Liputan6.com, Jakarta - Ratu Camilla berdandan anggun saat menghadiri salah satu pertandingan Wimbledon yang digelar di London, Inggris, pada Rabu, 10 Juli 2024. Namun, sorotan publik terarah pada tas tangan yang ditentengnya ke pinggir lapangan tenis tersebut.
Perempuan berusia 76 tahun itu kedapatan menenteng tas Lady Dior berharga USD6 ribu (sekitar Rp97 juta) berwarna abu-abu tua. Ia saat itu memadankannya dengan gaun bermotif jerapah warna kecokelatan rancangan Anna Valentina.
Baca Juga
Istri Raja Charles bahkan kembali membawanya saat berkunjung ke Wales pada keesokan harinya. Kali itu, ia mengganti bisananya dengan gaun mantel merah muda dan topi jerami besar saat mengunjungi pameran Welsh pada Kamis, 11 Juli 2024. Camilla kemudian mengganti busananya dengan gaun maxi warna hijau cerah dan kardigan serasi saat kembali menenteng tas barunya untuk mengunjungi Sekolah Dasar Lacock di Inggris di sore harinya.
Advertisement
Mengutip Page Six, Sabtu, 13 Juli 2024, nama tas tersebut terinspirasi dari Putri Diana. Menurut Dior, ibu Pangeran William dan Harry mulai menyukai desain brand fesyen Prancis itu ketika mantan Ibu Negara Prancis Bernadette Chirac menghadiahkannya tas Chouchou pada 1995. Saat itu, tas tersebut belum pernah dirilis oleh Dior.
Setelah Diana terlihat membawa tas tersebut ke beberapa acara, Dior memutuskan mengubah nama tas tersebut dengan Lady Dior sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan berjuluk Lady Di. Tas itu bahkan menjadi identik dengan gaya personal Lady Di.
Penggemar Putri Diana Bereaksi Keras
Tak mengherankan saat Camilla mengenakan tas tersebut, publik langsung menyorotinya. Hal itu mengingat relasi keduanya yang saling bertentangan mengingat Camilla adalah selingkuhan Raja Charles III selama bertahun-tahun sebelum resmi dinikahi pada 9 April 2005.
Meski mengejutkan publik, Camilla bukan pertama kalinya mengenakan koleksi Dior. Ia pernah mengenakan gaun jubah biru tua yang elegan dari rumah mode Prancis itu ke pesta kerajaan di Versailles pada September 2023. Dia juga mengenakan desain Dior ke Royal Ascot pada 2023 dan 2024.
Sejumlah warganet mengaku bingung dengan tas pilihan Camilla. Mereka meramaikan kolom komentar Instagram Royal Fashion Police yang biasa mengulas penampilan para bangsawan di seluruh dunia.
"Camilla dengan tas LADY Dior adalah larangan besar bagi saya! Putri Diana-lah yang membuat tas itu menjadi ikon," komentar salah satu warganet.
"Aku juga memikirkan hal ini. Tidak boleh! Diana selamanya," tulis warganet berbeda. Lainnya berkomentar, "Lady Dior!!! Yang benar saja? Nama pemberian saat digunakan oleh Diana ❤️."
Di X (sebelumnya Twitter), penggemar Diana lainnya mengatakannya dengan lebih blak-blakan, menulis, "Jangan camila Parker Bowls atau apa pun nama penyihir itu, menggunakan Lady Dior."
Advertisement
Dior Disebut Eksploitasi Pekerja Migran
Di sisi lain, kredibilitas Dior sebagai jenama fesyen mewah sedang dipertanyakan. Laporan dari penuntut di Italia mengungkap Dior terlibat dalam kasus eksploitasi pekerja migran yang memproduksi tas-tas mewah.
Mereka bekerja dengan upah yang sangat rendah, hanya sekitar dua dolar AS (sekitar Rp36 ribu) per jam, jauh di bawah standar hidup layak, lapor NY Post, dikutip Jumat, 5 Juli 2024. Laporan tersebut menyebutkan bahwa para pekerja migran berasal dari Bangladesh, Pakistan, dan negara-negara lain di Asia Selatan.
Mereka ditampung di tempat tinggal yang kumuh dan tidak layak, lalu dipaksa bekerja selama berjam-jam tanpa mendapatkan hak-hak dasar, seperti cuti dan asuransi kesehatan. Para buruh migran sering kali ditipu agen perekrutan yang menjanjikan pekerjaan dengan upah tinggi dan kondisi kerja yang baik.
Kenyataannya, mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang berbahaya dan tidak manusiawi. Mereka berisiko mengalami cedera dan penyakit akibat kerja keras, serta lingkungan kerja yang buruk. Seorang aktivis hak buruh menilai praktik itu adalah contoh nyata dari eksploitasi dan ketidakadilan yang terjadi di balik industri fesyen.
Dior dan Armani Bayar Rendah untuk Dijual Mahal
Dior, rumah mode mewah multinasional Prancis yang dipimpin Bernard Arnault dan keluarganya, membayar sekitar 57 dolar AS (sekitar Rp930 ribu) pada pemasok untuk memproduksi tas tangan yang dijual di toko dengan harga sekitar 2.780 dolar (sekitar Rp45,3 juta), menurut The Wall Street Journal.
Bukan hanya Dior, laporan menyebut Armani, desainer yang tinggal di Milan, membayar 270 dolar AS (sekitar Rp4,4 juta) pada pemasok. Rumah mode itu kemudian menjual tas tangan tersebut di pasar ritel dengan harga dua ribu dolar AS (sekitar Rp33 juta).
Pihak berwenang Italia memperoleh angka tersebut setelah polisi melakukan serangkaian penggerebekan di bengkel-bengkel kerja dan pabrik-pabrik darurat yang mempekerjakan imigran ilegal dan pihak-pihak lain yang "tidak tercatat," lapor Wall Street Journal. Bulan lalu, hakim Italia memerintahkan anak perusahaan Dior, Armanti, dan Alviero Martini Spa, pembuat fesyen mewah yang terkenal dengan tas bergambar peta dan barang lainnya, untuk ditempatkan di bawah administrasi pengadilan setelah memutuskan bahwa unit manufaktur mereka menganiaya pekerja migran.
Outsourcing pembuatan produk Armani dilakukan GA Operations, sebuah perusahaan produksi internal. Menanggapi penggerebekan tersebut, rumah mode ini membantah melakukan kesalahan yang dilakukan GA Operations, yang memproduksi pakaian, aksesori, dan dekorasi rumah untuk merek Giorgio Armani Group.
Advertisement