Sukses

Siapa Marie Antoinette Sosok Kontroversial yang Meninggal Dipenggal Guillotine?

Namanya muncul di kehebohan argumen seputar demo RUU Pilkada, Marie Antoinette adalah ratu terakhir Prancis yang memprovokasi keresahan rakyat yang berujung pada Revolusi Prancis.

Liputan6.com, Jakarta - Demo RUU Pilkada telah melahirkan berbagai kata kunci trending di X, dulunya Twitter, sejak Rabu malam, 21 Agustus 2024. Di antaranya, terdapat nama Marie Antoinette. Siapa dia?

Melansir Biography, Jumat (23/8/2024), Antoinette adalah ratu terakhir Prancis yang memprovokasi keresahan rakyat yang berujung pada Revolusi Prancis dan penggulingan monarki pada 1792. Sosok yang jadi simbol ekses monarki ini dipenggal sembilan bulan setelah suaminya, Louis XVI, atas perintah pengadilan Revolusi.

Ia berusia 37 tahun saat meninggal pada 1793. Pemilik nama lengkap Maria Antonia Josepha Joanna ini lahir di Wina, 2 November 1755, dan merupakan anak ke-15 dan kedua terakhir dari Maria Theresa, permaisuri Austria, dan Holy Roman Emperor Francis I.

Ia menjalani masa kecil yang relatif bahagia. Antoinette mengenyam pendidikan khas gadis bangsawan abad ke-18 dan berfokus terutama pada prinsip-prinsip agama dan moral, sementara saudara-saudaranya mempelajari lebih banyak materi akademis.

Dengan berakhirnya Perang Tujuh Tahun pada 1763, pelestarian aliansi yang rapuh antara Austria dan Prancis jadi prioritas bagi Permaisuri Maria Theresa. Mempererat aliansi melalui hubungan perkawinan merupakan praktik umum di antara keluarga kerajaan Eropa saat itu.

Pada 1765, Louis, dauphin de France, meninggal dunia. Putra Raja Prancis Louis XV ini meninggalkan anak berusia 11 tahun, Louis-Auguste, pewaris takhta Prancis. Dalam beberapa bulan setelahnya, Antoinette dan Louis-Auguste berjanji menikah.

Tiga tahun kemudian, Louis XV mengirim seorang guru ke Austria untuk mengajar calon istri cucunya. Guru tersebut mendapati Marie Antoinette "lebih cerdas daripada yang selama ini diperkirakan," tapi menambahkan bahwa karena "agak malas dan sangat sembrono, ia sulit diajar."

2 dari 4 halaman

Awal Pernikahan dengan Calon Raja Prancis

Pada Mei 1770, Marie Antoinette berangkat ke Prancis untuk menikah, dikawal 57 kereta, 117 prajurit, dan 376 kuda. Keduanya menikah pada 16 Mei 1770. Antoinette muda disebut tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik dalam kehidupan berumah tangga, dan surat-suratnya yang sering dikirim ke rumah menunjukkan kerinduannya yang mendalam.

"Madame, ibuku tersayang," tulisnya dalam salah satu surat. "Aku tidak pernah menerima satu pun suratmu tanpa meneteskan air mata."

Ia juga merasa kesal dengan beberapa ritual yang harus ia lakukan sebagai perempuan bangsawan Prancis. "Aku memakai perona pipi dan mencuci tanganku di depan seluruh dunia," keluhnya, merujuk pada ritual di mana ia diharuskan merias wajah di depan puluhan pejabat istana.

Ketika Louis XV meninggal pada 1774, Louis-Auguste menggantikannya di takhta Prancis sebagai Louis XVI, menjadikan Marie Antoinette, pada usia 19 tahun, sebagai ratu Prancis. Kepribadian Louis XVI dan Antoinette sangat berbeda.

