Liputan6.com, Jakarta - Sepak terjang desainer Tanah Air di kancah internasional tak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, sudah banyak sederet nama terkenal yang mejeng di ajang bergengsi global membawa harum nama Indonesia.
Namun, di dalam negeri pergerakan industri fashion dianggap jalan di tempat, meski sudah satu dekade lebih ajang fashion week digelar. Apakah ajang itu dipandang hanya rutinitas semata bagi desainer untuk mengungkap koleksi terbaru mereka?
Baca Juga
"Membicarakan bagaimana industri mode Indonesia, menurut saya jalan di tempat dan itu sudah berlangsung cukup lama. Industri kita ini tidak juga memiliki jurnalis fashion sekarang dan tidak memiliki fashion critics, padahal itu satu yang penting," ungkap Advisor JF3 dan co-inisiator PINTU Incubator, Thresia Mareta saat diskusi JF3 Talk Vol. 3 di Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI), Jakarta, Kamis, 25 Juli 2024.Â
Advertisement
Theresia mengatakan itulah yang melatarinya menginisiasi Pintu Incubator untuk terkoneksi dengan ekosistem fesyen di Paris. Lewat Pintu Incubator yang bekerja sama dengan Institut Francais Indonesia, Kedutaan Besar Prancis, dan Paris Trade Show, Thresia melihat bagaimana industri fashion di Prancis bekerja dengan standar yang diakui secara internasional.
"Kami jadi membandingkan, apa yang dilakukan di sini, dengan apa yang mereka lakukan di sana. Faktanya masih sangat jauh. Namun, itu bukan berarti kita enggak bisa," kata Thresia seraya mengklaim bahwa yang dilakukannya sebagai suatu gebrakan.
Jangan Hanya Mengikuti Pasar
"Tidak ada ide yang baru, dari tahun ke tahun sama, dan akhirnya saya lihat koleksi yang ditampilkan tidak konsisten," sambung Thresia.
Ia pun menilai bahwa kemungkinannya para pelaku industri fesyen melihat market atau pasar dengan cara yang berbeda. Karena biasanya desainer atau pemilik brand membuat koleksi berdasarkan permintaan market yang hasilnya dihimpun dari data.
Dengan banyak desainer yang membuat koleksi berdasarkan pesanan, begitu pula cara mengembangkan pasar hingga akhirnya terlihat jalan di tempat. "Itu menurut saya logic, supaya bisa menjual koleksi kita lebih baik," imbuhnya, dengan menambahkan bahwa pemilik brand melakukan ini karena melihat fesyen sebagai sebuah bisnis.
Namun hanya melakukan hal yang sama, industri fesyen Tanah Air akan tetap jalan di tempat. Hal yang perlu dilakukan ke depannya, menurut analisisnya adalah koleksi yang lebih konsisten dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi, termasuk aspek sustainability yang semakin dilirik.
Advertisement
Kolaborasi untuk Saling Belajar
Sementara, Direktur Premiere Classe, Paris Trade Show, Sylvie Pourrat, menjelaskan cara para desainer dunia bisa masuk ke ekosistem fesyen dunia di Paris. "Paris adalah tempatnya untuk fashion internasional. Tapi desainer harus siap dengan koleksinya sebelum masuk ke Paris," ungkap Sylvie.
Ia mengingat saat 25 tahun lalu dirinya baru memulai pekerjaannya, banyak desainer berbagai negara datang ke Paris. Banyak desainer datang dari Tokyo, Amerika, Maroko, dan negara lainnya. Dibandingkan menghabiskan uang di Paris, Sylvie menyarankan, sebaiknya desainer lebih dulu mengembangkan pasar lokal agar lebih siap ketika mau melebarkan pasar ke global.
Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf Ni Made Ayu Marthini menyebut bahwa Indonesia berpotensi besar di industri fesyen. Bahkan dari 17 bidang ekonomi kreatif, fesyen menempati nomor satu dengan kontribusi sebesar 50 persen, dengan nomor dua di bidang kuliner.
Ia mengatakan budaya menjadi kekuatan Indonesia, berbagai jenis kain di berbagai daerah begitu kaya dan beragam. "Jadi menurut saya, dengan kreativitas, inovasi, teknologi, kita bisa berinovasi dan berkreasi," ucap Made. Menurutnya, untuk bisa tembus pasar fashion dunia, Indonesia perlu berkolaborasi dan bekerja sama dengan para pemangku kepentingan internasional, seperti yang dilakukan lewat PINTU Incubator.