Sukses

Cerita 3 Generasi Merawat Usaha Sate Khas Senayan hingga Bisa Eksis Lebih dari 50 Tahun

Bermula dari restoran sate pada 1974, Sate Khas Senayan berkembang dengan berbagai brand kuliner dan rencana ekspansi ke Belanda.

Liputan6.com, Jakarta - Jarang ada bisnis keluarga yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Butuh dedikasi dan kerja sama antar-generasi yang memungkinkan hal itu terjadi. Itulah yang dilakukan Sarirasa Group yang salah satunya menaungi brand Sate Khas Senayan hingga bisa bertahan lebih dari 50 tahun.

Ide bisnis kuliner itu muncul dari Budi Hadisurjo, seorang lulusan teknik kimia, yang mengamati bahwa banyak orang Indonesia menggemari sate, khususnya sate ayam. Pada awal 1970-an, kebanyakan pedagang sate menjajakan dagangannya secara tradisional, entah dipikul atau membuka warung sederhana.

Melihat peluang di depan mata, Budi putar otak agar bisnisnya bisa bersaing dan berjalan baik. "Dalam pikiran saya, gimana caranya satenya lain (berbeda). Zaman dulu orang paling suka itu ayam kampung, ayam broiler belum diterima karena ada bau yang tidak dinikmati," sebutnya saat mengisi panggung Talkshow Sarirasa 50 Tahun Berbagi Cerita Tentang Rasa di Jakarta, Jumat, 9 Agustus 2024.

Meski begitu, ada kelemahan pada daging ayam kampung, yakni tekstur tidak seempuk daging ayam broiler. Ia dibantu istri dan ibu mertuanya mencari cara agar bisa menjual sate ayam broiler yang empuk dan tidak amis. "Setelah keliling, paling cocok ternyata dari Ponorogo," katanya.

Istrinya menimpali dengan menyebut mereka beruntung bertemu penjual sate Ponorogo bernama Pak Bagong yang bersedia bermitra dan membagi ilmu. Kuncinya ada pada pemilihan daging dan bumbu marinasi yang bisa membuat bau yang tak enak hilang.

"Di situ orang yang merasakan (makan) ayam broiler tidak merasakan bau, bau amisnya hilang. Satenya kok empuk, katanya. Dari situ, kita punya Sate House Senayan," ucapnya.

2 dari 4 halaman

Asal-usul Nama Sate Khas Senayan

Budi mengungkap, asal-usul nama Sate House Senayan. Ternyata, itu berasal dari nama butik pakaian di sebelah restoran satenya. "Itu tahun 1974," ujarnya.

Dengan cita rasa sate yang berbeda dari biasanya, usahanya laris manis. Bahkan, antrean pengunjung masih panjang saat malam hari.

Usaha keluarga itu terus berjalan dan berkembang hingga tongkat estafet diserahkan dari Budi pada anaknya, Benny Hadisurjo. Nama Sate House Senayan pun diubah jadi Sate Khas Senayan.

Lagi-lagi, anaknya tidak berlatar belakang pendidikan di bidang kuliner, tapi minatnya mengembangkan usaha keluarga tidak boleh diremehkan. Banyak ekspansi dilakukan di masa kepemimpinannya, termasuk rencana membuka restoran Sate Khas Senayan di Belanda tahun ini sebagai tahap pertama agar makanan Indonesia bisa semakin dikenal di luar negeri.

"Makanan yang paling dinamis itu harus makanan Indonesia. Saya rasa, di situasi yang paling rame itu adalah restoran yang sajikan makanan Indonesia. Di bar atau kafe juga menyajikan makanan Indonesia. Itu sangat membanggakan sekali," ucapnya yang mendirikan Sarirasa International, beberapa tahun sebelumnya.

3 dari 4 halaman

Rencana Industrialisasi Sarirasa Group

Meski Benny masih aktif mengelola bisnis, generasi ketiga mulai bersiap-siap mengambil tanggung jawab lebih besar. Lewat Christopher Hadisurjo, rencana masa depan Sarirasa Group mulai disusun agar bisa beradaptasi dengan tuntutan zaman.

Setelah tamat kuliah dari Universitas Purdue, AS, pada 2020, ia memutuskan kembali ke Indonesia usai bekerja di bidang supply chain selama beberapa waktu. Menurutnya, aset yang sudah dimiliki keluarga harus dimaksimalkan dengan ilmu yang dia dapatkan selama kuliah dan bekerja di luar negeri.

"Deliver authentic food yang berkualitas enggak mungkin bisa kalau restorannya model rumahan. Harus industrialisasi, tapi tetap dengan rasa rumahan," ucapnya.

Tahap pertama industrialisasi adalah membuat dapur terpusat. Resep yang ada dibedah agar skala produksinya bisa dilipatgandakan. Ia mengaku, usaha Sarirasa Group saat ini menggunakan dua ribu material untuk 600 jenis makanan, yang mana 500 SKU di antaranya diproduksi sendiri.

"Kita punya fasilitas gede banget dengan food safety yang sangat tinggi dan bisa buat jenis makanan apapun. Sangat gampang to scale up. Ke depannya lebih gampang kalau fokus di sistem," ia menerangkan.

4 dari 4 halaman

2 Tantangan Terbesar untuk Makanan Indonesia di Masa Depan

Christopher menyebut, makanan Indonesia akan semakin menantang di masa depan. Ada dua tantangan utama yang harus dihadapi, yakni perubahan teknologi dan generasi lebih muda yang lupa akan makanan Indonesia. 

"Tadinya kita ada 100 menu, sekarang mungkin taunya hanya 10 karena semakin banyak makanan dari luar. Kita harus pertahankan makanan Indonesia dan menjawab perubahan teknologi," sambungnya.

Ia juga mengungkap keinginan agar lebih banyak makanan Indonesia yang dijual di supermarket. Hal itu untuk mendukung perluasan akses bagi makanan Indonesia buatan perusahaannya yang selama ini terkonsentrasi di Jakarta.

"Kita ada tendensi untuk selalu melihat keluar, padahal di dalam sudah luar biasa. Kita hanya perlu memaksimalkan dari segi culture ke depannya. Ini tugas generasi saya dan ke depannya untuk lebih melihat apa yang bisa dimaksimalkan. Saya harus bekerja keras agar generasi Indonesia bisa terus makan comfort food, Indonesian food," ucap Christopher.