Liputan6.com, Jakarta - Upaya reboisasi dan restorasi lahan kritis di DAS Citarum butuh kerja berkelanjutan. Keberadaannya makin vital seiring meningkatnya laju perubahan iklim secara global yang berefek pada meningkatnya suhu dan memperburuk kualitas udara. Pada akhirnya, kesehatan masyarakat terpengaruh karena risiko menderita pneumonia, asma, tuberkulosis, ISPA, hingga kanker paru-paru meningkat.
Hal itu mendorong AstraZeneca Indonesia memperpanjang kerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) dengan menandatangani pembaruan memorandum saling pengertian. Kerja sama itu salah satunya diwujudkan dengan menambah jumlah pohon yang ditanam dari 10 juta menjadi 20 juta batang.
"Darurat iklim memiliki dampak yang sangat besar terhadap prevalensi dan penyebaran penyakit serta secara langsung memengaruhi kesehatan manusia. AstraZeneca mengambil tindakan nyata untuk mengatasi krisis iklim dan alam yang kita hadapi, karena kami menyadari hubungan yang kuat antara kesehatan manusia dan planet kita, kata Esra Erkomay, Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia, dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan menyambut baik perpanjangan kerja sama itu. Ia mengaku terkesan dengan program tersebut karena tidak hanya menanam jutaan pohon, tetapi juga berfokus untuk mengedukasi ribuan petani mengenai pengetahuan dan keterampilan praktik pertanian berkelanjutan, yang akan membantu melindungi lingkungan untuk banyak generasi mendatang.
"Model kerja sama yang baik ini bisa diikuti oleh perusahaan lain. Perlu dipastikan, pohon yang ditanam tersebut benar-benar tumbuh dengan baik dan bermanfaat bagi masyarakat," ujarnya.
Ambisi Kurangi Jejak Karbon
Pada 2020, perusahaan mengumumkan penandatanganan Memorandum Saling Pengertian pertamanya dengan pemerintah Indonesia, sebagai bagian dari kemitraan publik-swasta untuk memulihkan lahan kritis dan keanekaragaman hayati di DAS Citarum. Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang meluncurkan program AZ Forest.
AZ Forest adalah program global perusahaan yang tidak hanya fokus kepada reboisasi, tetapi juga memperkaya keanekaragaman hayati, mendukung mata pencaharian berkelanjutan, dan konservasi sumber daya alam. Pada saat yang sama, sektor kesehatan juga berkontribusi pada perubahan iklim, menyumbang sekitar lima persen emisi gas rumah kaca secara global sehingga semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan harus bertanggung jawab dalam memberikan solusi yang berkelanjutan.
Melalui program Ambition Zero Carbon yang berbasis ilmu pengetahuan, AstraZeneca menyatakan sedang mengurangi emisi gas rumah kaca di seluruh rantai nilainya. Melalui program AZ Forest yang bernilai USD400 juta, perusahaan sedang menanam dan merawat 200 juta pohon hingga 2030 di enam benua dengan mitra ahli untuk memulihkan hutan dan alam serta mempromosikan keanekaragaman hayati, serta mendukung mata pencaharian yang berkelanjutan.
Advertisement
Akan Lakukan Studi Kelayakan
Esra menyatakan selain memahan hingga 20 juta pohon di lahan kritis sekitar DAS Citarum, pihaknya juga akan melakukan studi kelayakan untuk memahami kerangka hukum dan persyaratan untuk proyek karbon sebagai upaya untuk memperkuat ekosistem keberlanjutan. Langkah itu akan dilakukan bersama dengan Kemenkomarves.
Nani Hendriati, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan mengklaim penerbitan Peraturan Presiden No. 15 tahun 2018 telah membuat penanganan krisis Citarum lebih efektif. "Peningkatan kondisi Sungai Citarum melibatkan banyak pihak dari 13 kabupaten dan kota dengan total populasi 18 juta. Namun, hal ini tidak akan berhasil tanpa kolaborasi dari seluruh pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, kemitraan dengan pihak swasta."
Sungai Citarum memiliki panjang 297 km dari sumbernya di Cisanti, Kabupaten Bandung hingga Muara Gembong di Bekasi. Sungai ini pernah disebut sebagai salah satu jalur air paling tercemar di dunia, karena emisi industri telah mencemari sungai dengan bahan kimia dan logam berbahaya, sementara limbah organik dan anorganik menghalangi aliran sungai.
Kondisi Kualitas Air di Hulu Citarum
Dalam kesempatan berbeda, Pusat Riset Sumber Daya Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRSDG BRIN) menyatakan sumber air baku masyarakat yang terletak wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Menurut Peneliti Ahli Madya PRSDG BRIN, Rizka Maria, hasil data ilmiah berupa konsentrasi bromide alami pada sumber air baku di wilayah DAS Citarum, yakni nilai ambang batas adalah 0,5 mg/L sesuai dengan batas yang diterbitkan Permenkes RI No 2 Tahun 2023 dan WHO tahun 2009.
"Secara garis besar, sumber air baku masyarakat yang terletak pada wilayah hulu DAS Citarum yang masih alamiah, di daerah hulu masih relatif aman, jauh dari pengaruh antropogenik dan tidak terdeteksi dari pencemaran bromida," ujar Rizka pada Rabu, 17 Juli 2024, dikutip dari kanal Regional Liputan6.com.
Rizka menjelaskan bahwa PRSDG BRIN meneliti kumpulan sampel air tanah untuk memahami konsentrasi bromida dalam air tanah dan untuk mengidentifikasi sumbernya. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk mengetahui distribusi bromida alami pada air tanah.
"Hasil penelitian ini berfungsi sebagai informasi data dasar untuk mengetahui jejak perunutan bromida pada air tanah dan sebagai pelacak jika ditemukan nilai bromat yang melebihi ambang batas pada air minum dalam kemasan. Oleh karena itu, penelitian mengenai sebaran senyawa bromida pada air tanah sangat penting dilakukan," terang Rizka.
"Senyawa bromat (BrO3–) bukan senyawa almiah yang normal berada di air. Bromat memiliki ciri khas tidak berasa, tidak berwarna dan terbentuk pada saat air minum di sterilkan/disinfeksi dengan proses ozonasi. Bromida alami yang terdapat dalam sumber air minum bereaksi dengan ozon pada saat proses disinfeksi akan menghasilkan senyawa bromat," sebut Rizka.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement