Sukses

Kisah Peselancar Belgia Memilih Hidup di Pulau Terpencil di Indonesia, Rela Tinggalkan Rumah dan Pekerjaannya

Seorang Peselancar asal Belgia, Marjolein dan rekannya yang bernama An, hidup di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang jauh dari pemukiman penduduk.

Liputan6.com, Jakarta - Sebagian besar orang mendambakan hidup yang serba mudah dan dekat dengan perkotaan. Namun, hal itu justru berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan pasangan asal Belgia yang memilih tinggal di pulau terpencil Indonesia.

Mengutip New York Post, Jumat, 28 Juni 2024, seorang peselancar asal Belgia, Marjolein dan rekannya yang bernama An, meninggalkan pekerjaan tetap dan rumah mereka untuk pindah ke pulau tropis terpencil yang ada di Indonesia. Mereka berdua hidup di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang jauh dari pemukiman penduduk.

"Kami ingin berselancar kapanpun kami mau," ungkap keduanya.

Dalam menjalani kehidupannya di pulau tersebut, mereka mengabadikan momen itu melalui cuplikan video dokumenter yang mereka unggah di akun YouTube-nya, Exploring Alternatives. Video tersebut diberi judul "Couple's Impressive Self Reliant Life on a Remote Tropical Island – Off Grid Living" (Kehidupan Mandiri Pasangan yang Mengesankan di Pulau Tropis Terpencil).

"Kami tinggal di sebuah pulau terpencil di Indonesia. Pulau tempat kami berada ini diameternya sekitar 5 km dan tidak ada desa atau jalan raya, jadi semua transportasi dilakukan dengan perahu dengan perahu kayu buatan lokal," jelas Marjolein dalam pembukaan video berdurasi 14 menit 21 detik tersebut.

"Kami sepenuhnya berada di luar jaringan listrik. Hal yang paling saya sukai dari tinggal di sini adalah rasa kemandirian. Kita bisa menyediakan listrik sendiri, air sendiri, makanan kita sendiri, dan itu sangat keren," tambah Marjolein.

2 dari 4 halaman

Membangun Rumah Sendiri

Marjolien dan An bertemu saat mereka masih bekerja di sebuah resor selancar. Namun, pada 2020 lalu akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan membeli sebidang tanah tempat mereka tinggal untuk memenuhi impian mereka sebagai peselancar.

Marjolein telah memanfaatkan keterampilan pertukangan kayunya untuk membangun rumah untuk mereka tinggali. Dia juga memenuhi segala yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup di luar lahan tersebut hanya berdua dengan An.

Meskipun pasangan ini menikmati rumah terpencil mereka dan menggunakan sebanyak mungkin produk yang bersumber secara lokal, ada beberapa hal yang tidak dapat dilakukan sendiri. Mereka harus mendapatkan produk-produk lainnya dari luar pulau.

"Semua (bahan bangunan) lainnya yang harus datang dari daratan, harus datang dengan kapal feri yang datang seminggu sekali," kata Marjolein dalam video.

"Kemudian kami harus mengambilnya dari feri tetapi masalahnya adalah kami tidak memiliki koneksi internet atau 4G atau sinyal telepon di sini," tambahnya.

3 dari 4 halaman

Tidak Ada Jaringan Internet

Untuk mendapatkan sinyal, mereka harus pergi ke luar pulau, dan itu jadi tantangan tersendiri bagi mereka. "Untuk benar-benar memesan barang dari daratan, kami harus berkendara dengan perahu kecil, mencari sinyal yang lebih baik, mencoba mengirim pesan ke toko di daratan," kata Marjolein.

"(Kemudian kami) berharap mereka sedang online menunggu balasan dan ya… itu bisa memakan waktu berhari-hari hanya untuk memesan satu hal kecil. Jadi itu sebabnya segalanya tidak berjalan begitu cepat di sini," tambahnya.

Selain tidak ada jaringan internet yang ada di pulau tersebut dan seiring dengan perjuangan untuk mendapatkan pasokan yang mereka butuhkan, Marjolein juga mengatakan bahwa cuaca yang tidak dapat diprediksi, ancaman ular yang mematikan, dan kurangnya manusia terkadang dapat membuat hidup menjadi lebih sulit.

"Karena kami tinggal sangat terpencil, terkadang kami merasa sedikit kesepian dan itu tidak selalu mudah," akunya.

"Menurut saya, ini adalah salah satu tantangan terbesar dalam hidup di sini," tambah Marjolien.

4 dari 4 halaman

Memanfaatkan Sumber Daya Alam Lokal untuk Kebutuhan Sehari-hari

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Marjolien sangat bergantung dengan sumber daya yang ada di sekitar pulau tersebut. Ketika hujan, mereka menampung airnya untuk dijadikan sebagai air minum.

"Untuk minum kita menampung air hujan  yang kemudian kami masukkan ke dalam (wadah) yang kemudian air tersebut kami filter," ujarnya.

Terkadang, mereka juga harus pergi ke pulau utama yang ada desa di sana untuk membeli kebutuhan yang tidak bisa didapatkan di pulau yang mereka tinggali. Mereka pergi ke sana untuk membeli bahan-bahan makanan seperti beras, teh, kopi, tepung, gula.

Mereka juga sebenarnya bercocok tanam, tapi Marjolien mengatakan bahwa mereka terkadang tidak ada waktu untuk itu, jadi beberapa harus beli dari luar. "Sejujurnya kami tidak punya banyak waktu untuk itu, tapi kami berharap suatu saat akan tumbuh lebih banyak lagi," ujarnya.

Marjolein juga mengaku bahwa mereka sering keluar masuk hutan untuk mendapatkan sayuran dan buah-buahan. Mereka pergi mengumpulkan mangga dan pisang atau sesuatu yang disebut langat yang merupakan sejenis rambutan. Cukup banyak buah-buahan yang tumbuh di sini, tapi hanya musiman, jadi tidak sepanjang tahun tumbuh.

Mejolein dan An juga beternak ayam untuk diambil daging dan telurnya. Terkadang, untuk makan sehari-hari, mereka juga pergi ke laut untuk memancing lalu membakarnya sebagai santapan sehari-harinya.

Â