Liputan6.com, Jakarta- Jaring penghalang pemandangan ke Gunung Fuji di dekat gerai Lawson akhirnya dicopot pada Kamis, 15 Agustus 2024. Layar sepanjang 20 meter itu sebelumnya dipasang pada 21 Mei 2024 demi menghalau para turis yang menyemut untuk mendapatkan foto terbaik berlatar gunung tertinggi di Jepang itu.
Mengutip Jiji, Rabu (21/8/2024), salah satu pertimbangan pencopotan jaring penghalang itu adalah musim topan di Jepang. Pada Jumat pekan lalu, badai dahsyat diperkirakan akan melanda wilayah Fujikawaguchiko.
Baca Juga
Layar tersebut dinilai bisa menjadi kumpulan material yang berbahaya dan terhempas dengan keras jika diterpa angin kencang. Pejabat kota pun memutuskan menurunkan layar tersebut menjelang datangnya topan.
Advertisement
Di sisi lain, pemerintah kota juga menyatakan mereka tidak lagi menghadapi masalah turis asing yang berulah. Mereka berencana untuk mencopot penghalang tersebut secara permanen atau setidaknya tanpa batas waktu.
"Selama wisatawan terus menunjukkan perilaku yang baik, kami tidak akan memasang kembali layar tersebut," ucap seorang juru bicara kota.
Sejauh ini, jumlah turis berulah memang menurun karena kemungkinan mereka masih menganggap penghalang ke pemandangan Gunung Fuji itu tetap terpasang. Tanpa ada akses tersebut, tidak banyak yang bisa dilakukan pelancong di tempat tersebut.
Kemungkinan lainnya adalah para turis beralih ke tren lain dengan jumlah pelancong yang lebih sedikit, sehingga semakin kecil kemungkinan wisatawan nakal yang datang. Alasan lainnya, penghalang yang terpasang di Yamanashi telah menjadi pengingat bahwa tindakan tidak bertanggung jawab akan berakibat buruk bagi semua orang sehingga mereka lebih sadar dan menghormati komunitas lokal di lingkungan tersebut.
Â
Polah Turis Nakal yang Bikin Resah Warga Lokal di Jepang
Gerai Lawson yang berada di Kota Fujikawaguchiko, Prefektur Yamanashi, selama beberapa tahun terakhir menjadi daya tarik Jepang yang paling tak terduga bagi wisatawan asing. Mereka datang untuk melihat pemandangan Gunung Fuji sekaligus berfoto.
Kedatangan mereka ternyata berimbas buruk pada lingkungan sekitarnya. Banyak yang meninggalkan sampah dan menyeberang jalan serta menghalangi lalu lintas saat mereka bergegas menyeberang dan masuk ke jalan untuk mengurutkan foto yang ingin mereka ambil.
Yang membuat semuanya menjadi lebih merepotkan adalah posisi paling populer untuk mengambil foto Lawson dan Gunung Fuji adalah dari seberang jalan dari toko. Keberadaan turis menghalangi trotoar dan akses ke klinik gigi, yang lahannya tidak diatur untuk menampung sejumlah besar orang yang nongkrong di depan pintu masuk gedung.
Ketika peringatan berulang kali untuk berhenti membuang sampah ke tanah, lari ke jalan, dan mempersulit staf klinik gigi dan pasien mereka tidak berdampak apa-apa, pemerintah kota mengambil tindakan dramatis dengan memasang layar hitam besar, sepanjang 20 meter dan Ketinggian 2,5 meter antara klinik gigi dan jalan raya. Hal itu efektif menghalangi pemandangan Gunung Fuji, sehingga membuat wisatawan enggan mencoba mengambil gambar dari sana.
Advertisement
Imbas Overtourism di Jepang
Pemasangan penghalangan menjadi salah satu upaya Jepang dalam mengatasi imbas negatif pariwisata massal. Diketahui jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Jepang mencapai rekor tertinggi pada Maret 2024, yakni melebihi 3 juta orang.Â
Angka kunjungan turis asing ke Jepang meningkat drastis setelah berbagai pembatasan yang diterapkan di masa pandemi dicabut. Pemerintah pun bekerja keras untuk meningkatkan jumlah kunjungan turis asing demi memulihkan ekonomi mereka.Â
Namun, pariwisata massal membuat sebagian warga Jepang terganggu. Salah satunya di Kyoto yang turis melecehkan para geisha yang melintas. Akibatnya, warga distrik geisha di Kyoto melarang pengunjung memasuki gang-gang kecil pribadi pada tahun ini.
Sebelumnya, Pemerintah Prefektur Yamanashi memberlakukan biaya pendakian Gunung Fuji sebesar 2000 yen atau sekitar Rp211 ribu pr orang. Itu merupakan aturan terbaru demi mengatasi efek negatif kunjungan wisata yang meningkat ke salah satu situs Warisan Dunia UNESCO tersebut.
"Dengan sangat mendukung langkah-langkah keselamatan komprehensif saat mendaki Gunung Fuji, kami akan memastikan bahwa Gunung Fuji, harta karun dunia, diwariskan kepada generasi mendatang," kata Koutaro Nagasaki, Gubernur Prefektur Yamanashi, mengutip CNN, Kamis, 7 Maret 2024.
Pungut Biaya hingga Batasi Kuota Pendaki ke Gunung Fuji
"Dalam rangka menghidupkan kembali pendakian gunung tradisional dari kaki Gunung Fuji, kita akan memperoleh pemahaman mendetail tentang budaya Fuji-ko dan Oshi yang mendukung pemujaan Gunung Fuji. Kami ingin menghubungkan budaya-budaya ini dengan pendakian gunung ini, karena hal ini berakar pada nilai-nilai budaya agama," sambung Nagasaki. Fuji-ko adalah agama yang spesifik memuja gunung.
Selain memberlakukan biaya pendakian, Toshiaki Kasai dari Divisi Warisan Dunia Fuji di Prefektur Yamanashi, mengatakan kepada CNN bahwa prefektur setempat juga akan membatasi kuota harian sebanyak 4.000 pendaki. Akan ada pemandu baru yang mengatur keselamatan di dalam dan sekitar jalan setapak. Mereka akan memberi tahu pendaki jika mereka melanggar etika di gunung, seperti tidur di pinggir jalan setapak, menyalakan api, atau mengenakan pakaian yang salah.
Meskipun Kasai tidak menggunakan istilah 'overtourism', dalam beberapa tahun terakhir terlihat jelas bahwa terlalu banyak manusia menyebabkan masalah di gunung setinggi 3.776 meter (12.388 kaki) tersebut. Menurut data prefektur, lima juta orang mendaki Gunung Fuji pada 2019, meningkat tiga juta orang dibandingkan 2012.
"Wisata yang berlebihan, dan segala konsekuensinya seperti sampah, peningkatan emisi CO2, dan pejalan kaki yang ceroboh, adalah masalah terbesar yang dihadapi Gunung Fuji," Masatake Izumi, pejabat pemerintah prefektur Yamanashi, mengatakan kepada CNN Travel, pada 2022.
Advertisement