Liputan6.com, Jakarta - Ajang olahraga kelas dunia Olimpiade Paris 2024 tak hanya menarik banyak perhatian karena prestasi dan pencapaian para atlet yang berlaga. Penampilan sejumlah atlet juga kerap ramai jadi bahasan, seperti atlet renang asal Belanda, Arno Kamminga.
Aksi Kamminga di Olimpiade 2024 sedang viral di media sosial. Bukan karena prestasi gemilangnya tapi kostumnya yang bikin salah fokus (salfok) dan mungkin terkesan agak vulgar. Melansir laman The Mirror, Senin, 29 Juli 2024, Arno Kamminga tampil di final nomor gaya dada 100 meter di Paris La Defense Arena, Paris, Prancis, Sabtu, 27 Juli 2024.
Baca Juga
Ia mengenakan celana renang ketat berwarna biru dengan aksen bitnik-bintik warna oranye, warna khas negeri Belanda yang juga jadi ciri khas pria berusia 28 tahun itu. Celana yang terkesan transparan itu bikin salah fokus (salfok) warganet dan tentunya mereka yang menyaksikan langsung di tempat perlombaan.
Advertisement
Seusai bertanding dan keluar dari kolam renang, Arno langsung menarik perhatian karena efek transparan langsung membekas di celananya. Ia tampak seperti tanpa busana sama sekali. Yang terlihat tertutup hanya di bagian alat vitalnya berupa corak segitiga warna biru yang agak terang.
Kamminga kemudian membagikan penampilannya saat sebelum berlomba di akun Instagramnya @arnokamminga pada Senin. Beragam reaksi baik berupa sindiran maupun candaan ramai memenuhi media sosial.
"Arno Kamminga, kau masih sangat penting bagi kami," komentar seorang warganet sambil memperlihatkan foto sang atlet memakai celana renang transparan tersebut.
"Dia sangat patriotik karena akan mengembangkan virus cacar air berwarna oranye,” sindir warganet lain.
"Apakah ini illegal?” tanya yang lain.
"Pastinya kita menonton (Olimpiade) ini karena olahraganya,” kata warganet lainnya.
"Jika pakaian renangnya membuat kamu melihat unggahan ini, silakan beri tanda likes," ujar warganet lain.
Gagal Ulangi Prestasi di Olimpiade Tokyo
Di sisi lain, tak sedikit juga yang tetap mendukung Kamminga untuk bisa meraih medali di Olimpiade Paris. Dalam laga final tersebut, ia finis di urutan keenam yang berarti gagal meraih medali. Rasa kecewa itu dibagikannya di akun Instagramnya.
"Bukan hasil yang aku inginkan," tulisnya dalam keterangan unggahannya. Kamminga ternyata merasa kecewa karena gagal menyamai prestasinya di Olimpiade Tokyo 2020. Saat itu ia meraih dua medali perak dari nomor 100 meter dan 200 meter untuk gaya dada. Ia pun bertekad kembali fokus untuk berusaha meraih medali di nomor 200 meter gaya dada.
Bila pakaian renang transparan seperti Arno Kamminga tidak dilarang oleh panitia, nasib berbeda dialami Diaba Konaté (Diaba Konate), atlet basket berhijab yang tengah jadi sorotan.
Bukan karena prestasinya melainkan akibat tak bisa bertanding gara-gara penutup kepala yang dikenakannya. Laporan US News yang dikutip Senin, 29 Juli 2024, menyebut, Konate tidak bisa bertanding di negaranya sendiri dalam perhelatan Olimpiade 2024 Paris akibat terjegal larangan hijab.
Advertisement
Larangan Berhijab Atlet Prancis di Olimpiade 2024
Diaba Konaté dinobatkan sebagai pemain bertahan terbaik konferensi basket perguruan tinggi NCAA Big West tahun 2023-2024. Pada tahun terakhirnya bermain untuk University of California, Irvine, ia mencetak rata-rata 7,5 poin, 2,4 rebound, dan 3,7 assist per game.
Konaté, yang lahir dan besar di Paris, memiliki persentase lemparan bebas yang tinggi. Ia banyak mencuri bola dari lawan. Beberapa penggemar basket menganggapnya sebagai bintang yang bersinar di turnamen NCAA Women's March Madness tahun 2024 ini.
Meski bersinar di lapangan, Diaba malah tidak dapat bermain basket di negaranya sendiri, termasuk untuk tim nasional Prancis selama Olimpiade Paris. Dan itu karena ia mengenakan hijab.
Padahal International Basketball Federation (FIBA) atau Federasi Bola Basket Internasional, organisasi yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss yang mengatur olahraga ini di seluruh dunia, pada tahun 2017 membatalkan larangan global terhadap jilbab yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim.
Langkah menjegal Konaté adalah dari versi domestik Prancis dari badan tersebut yakni French Federation of Basketball (FFBB) atau Federasi Bola Basket Prancis. Mereka memilih untuk menerapkan hukum negara tentang sekularisme yang melarang penggunaan simbol atau pakaian yang mengekspresikan afiliasi keagamaan di sekolah umum dan lembaga lain yang terkait dengan negara.
Larangan Jilbab di Prancis Tidak Sekadar Diskriminatif
Atlet seperti Konaté mengatakan hal itu berdampak buruk pada karier bola basket mereka. "Konteks di Prancis membuat saya gugup," kata Konaté, 23 tahun, bulan lalu dalam panggilan Zoom dengan wartawan, pelatih, dan perwakilan dari kelompok hak asasi manusia yang telah berusaha untuk membatalkan larangan jilbab di Prancis dalam sepak bola, bola basket, dan bola voli, baik di tingkat profesional maupun amatir.
"Sangat membuat frustrasi karena tidak dapat mewakili negara saya atau sekadar bermain basket hanya karena identitas agama saya sebagai seorang wanita Muslim yang memilih untuk mengenakan jilbab," ujar Konaté, mengutip kanal Global Liputan6.com.
"Saya tidak dapat sepenuhnya mengekspresikan keyakinan saya dan mengejar aspirasi atletik saya." Para aktivis mengatakan larangan jilbab di Prancis tidak sekadar diskriminatif.
Larangan ini juga secara efektif mencegah wanita dan anak perempuan Muslim untuk berpartisipasi penuh dalam olahraga, untuk rekreasi atau sebagai karier. Pengecualian ini dapat berdampak negatif pada kehidupan mereka, termasuk kesehatan mental dan fisik mereka.
Advertisement