Sukses

Cut Intan Nabila Diduga Lempar Kode Empat Jari Sebelum Bongkar Aksi Dugaan KDRT Armor Toreador, Apa Itu?

Cut Intan Nabila diduga lempar kode "empat jari" sekitar seminggu sebelum menguak video tindak KDRT yang diduga dilakukan suaminya, Armor Toreador.

Liputan6.com, Jakarta - Publik masih mengawal kasus dugaan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami mantan atlet anggar Cut Intan Nabila. Maka itu, sebagian pengguna media sosial mengunjungi kembali laman Instagram ibu tiga anak tersebut.

Berdasarkan penelurusan warganet, Intan diduga mengirim kode "empat jari" sebelum berbagi video memperlihatkan diduga tindak kekerasan suaminya, Armor Toreador. Ini didapati dari unggahan video memperlihatkan stok ASI untuk bayinya yang dibagikan pada Rabu, 7 Agustus 2024.

"Aku baru buka ig dan scroll ig korban. Ternyata di video sebelumnya, dia ada sign 'empat jari.' YaAllah, temen-temen yuk aware ke sekeliling kita juga kali aja memang sudah ada yg memberi 'sinyal' butuh bantuan. Untuk ka Cut Intan, semoga diberi kebahagian selalu ya kak🥹❤️," tulis salah satu pengguna X, dulunya Twitter.

Jadi, apa itu kode "empat jari?" Melansir Sky News, Kamis (15/8/2024), isyarat tangan sederhana ini diluncurkan pada awal pandemi COVID-19 untuk mengatasi peningkatan KDRT di seluruh dunia dan membantu mereka yang menderita saat terjebak di rumah.

Isyarat ini, yang diciptakan Women's Funding Network dan Canadian Women's Foundation, dikembangkan untuk ditampilkan tanpa suara untuk memberi tahu keluarga, teman, atau kolega bahwa seseorang membutuhkan bantuan. Isyarat ini juga dapat digunakan dalam situasi lain, seperti saat menjawab pintu.

Isyarat empat jari melibatkan mengangkat telapak tangan, menyelipkan ibu jari, dan mengatupkan jari-jari. Isyarat ini awalnya diluncurkan di Kanada dan AS, dan telah menyebar ke seluruh dunia berkat media sosial.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dukungan pada Perempuan dan Anak Perempuan untuk Bebas dari Kekerasan

CEO Women's Funding Network Elizabeth Barajas-Roman mengatakan, "Isyarat untuk Membantu penting karena bersifat non-verbal dan memiliki kekuatan terlepas dari bahasa dan budaya." Kendati demikian, perempuan membutuhkan lebih dari sekadar isyarat untuk lepas dari kekerasan pasangan.

Disebutkan bahwa dukungan lebih luas dibutuhkan demi memastikan perempuan dan anak perempuan terbebas dari kekerasan. Pertama, terkait mobilitas ekonomi. Perempuan membutuhkan gaji yang setara, upah yang layak, dan peran kepemimpinan sehingga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi dan tidak bergantung pada pelaku kekerasan.

Menurut Koalisi Nasional Melawan Kekerasan dalam Rumah Tangga di AS, kebebasan finansial berarti kemampuan terbebas dari pelaku kekerasan. Kemudian, pentingnya keberadaan pusat penilian anak yang terjangkau dan Prasekolah Universal. Berkaitan dengan poin pertama, ini berarti mendukung korban menjauhkan anaknya dari pelaku kekerasan.

Ketiga, layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas pun berperan krusial. Pemulihan dari trauma fisik dan emosional akibat kekerasan memerlukan akses ke perawatan kesehatan, termasuk perlindungan kesehatan mental.

3 dari 4 halaman

Beda Red Flags dan Ujian Pernikahan

Sebelumnya, warganet sudah berbagi beda red flags dengan ujian pernikahan. Di template yang dibagikan ulang penguna Instagram, warganet menegaskan bahwa KDRT bukanlah ujian pernikahan.

Narasi itu berbunyi, "IMO (in my opinion (menurut saya)), ujian pernikahan dan red flags itu beda. Red flags itu semacam peringatan bahwa pernikahannya udah gak sehat, misal KDRT, selingkuh, pengabaian dan adiksi."

"Kalau ujian pernikahan itu semacam tantangan yg perlu dihadapi bersama sebagai tim. Misal suami di-PHK, istri bantu perekonomian. Atau istri sakit dan suami setia menemani. Atau ada kendala infertilitas. Sering kali juga ujian tuh faktor eksternal di luar kontrol, bukan diadain dengan sengaja."

"Itu baru ujian. Permasalahan dihadapi bersama bukan salah satu bikin masalah, pasangannya yang nanggung sakitnya. Jadi, KDRT, selingkuh, pengabaian, dan adiksi adalah faktor penyebab trauma, BUKAN UJIAN RUMAH TANGGA," tandas pernyataan tersebut.

Ungkapan ini sebenarnya sudah ada sebelum kasus Cut Intan Nabila diketahui publik dari video penganiayaan yang dibagikan sang mantan atlet di akun Instagram pribadi pada Selasa, 13 Agustus 2024. Ini dari akun X, dulunya Twitter @disyarinda, yang mengomentari kasus kekerasan lain yang diduga dilakukan seorang ayah pada anaknya.

Beberapa jam setelah rekaman KDRT diunggah Cut Intan Nabila di akun Instagram-nya, suaminya Armor Toreador ditangkap polisi di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Kepada jurnalis, Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro membenarkan kabar Armor ditangkap polisi, lapor kanal News Liputan6.com, Rabu, 14 Agustus 2024.

4 dari 4 halaman

Pengakuan Armor Toreador

Di depan awak media, Armor mengakui perbuatannya dan sudah sering melakukan tindak KDRT pada istri. Kekerasan itu terjadi di depan anak ataup saat hanya berdua dengan Intan.

"Sudah lebih dari lima kali dari tahun 2020. Saya tidak akan melakukan pembelaan apapun. Yang jelas saya mengaku bersalah. Saya siap menjalani proses hukum dengan sebenar-benarnya," ujar Armor "Pernah terjadi (di depan anak), tapi kebanyakan berdua."

Orangtua sampai tetangga sekitar disebut tahu bahwa Armor dan Intan sering ribut, dan ada dugaan tindak penganiayaan di dalamnya. Mendapati kasus ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan dalam rumah tangga, rangkum kanal Health Liputan6.com, Rabu.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati meminta para korban berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya tanpa takut terstigma masyarakat. Maka itu, Ratna mengapresiasi keberanian Cut Intan Nabila yang berani angkat bicara terkait kasus kekerasan yang diduga dilakukan suaminya.

"Kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok rentan tidak bisa kita toleransi lagi. Terlebih kekerasan tersebut terjadi di tempat yang seharusnya jadi ruang paling aman dan dilakukan orang terdekat korban," katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.