Sukses

Pro Kontra Hukum Baru di India, Antara Melindungi Wanita atau Kriminalisasi Pemutusan Hubungan Cinta

Salah satu aturan baru di India adalah para suami yang berselingkuh dan berhubungan intim dengan wanita lain terancam hukuman penjara sampai 10 tahun. Tapi banyak pihak mempertanyakan bapakah aturan ittu efektif dfalam melindungi para wanita dan kekerasan seksual.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah India pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi telah mengeluarkan aturan Undang Undang (UU( baru pada awal Juli 2024. UU baru ini diterapkan untuk menggantian warisan kolonial Inggris yang sudah berlaku selama 164 tahun. Namun ada berbagai hal yang disoroti seputar aturan baru ini yang kabarnya dibuat untuk lebih nelindungi wanita India dari kekerasan seksual maupun kekerasan fisik lainnya.

Dilansir dari CNN, Sabtu, 10 Agustus 2024, salah satunya adalah para suami yang berselingkuh dan berhubungan intim dengan wanita lain terancam hukuman penjara sampai 10 tahun. Tapi banyak pihak mempertanyakan bagaimana penerapan aturan tersebut dan apakah efektif dfalam melindungi para wanita dan eksploitasi seksual.

Yang juga jadi sorotan dan menuai pro kontra adalah Pasal 69 yang mengatur tentang pria yang ingkar janji pada wanita yaitu berhubungan intim dengan seorang wanita dan berjanji akan menikahinya tapi kemudian tidak menepati janji tersebut atau memakai identitas palsu saat menikahi seorang wanita maka bisa terancam hukuman penjara 10 tahun dan harus membayar sejumlah denda.

Aturan baru ini banyak dipertanyakan karena selama ini sudah banyak kasus pria di India mengingkari janjinya untuk menikahi wanita dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat, seperti menilai calon istrinya sudah tidak perawan lagi atau bahkan meminta uang dalam jumlah besar agar bersedia menikah.

Sejumlah pihak yang mendukung aturan baru adalah sebuah organisasi pembela hak-hak wanita di India, Majlis Law. Menurut direktur Majlis Law, Audrey Dmello, salah satu aturan yang membuatnya mendukung aturan baru ini adalah menggugurkan kewajiban seorang pria yang memperkosa seorang wanita menebus kesalahannya dengan menikahi wanita tersebut.

"Peraturan baru ini membuat wanita bisa menentukan nasib mereka sendiri tanpa ada paksaan dari pihak lain," ucapnya pada CNN. Di UU yang lama, para pria yang ingkar janji untuk menikahi wanita yang sudah diajaknya berhubungan intim tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sikap Skeptis Generasi Muda India

Meski begitu aturan baru ini kemungkinan masih akan menemui banyak hambatan dan konflik dalam penerapannya, seperti istilah janji untuk menikahi yang bisa saja dibantah para pria dengan berbabgai alasan.

Salah satu contohnya adalah pada 2019 lalu, Mahkamah Agung India menghadapi sebuah kasus seorang wanita menuntut kekasihnya karena dianggap telah memperkosa dirinya dengam alasan kekasihnya itu tidak memenuhi janji untuk menikahinya karena beda kasta.

Sistem kasta di India sebenarnya sudah tidak berlaku lagi secara hukum sejak tahun 1950, tapi sistem sosial yang sudah berlangsung selama 2.000 tahun lebih itu nyataya masih diberlakukan di berbagai aspek kehidupan sosial dii India. Kasus di Mahkamah Agung itu sendiri diputuskan tidak dilanjutkan karena dianggap tidak ada bukti telah terjadi pemerkosaan sehingga tidak ada tindakam hukum yang harus diambil.

Sejumlah pihak memamg menanggapi peratiran baru ini dengan beragam. Anak-anak muda di India banya yang bersikap skeptis.. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai kriminalisasi hubungan cinta. Meski aturan baru itu dianggap cukup bagus dan relevam dengan situasi saat ini, sistem sosial yang dinilai masih tradisional masih mengikat kuat di masyarakat India sehingga sulit untuk mengubahnya apalagi hanya dalam waktu singkat. 

Mereka menilai masih biutuh waktu lama untuk mengubah persepi maupun sudut pandang masyarakat India meski pola pikir mereka saat ini sudah dianggap lebih modern.

 

3 dari 4 halaman

Hak Aborsi untuk Wanita

Sebelumnya aturan hukum di India juga mendapat banyak sorotan. Pada Kamis, 29 September 2022, Mahkamah Agung India menetapkan bahwa tindak pemerkosaan dalam pernikahan juga didefinisikan sebagai pemerkosaan oleh Mahkamah Agung India, mengutip dari CNN pada Jumat, 30 September 2022. Seiring keputusan tersebut, pengadilan juga memperpanjang hak aborsi dari 20 minggu masa kehamilan menjadi 24 minggu masa kehamilan.

Pengadilan tinggi India menyatakan bahwa semua wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, berhak untuk mengaborsi hingga 24 minggu, seperti dilaporkan oleh kantor berita Press Trust of India (PTI). Pernyataan tersebut dibuat sebagai bagian dari interpretasi Medical Termination of Pregnancy Act atau Undang-Undang Penghentian Kehamilan Medis 1971.

Dalam undang-undang lama, hak aborsi berlaku untuk wanita yang sudah menikah atau mengalami perkosaan atau mengancam nyawa ibu. Perintah pengadilan juga menyatakan akan berhenti mengkriminalisasi seks paksa oleh seorang suami, tetapi aborsi akan diizinkan karena kasus-kasus seperti itu akan dianggap sebagai serangan seksual.

"Hanya dengan fiksi hukum yang … menghapus perkosaan dalam pernikahan dari lingkup pemerkosaan," bunyi perintah itu.

4 dari 4 halaman

Kekerasan Berbasis Jenis Kelamin

"Kami lalai jika tidak mengakui bahwa kekerasan pasangan intim adalah kenyataan dan merupakan bentuk pemerkosaan. Kesalahpahaman tentang hanya orang asing secara eksklusif atau hampir secara eksklusif bertanggung jawab atas kekerasan berbasis jenis kelamin dan gender adalah hal yang sangat disesalkan. Kekerasan berbasis jenis kelamin dan gender (dalam segala bentuknya) dalam konteks keluarga telah lama menjadi bagian dari pengalaman hidup banyak perempuan," demikian penjelasan perintah pengadilan itu.

Pada 2021, Undang-Undang Penghentian Kehamilan Medis diamandemen untuk menghapus perbedaan antara perempuan yang menikah dan belum menikah dan meningkatkan batas waktu aborsi menjadi 24 minggu dengan beberapa syarat tertentu. Revisi undang-undang itu memungkinkan penerapan interpretasi hukum yang lebih luas.

Dengan interpretasi baru, Mahkamah Agung memutuskan bahwa pembedaan antara menikah dan tidak menikah tidak 'berkelanjutan secara konstitusional'. Pembedaan itu, menurut pengadilan, hanya akan melanggengkan stereotip bahwa hanya wanita yang sudah menikah yang melakukan aktivitas seksual.

Keputusan penting yang diambil itu menyusul serangkaian protes masyarakat atas tingginya insiden kekerasan seksual di India selama beberapa tahun terakhir. Korban pada umumnya adalah perempuan dewasa dan anak perempuan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.