Louis XVI adalah seorang yang tertutup, pemalu, dan plin-plan, sementara Antoinette adalah pribadi yang lincah, supel, dan berani. Ia suka bersosialisasi, berjudi, berpesta, dan bergaya busana mewah.

Ketika raja tidur sebelum tengah malam, malam-malam Antoinette yang penuh dengan pesta dan kesenangan belum dimulai. Ketika ia bangun sebelum tengah hari, Louis telah bekerja selama berjam-jam.

3 dari 4 halaman

Madame Deficit

Marie Antoinette memiliki empat orang anak, meski tidak langsung setelah menikah dengan Louis XVI. Delapan tahun setelah pernikahannya, ia melahirkan anak pertamanya, Marie-Therese-Charlotte, pada 1778. Kemudian lahir seorang putra dan pewaris, Louis-Joseph, pada 1781, diikuti dua orang anak lagi, Louis-Charles (lahir pada 1785) dan Sophie (lahir pada 1786).

Antoinette adalah seorang ibu yang berbakti, meski protokol kerajaan melarangnya mengurus mereka sehari-hari. Tragedi menimpa keluarga tersebut ketika Sophie meninggal kurang dari setahun setelah kelahirannya dan Louis-Joseph meninggal pada 1789 pada usia tujuh tahun, hanya beberapa minggu sebelum penyerbuan Penjara Bastille yang memicu Revolusi Prancis.

Selama 1780-an, banyak pamflet yang menuduh Antoinette melakukan tindakan tidak sensitif terhadap sentimen publik, pemborosan, dan perzinahan. Beberapa pamflet menampilkan kartun cabul dan yang lainnya menjulukinya sebagai "Madame Deficit."

Pada 1785, sebuah skandal kalung berlian mencoreng reputasi ratu secara permanen. Seorang pencuri yang menyamar sebagai Antoinette telah memperoleh kalung berlian 647 dan menyelundupkannya ke London untuk dijual dalam bentuk potongan-potongan. Meski Antoinette tidak bersalah atas keterlibatan apapun, ia tetap bersalah di mata rakyat.

4 dari 4 halaman

Eksekusi dan Saat-Saat Terakhir Marie Antoinette

Marie Antoinette dieksekusi dengan guillotine pada 16 Oktober 1793 di Paris. Awal bulan itu, tepat saat Reign of Terror merenggut puluhan ribu nyawa warga Prancis mulai berlangsung, Antoinette diadili atas tuduhan pengkhianatan dan pencurian, serta tuduhan yang meresahkan tentang pelecehan seksual terhadap putranya sendiri.

Setelah persidangan selama dua hari, juri yang semuanya laki-laki memutuskan Antoinette bersalah atas semua tuduhan. Pada malam sebelum eksekusi, ia telah menulis surat terakhir pada saudara iparnya, Elisabeth. "Saya tenang," tulis ratu, "Seperti orang-orang yang hati nuraninya bersih."

Pada saat-saat sebelum eksekusinya, ketika pendeta yang hadir mengatakan padanya untuk memiliki keberanian, Antoinette menjawab, "Keberanian? Waktu penyakit saya akan berakhir bukanlah saat keberanian menghilang dari saya."

Kata-kata terakhir sang ratu konon diucapkan pada algojonya setelah menginjakkan kaki di depan guillotine, dan menyampaikan permintaan maaf, "Maaf, Tuan. Saya tidak melakukannya dengan sengaja." Ratu terakhir Prancis ini telah dicemooh sebagai personifikasi kejahatan monarki.

Pada saat yang sama, Antoinette diagungkan sebagai puncak mode dan kecantikan, dengan studi yang obsesif tentang pilihannya dalam hal pakaian dan perhiasan, serta spekulasi tidak berujung tentang kehidupan cintanya di luar nikah. Kedua pandangan ini menunjukkan kecenderungan dalam menggambarkan kehidupan dan kematiannya sebagai simbol kejatuhan monarki Eropa dalam menghadapi revolusi global.Â