Sukses

Lika-liku Perjalanan Ekspor Rempah dan Bumbu Indonesia ke Luar Negeri

Bagi Indonesia, rempah seharusnya menjadi potensi ekonomi yang bisa terekspos dengan mudah. Karena banyak imigran Indonesia yang mengakomodir kebutuhan akan rempah di benua lain lewat restoran maupun toko kelontong serba ada yang menjadi bisnis mereka di negeri orang.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah dikenal sebagai penghasil rempah, bahkan jalur rempahnya merupakan jejak peradaban dunia. Saking terkenalnya, bangsa Eropa jauh ke Nusantara khusus untuk mencari rempah yang kala itu menjadi komoditas mahal. 

Bagi Indonesia, rempah seharusnya menjadi potensi ekonomi yang bisa terekspos dengan mudah. Karena banyak imigran Indonesia yang mengakomodir kebutuhan akan rempah di benua lain lewat restoran maupun toko kelontong serba ada yang menjadi bisnis mereka di negeri orang. 

Seperti Yulia Marlina dan suaminya, Iwan yang membuka Cafe Pendawa pada 2004 di kawasan Morris Street, Philadelphia, Amerika Serikat (AS). Toko itu berawal dari toko internet, lalu berkembang menjadi toko groceries yang juga menjual makanan, kue-kue maupun kudapan. 

Untuk memenuhi isi tokonya, pemilik Cafe Pendawa mengandalkan distributor besar mensuplai pengiriman barang-barang dari Indonesia. "Ya (kesulitannya) ada juga kadang rempah-rempah kan nggak tahan lama di jalan," kata Yulia saat ditanya mengenai kesulitan untuk mendapatkan bahan rempah Indonesia, dalam wawancara tertulis dengan Liputan6.com, Jumat (17/8/2024).

Philadelphia yang salah satu sudut kotanya sering disebut kampung Indonesia karena banyaknya pemukim dari Indonesia. Kawasan ini sering dikunjungi oleh imigran dari luar kota lain khusus untuk mencari rempah atau kebutuhan dapur.

"Ya kalo Sabtu Minggu orang dari luar kota suka belanja ken toko cari makanan, groceries," sambung Yulia.

Tak hanya rempah-rempah atau bumbu dapur seperti kencur dan kunyit segar, Cafe Pendawa juga menjual makanan Indonesia berupa jajanan pasar. Dulunya menurut Yulia, Cafe Pendawa juga menjual makanan jadi seperti Pempek. Tapi karena semakin penuh isi tokonya dengan bahan makanan, kebanyakan pembeli membungkus untuk dibawa pulang. 

Yulia berharap pihak Pemerintah Indonesia bisa membantu untuk pengiriman rempah-rempah segar untuk dijual di AS. "Tentu ini sangat membantu karena orang indo di sini juga masih suka mencari bahan rempah-rempah fresh Indonesia," tutup Yulia.

 

2 dari 4 halaman

Buka Restoran Setelah Ikutan Bazar di Belanda

Irmansyah adalah satu dari warga Indonesia lainnya yang kini membuka bisnis di bidang F&B. Ia merupakan pendiri Warung Anisah yang terkenal dengan menu masakan Padangnya di Belanda sejak 2013.

Ia dan istrinya telah menetap di Belanda selama 22 tahun, lalu dari keisengan ikut bazar di pasar malam akhirnya mereka membuka warung. Ternyata festival pasar malam yang diadakan tersebut juga merupakan kompetisi, masakan istrinya mendapat juara satu.

"Kita selalu ikut festival pasar malam dan bazar," tukas Irmansyah lewat sambungan telepon dengan Liputan6.com pada Rabu, 14 Agustus 2024.

Warung Anisah sebelumnya punya tiga cabang selain di Belanda, mereka buka di Denmark dan Jerman. Namun karena dampak pandemi Covid-19, akhirnya restorannya hanya fokus di Belanda saja, yang menurutnya selalu ramai oleh orang lokal di Belanda dan komunitas orang Indonesia yang tinggal di negeri tersebut. 

Untuk pasokan rempah sebagai bahan utama masakan Padang yang berempah, menurut Irmansyah tidak sulit ditemukan di Belanda karena sudah ada suplier besar. Kadang saat pulang kampung ke Indonesia, ia juga sekalian membeli banyak bahan baku namun lebih untuk keperluan keluarga. 

