberapa peternakan lokal telah diubah jadi tempat perlindungan.
Mohammed Abdel Rahim, yang telah berlindung di sebuah bangunan di peternakan sapi kosong di Gaza tengah selama berbulan-bulan, mengatakan bahwa peternakan yang diubah jadi tempat penampungan itu sangat buruk di musim dingin, ketika tempat itu berbau seperti binatang dan dipenuhi serangga.
Saat panas mulai masuk, tanah jadi kering, sehingga lebih bisa ditoleransi, katanya. Abdelkarim Motawq, pengungsi Palestina lainnya dari Gaza utara, dulunya bekerja di industri daging lokal, yang bisnisnya berkembang pesat menjelang Iduladha. Tahun ini, keluarganya hanya mampu membeli beras dan kacang-kacangan.
"Saya berharap saya bisa bekerja lagi," katanya. "Itu adalah waktu yang sibuk bagi saya, di mana saya membawa pulang uang dan membeli makanan, pakaian, kacang-kacangan, dan daging untuk anak-anak saya. Tapi hari ini, tidak ada lagi yang tersisa."
Advertisement