Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Palestina pertama untuk Spanyol telah menyerahkan surat tugasnya pada Raja Felipe VI setelah pemerintah negara itu mengakui kedaulatan Palestina pada Mei 2024. Duta Besar Husni Abdel Wahed diterima di Istana Kerajaan di Madrid pada Senin, 16 September 2024, di mana surat tugasnya diserahkan dalam sebuah upacara resmi.
Melansir Middle East Monitor, Sabtu, 21 September 2024, Pengadilan Kerajaan Spanyol melaporkan bahwa Abdel Wahed telah memimpin misi diplomatik Palestina di Spanyol sejak 2022. Ia telah memiliki status yang sama dengan duta besar lain.
Jabatannya diubah secara resmi setelah Madrid mengakui kedaulatan Palestina pada 28 Mei 2024, mengikuti langkah serupa dari Irlandia dan Norwegia. Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez mengumumkan pada awal September bahwa "pertemuan puncak bilateral pertama antara Spanyol dan Palestina akan diadakan akhir tahun ini."
Advertisement
Madrid telah mengambil sikap keras terhadap Israel sejak Hamas melancarkan serangan lintas batasnya, Oktober tahun lalu. Sanchez menunjukkan, keputusan untuk mengakui kedaulatan Palestina sejalan dengan resolusi PBB.
"Kami berkomitmen dalam menciptakan keamanan di kawasan tersebut, dan kami akan bekerja sama dengan negara-negara Arab untuk menyelenggarakan konferensi perdamaian," jelasnya. "Mengakui kedaulatan Palestina merupakan langkah bersejarah yang memungkinkan warga Palestina dan Israel mencapai perdamaian."
Spanyol, imbuhnya, bergabung dengan lebih dari 140 negara yang mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Menteri Luar Negeri Spanyol Jose Manuel Albares mengatakan di Brussels pada Senin, bersama rekan-rekannya dari Irlandia dan Norwegia, "Mengakui kedaulatan Palestina sebagai perwujudan keadilan bagi rakyat Palestina."
Desakan Israel Mundur dari Wilayah Palestina yang Diduduki
Empat puluh tiga negara, termasuk Jerman, abstain dari pemungutan suara di badan PBB terbesar, yang memiliki 193 negara anggota, yang menyerukan penarikan Israel dari wilayah Palestina yang diduduki dalam waktu satu tahun, lapor TRT World.
Jerman tidak hanya menghadapi kritik atas pendiriannya terhadap genosida Israel di Gaza, tapi juga atas penjualan senjata ke Tel Aviv. Jerman secara luas dipandang sebagai eksportir senjata terbesar kedua ke Israel setelah AS. Penjualan Jerman menyumbang 30 persen dari impor antara tahun 2019 dan 2023, menurut SIPRI.
Pada 2022, Israel menandatangani kesepakatan senilai 3,3 miliar dolar AS dengan Jerman untuk membeli tiga kapal selam diesel kelas Dakar yang canggih, yang diharapkan akan dikirimkan mulai tahun 2031 dan seterusnya. Kapal selam tersebut akan menggantikan kapal selam kelas Dolphin buatan Jerman yang saat ini dioperasikan Angkatan Laut Israel.
Pemerintah Jerman mengatakan bahwa penjualan tersebut meliputi peralatan militer senilai 364 juta dolar AS dan "senjata perang" senilai 22,46 juta dolar AS. Yang terakhir termasuk tiga ribu senjata antitank portabel dan 500 ribu butir amunisi untuk senjata api otomatis atau semi-otomatis.
Â
Advertisement
Israel Langgar Perjanjian Hak Anak?
Pada awal perang Israel di Gaza tahun lalu, Jerman memberi izin ekspor senjata pada Israel dengan total nilai lebih dari 364 juta dolar AS. Jumlah itu meningkat 10 kali lipat dari tahun 2022, menurut data Kementerian Ekonomi negara itu, yang menyetujui lisensi ekspor.
Namun, kesepakatan telah menurun tahun ini, dengan hanya 16 juta dolar AS yang diberikan dari Januari hingga 21 Agustus 2024, menurut data yang diberikan Kementerian Ekonomi Jerman sebagai tanggapan atas pertanyaan parlemen. Dari jumlah tersebut, kategori senjata perang hanya menyumbang 36.250 dolar AS.
Sumber yang dekat dengan Kementerian Ekonomi di Jerman mengatakan pada bahwa pihaknya menahan ekspor senjata perang baru ke Israel, sementara mereka menghadapi tantangan hukum. Tapi, Kementerian Ekonomi mengatakan, tidak ada larangan ekspor senjata ke Israel dan tidak akan ada larangan.
Sementara itu, sebuah komite PBB menuduh Israel melakukan pelanggaran "berat" terhadap perjanjian global yang melindungi hak-hak anak. Pihaknya mengatakan bahwa tindakan militernya di Gaza berdampak "bencana" terhadap mereka dan termasuk di antara pelanggaran terburuk dalam sejarah modern.
Â
11.355 Anak Palestina Meninggal Dunia
"Ini adalah tempat yang sangat gelap dalam sejarah," Bragi Gudbrandsson, Wakil Ketua Komite, mengatakan. "Saya kira, kita belum pernah melihat sebelumnya, pelanggaran yang begitu besar, seperti yang kita lihat di Gaza. Ini adalah pelanggaran yang sangat serius yang tidak sering kita lihat."
Lebih dari 41 ribu orang telah tewas di Gaza sejak Israel melancarkan kampanye militernya pada 7 Oktober 2023. Otoritas kesehatan Palestina mengatakan awal minggu ini bahwa 11.355 dari mereka yang tewas di Gaza adalah anak-anak, berdasarkan kematian yang terdokumentasi secara lengkap.
Delegasi Israel berpendapat dalam serangkaian sidang PBB awal bulan ini bahwa perjanjian tersebut tidak berlaku di Gaza atau Tepi Barat yang diduduki. Ia mengklaim bahwa Israel berkomitmen menghormati hukum humaniter internasional.
Komite PBB itu memantau kepatuhan negara-negara terhadap Konvensi Hak Anak tahun 1989. Itu merupakan perjanjian yang diadopsi secara luas yang melindungi anak di bawah usia 18 tahun dari kekerasan dan pelanggaran lain.
Â
Advertisement