3 dari 4 halaman

Rasa Autentik Kuliner Indonesia dengan Rempahnya

Irmansyah menyambung bahwa Eropa merupakan surga kuliner. Hampir semua bumbu-bumbu yang diekspor dari luar negeri tersedia. "Ada spesial grosir di Belanda yang memang mengimpor rempah-rempah dari Indonesia, bisa pesan singkong, jengkol, ikan teri, semua yang kita minta bisa disediakan," terangnya.

Harganya memang terbilang lebih mahal, bisa mencapai delapan kali lipat. "Contohnya ikan teri 150 ribu (rupiah) per kilogram, di sini 600 ribu (rupiah) per kilogram," ungkap Irmansyah yang mengaku orang asli Medan.

Terkait dengan kemudahan dalam mencari rempah Indonesia di Belanda, menurutnya memang karena penduduk Belanda juga banyak orang Indonesianya. Perantau dari negara Eropa lainnya bahkan datang ke Belanda, khusus untuk mencari rempah ke Belanda karena lebih lengkap.

Pihak Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Belanda kerap membantu mempromosikan rempah Indonesia lewat makanan dan restoran yang dimiliki orang Indonesia dengan mengadakan banyak event besar. "Alhamdulilah KBRI membantu dalam promosi kadang Kementerian Perdagangan, Bank Indonesia, bos PT Sarinah Jakarta juga pernah main ke sini," katanya lagi.

Di Belanda sendiri pengunjung restorannya justru 70 persen adalah orang lokal, sisanya orang Indonesia. "Rasa makanan kita asli autentik, mereka lebih suka yang asli karena mereka sering bolak-/balik ke Bali, malah minta lebih pedes lagi," tuturnya.

4 dari 4 halaman

Perantau Indonesia di AS Tak Kesulitan Mencari Rempah Indonesia

Rerre Adysti, perantau asal Indonesia yang sedang menyelesaikan studinya di Harrisburg University, Pennsylvania, AS mengungkap pengalamannya dalam mencari bumbu rempah maupun restoran Indonesia. Kini tinggal di Ohio, ia mengaku lebih sering masak di rumah ketimbang makan di luar.

"Selain nggak ada street food, mau order delivery juga mahal banget," ungkapnya kepada Liputan6.com melalui wawancara pesan singkat pada Jumat, 16 Agustus 2024.

Ia bercerita saat awal-awal pindah, hanya tahu beberapa supermarket Asia atau internasional. Mencari bumbu kemiri di toko Asia, China, India menurutnya tidak ada. Biasanya akhirnya titip melalui teman dari Jakarta yang memang kebetulan pulang.

Karena masak tiga kali sehari, belanja bahan rempah dan bumbu-bumbunya pun banyak. Setelah hampir setahun di Colombus, akhirnya ia lebih familiar dengan berbagai supermarket yang menyediakan stok untuk bumbu memasak.

Ia mengaku langganan di CAM International Market, Sunrise Asian Supermarket, dan Saraga International Grocery. "CAM dan Sunrise ini lebih spesifik ke produk-produk Asia, kalo Saraga lebih ke internasional, jadi ada produk dari Afrika dan South America juga," jelasnya.

"Nah, CAM juga ternyata punya kemiri, jadi nggak perlu nitip-nitip lagi," seru Rerre.

 

Sejauh ini, dia mengaku belum pernah mencoba belanja online, meski ada beberapa toko Indonesia di negara bagian AS lain yang terima order online. Alasannya karena berat di harga pengiriman dan kadang ada minimum order, dan memang tidak ada yang terlalu mendesak.

 

"So far, nggak pernah ngerasa kesulitan banget buat masak. Kalo nggak nemu bumbu instan, cari resep yang bumbunya bikin sendiri atau cari resep yang lebih simple," bebernya.

Ia menyimpulkan bahwa tidak susah mencari produk Indonesia di AS, meski ia di Ohio yang jarang pemukimnya orang Indonesia. Sejauh ini produk Indonesia yang ia temukan masih mencukupi kebutuhannya. Tapi ia berharap suatu hari ada restoran Indonesia di sini, karena di Ohio tidak ada sama sekali.