Liputan6.com, Jakarta - Tupperware dilaporkan sedang bersiap mengajukan kebangkrutan. Pengajuan tersebut "dapat dilakukan minggu ini," menurut seorang sumber pada Bloomberg, dikutip dari Mothership, Rabu (18/9/2024).
Merek asal Amerika Serikat (AS) tersebut, yang dikenal dengan wadah tempat makan ikonisnya, akan mengajukan perlindungan hukum setelah melanggar ketentuan pembayaran utangnya. Perusahaan juga meminta bantuan penasihat hukum dan keuangan, kata sumber tersebut.
Baca Juga
Ini menyusul negosiasi antara Tupperware dan pemberi pinjamannya tentang cara mengelola utang lebih dari 700 juta dolar AS (sekitar Rp10,7 triliun). Rencana pengajuan kebangkrutan digarisbawahi belum final dan dapat berubah. Seorang perwakilan Tupperware menolak berkomentar, Bloomberg melaporkan.
Advertisement
Dalam catatan sejarahnya, seperti dirangkum BBC, Tupperware didirikan pada 1946 oleh seorang pria, Earl Tupper, tapi wajah publik perusahaan tersebut adalah seorang perempuan bernama Brownie Wise. Produk Tupper menandai era baru, menggunakan plastik berbeda untuk menjaga makanan segar dalam waktu lebih lama.
Ini merupakan "produk yang sangat berharga saat kulkas masih terlalu mahal bagi banyak orang," sebut BBC. Produk tersebut sempat tidak laku, setidaknya sampai Wise hadir. Ia mulai menyelenggarakan berbagai acara untuk menjual wadah-wadah tersebut, bertemu langsung dengan para ibu rumah tangga dan ibu-ibu yang ingin dijangkau perusahaan.
Pertemuan-pertemuan itu dikatakan lebih banyak membahas sosialisasi daripada bisnis. Gaya inovatif dan angka penjualannya menarik perhatian Tupper, dan Wise dipromosikan ke jajaran eksekutif saat sebagian besar perempuan dikecualikan dari ruang rapat.
Dampak Brownie Wise dan Tupperware masih diperdebatkan oleh para akademisi. Tapi, banyak yang mengatakan bahwa perusahaan tersebut berperan penting dalam membawa perempuan ke dunia kerja di Amerika Serikat pascaperang, dan menyediakan sumber pendapatan bagi perempuan lain di seluruh dunia.
Memberdayakan Perempuan
Alison Clarke, profesor sejarah dan teori desain di Universitas Seni Terapan, Wina, dan penulis "Tupperware: The Promise of Plastic in 1950s America" mengatakan, "Saya pikir, warisan (Tupperware) adalah cara menyediakan sumber pekerjaan bagi perempuan yang tidak selalu memiliki akses ke pekerjaan yang fleksibel."
"Saat pertama kali dijual di pesta-pesta di AS, banyak perempuan yang terisolasi di kota-kota pinggiran pascaperang yang jauh dari keluarga mereka. Pesta-pesta Tupperware mengagungkan pekerjaan rumah tangga yang membosankan, dan Anda hanya dapat membelinya jika Anda mengenal seseorang yang menjualnya, jadi itu eksklusif, dan sosial, dan tentang hubungan dengan perempuan lain."
"Saya awalnya berpikir itu adalah konspirasi kapitalis yang eksploitatif terhadap perempuan, kemudian saya bertemu dengan semua perempuan ini, yang memiliki kehidupan yang fantastis karena itu, dan melihat bagaimana bisnis tersebut memberdayakan mereka."
Meski perusahaan selalu dipimpin para perempuan di lapangan, hal itu belum tentu berlaku di ruang rapat. Prof Clarke mengatakan, perusahaan tersebut berjuang menceritakan kisah suksesnya atau mengikuti perkembangan zaman.
Advertisement
Tupperware Gagal Jadi Relevan
"Itu adalah produk yang dirancang dengan sangat brilian, yang jadi ajaib karena cara penjualannya," tambah Prof Clarke. "Tapi di dunia digital ini, model tatap muka tidak lagi relevan." Narasi serupa dikatakan Neil Saunders, direktur pelaksana ritel di konsultan GlobalData.
Saunders mengatakan, Tupperware telah "gagal berubah seiring waktu" dalam hal produk dan distribusinya. Ia menyoroti bahwa metode penjualan langsung melalui pihak-pihaknya "tidak relevan" dengan pelanggan muda maupun tua.
Konsumen yang lebih muda, sebut dia, telah menggunakan produk lebih ramah lingkungan, seperti kertas lilin lebah untuk menjaga makanan tetap segar. Richard Hyman, analis ritel lainnya, mengatakan bahwa prinsip dasar produk Tupperware "tidak sulit ditiru" perusahaan lain.
Berkaca pada persaingan yang ketat, ia mengatakan perusahaan tersebut "sudah berjalan dengan baik." Perusahaan telah melakukan sejumlah upaya mendiversifikasi strateginya, termasuk dengan berjualan di jaringan ritel AS Target dan jaringan ritel lain di seluruh dunia, serta memperluas jangkauan untuk mencakup produk memasak lainnya.
Tupperware Tutup Pabrik Mereka
Jika Tupperware membuat perubahan lebih besar 10 tahun lalu, imbuh Saunders, perusahaan tersebut mungkin berada dalam posisi yang berbeda sekarang. Pandemi membuat penjualan perusahaan tersebut kian menurun, menurut Mothership.
Pada 2022, perusahaan ini melaporkan kerugian sebesar 28,4 juta dolar AS karena penjualan bersih turun 18 persen, The Straits Times melaporkan. Pada April 2023, saham Tupperware anjlok hampir 50 persen setelah merek tersebut menyebut pihaknya berada di ambang kebangkrutan.
Tahun 2023, merek tersebut mengganti kepala eksekutifnya Miguel Fernandez dan beberapa anggota dewan dalam upaya membalikkan keadaan bisnis. Namun, pada Juni 2024, Tupperware mengumumkan rencana menutup satu-satunya pabriknya di Amerika Serikat dan memberhentikan hampir 150 karyawan, menurut New York Post.
PHK dimulai pada September 2024, dengan tanggal penutupan yang dijadwalkan pada 14 Januari 2025, WCBD melaporkan. "Penting untuk dicatat bahwa keputusan ini tidak mencerminkan kinerja tim Hemingway," kata Tupperware pada outlet tersebut dalam sebuah pernyataan.
"Kami menghargai setiap anggota tim kami yang berharga dan bertahun-tahun pengabdian yang telah mereka dedikasikan untuk tenaga penjualan dan perusahaan." Pabrik Hemingway, satu-satunya lokasi produksi Tupperware di AS, dijual pada 2023.
Advertisement