Sukses

Gelombang Protes Anti-Turis Pecah di Eropa, Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia?

Protes anti-turis di berbagai negara di Eropa, khususnya Spanyol, menjadi ekspresi ekstrem warga yang kesal atas imbas negatif pariwisata massal.

Liputan6.com, Jakarta - Protes anti-turis merebak di berbagai negara di Eropa pada musim panas ini, mulai dari Spanyol, Yunani, hingga Belanda. Apa yang sedang terjadi di benua biru? Mengapa mereka menentang pariwisata? Apa yang bisa dipelajari oleh Indonesia yang juga belakangan menggantungkan perekonomian pada sektor pariwisata?

Salah satu isu utama yang disuarakan dalam demonstrasi anti-turis adalah naiknya harga sewa dan perumahan tidak terkendali. Hal itu mempersulit warga lokal untuk memiliki rumah sendiri.

Carlos Ramirez, seorang guru di Barcelona, Spanyol timur laut, telah menabung untuk membeli rumah pertamanya selama bertahun-tahun dan mendapatkan gaji negara yang 'layak'. Namun, harga-harga di ibu kota Catalan meroket dan Ramirez khawatir ia akan tersingkir dari kotanya.

"Semua orang yang saya kenal tinggal di sini," katanya kepada CNN, dikutip Senin (29/7/2024). "Tetapi satu-satunya cara Anda mampu untuk hidup saat ini di Barcelona adalah berbagi dengan dua, tiga, empat orang."

Seperti penduduk lain di Eropa Selatan yang kota-kotanya juga menjadi tujuan wisata musim panas yang populer, Ramirez menyalahkan pariwisata massal sebagai biang kerok naiknya harga. "Makin sulit bagi penduduk setempat, terutama generasi muda, untuk memiliki tempat tinggal sendiri," keluhnya. "Seiring berlalunya waktu, semakin banyak wisatawan yang datang."

Di Barcelona, harga sewa naik lebih dari 68 persen dalam satu dekade terakhir, menurut Wali Kota Barcelona Jaume Collboni. Pola serupa terjadi hampir di berbagai kota lain di Eropa.

Banyak warga lokal merasa muak. Beberapa mengambil langkah ekstrem agar keluhan mereka didengar, yakni menggelar demonstrasi melawan pariwisata berlebihan di Kepulauan Canary, Spanyol, dan menyerukan mogok makan pada April 2024. Sementara, protes anti-turis yang digelar di Barcelona pada 6 Juli 2024 diekspresikan dengan menembakkan pistol air pada wisatawan asing. 

 

2 dari 5 halaman

Reputasi Barcelona di Mata Wisatawan Tercoreng

Ramirez mengaku senang melihat begitu banyak warga bergabung dalam demonstrasi tersebut, yang menurut Dewan Kota Barcelona dihadiri sekitar 2.800 orang.

"Banyak orang, banyak perusahaan, kini memperingatkan wisatawan untuk mengunjungi Spanyol karena adanya permusuhan dan sebagainya. Terus terang, menurut saya cara ini berhasil," kata Ramirez, merefleksikan kemampuan protes untuk menghalangi wisatawan mengunjungi kota tersebut.

Antje Martins, pakar pariwisata berkelanjutan dari Universitas Queensland, mengatakan dampak reputasi dari protes semacam itu dapat mempengaruhi keputusan wisatawan untuk bepergian. "Barcelona sekarang mempunyai reputasi yang sangat buruk di mata wisatawan lain yang tidak ingin berkunjung karena mereka takut," katanya.

Secara umum, ia meyakini protes itu bukan semata bentrokan antara wisatawan dan warga. "Bagi saya, hal tersebut merupakan cerminan luas dari pariwisata yang tidak dikelola secara berkelanjutan," katanya.

"Ketika saya melihat bentrokan dengan warga memberontak terhadap pariwisata… Saya pikir itu adalah cerminan dari ketidakbahagiaan mereka karena tidak mendapatkan manfaat apa pun dari pariwisata yang mereka lihat," imbuhnya.

 

3 dari 5 halaman

Masalah Struktural di Eropa Akibat Kesalahan Penanganan Pariwisata

Martins berpendapat bahwa masalah utama yang berperan di sana adalah masalah struktural, bukan masalah pribadi. Penduduk yang dirugikan karena tingkat pariwisata yang tidak berkelanjutan biasanya dibayar dengan upah yang lebih rendah dan beberapa di antaranya bekerja di industri pariwisata itu sendiri.

Ramirez sependapat dengan Martins. "Saya bisa berempati dengan mereka, kami tidak menyalahkan wisatawan secara langsung," ujarnya. "Kami ingin menekan pemerintah kami untuk mengubah kebijakan."

Menyadari itu, pemerintah sejumlah kota di Eropa bertindak dalam upaya mengendalikan tingkat pariwisata. Para pejabat di Venesia, misalnya, menerapkan pajak wisata untuk mengatur jumlah wisatawan.

Tarif wisata baru sebesar 5 euro (sekitar Rp88,5 ribu), yang dimulai pada 25 April dan berakhir pada 14 Juli 2024, menghasilkan lebih dari 2,4 juta euro (sekitar Rp42,5 miliar), jauh lebih besar dari yang diharapkan, menurut Wali Kota Venesia Luigi Brugnaro. Beberapa warga mengatakan bahwa meskipun masih sibuk, jumlah massa tampak lebih sedikit selama skema tersebut.

 

4 dari 5 halaman

Perilaku Buruk Sejumlah Turis Asing Picu Kemarahan Warga Lokal

Meski begitu, tidak semua sependapat. Susanna Polloni, dari kelompok Jaringan Solidaritas untuk Perumahan yang berbasis di Venesia, mengatakan kepada CNN bahwa pajak 'tidak hanya tidak berguna, tetapi juga berbahaya', karena pajak tersebut membawa gagasan 'Veniceland' ke dalam imajinasi internasional, yakni turis harus membeli tiket masuk untuk Venesia. 

Polloni menyebut pariwisata massal telah menyebabkan layanan kesehatan ditutup, toko-toko di lingkungan sekitar digantikan oleh toko suvenir, dan harga rumah melonjak di kota kanal Italia. "Kita akan mencapai titik yang tidak bisa kembali lagi," kata Polloni. "Kami pikir seruan kami untuk meminta bantuan, dari kota yang sedang sekarat demi keuntungan segelintir orang, harus menjangkau seluruh dunia."

Selain masalah perumahan, isu lain yang disorot warga lokal sebagai imbas pariwisata adalah perilaku tidak terpuji sejumlah wisatawan asing. Contoh kasus adalah turis perempuan berpose cabul dengan patung ikon kota Florence, Italia. Pada 2023, seorang turis dituduh merusak patung kota dari abad 16, Fountain of Neptune yang berlokasi di Piazza della Signoria, dan masih banyak lagi.

"Sepertinya mereka melakukan apa yang tidak bisa mereka lakukan di negara mereka sendiri," kata Ramirez. "Kami merasa sangat terhina."

5 dari 5 halaman

Apa Solusi dari Imbas Pariwisata Massal?

Sebastian Zenker, seorang profesor pariwisata di Copenhagen Business School, menjelaskan bagaimana insiden semacam ini menyebabkan beberapa kota menjalankan 'kampanye de-marketing' yang bertujuan untuk mencegah wisatawan tertentu berkunjung. Ia merujuk pada kampanye 'Stay Away' di Amsterdam pada 2023, yang menargetkan pengunjung pria berusia antara 18 dan 35 tahun dengan iklan yang memperingatkan mereka tentang konsekuensi perilaku anti-sosial.

"Itu adalah cara de-marketing yang sangat sulit dan ketat," ia menjelaskan. "Hal ini tidak menghentikan pesta bujangan, namun menciptakan kesadaran bahwa kota ini telah mengubah peraturannya."

Di sisi lain, kata Zenker, mengalihkan target ke wisatawan 'berkualitas' juga menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. "Jika Anda menaikkan harga dan menarik lebih banyak orang kaya, hal ini akan menyelesaikan efek crowding (keramaian), namun pada saat yang sama meningkatkan inflasi dan masalah gentrifikasi."

Di Mallorca, harga-harga menjadi 'sangat gila' setelah banyak aktivitas untuk 'turis yang minum-minum' dilarang. Ia juga menyebut sebagian besar dana yang terkumpul tidak akan kembali ke tangan masyarakat lokal. Jadi, apa solusinya?

"Ini tentang melihat uang yang dihasilkan oleh wisatawan, atau dari wisatawan, diinvestasikan di tempat dan lapangan kerja sehingga masyarakat mampu untuk hidup," katanya. "Ini [protes] akan terus berlanjut, sampai kita menemukan keseimbangan lagi."

Â