Liputan6.com, Jakarta - Masalah sampah sudah lama menjadi persoalam global. Salah satu permasalahan yang ramai jadi sorotan belakangan ini adalah sejumlah besar limbah atau sampah secara teratur dikirim ke negara-negara berkembang. Hal itu jadi bagian dari industri global yang melihat negara-negara Eropa mengalihdayakan pengolahannya dengan sistem jual beli ke Afrika dan Asia, termasuk di Asia Tenggara (ASEAN).
Praktik tersebut telah lama dikecam oleh organisasi lingkungan. Seperti pada Juli 2024 di pelabuhan Durres, Albania, 102 kontainer berlayar menuju Thailand dan memicu drama di laut lepas yang menyoroti bahaya perdagangan limbah global.Â
Dikutip dari Japan Today, Jumat (4/10/2024), menurut dokumen resmi yang ditinjau oleh AFP, kontainer-kontainer tersebut berisi bahan limbah yang akan diproses dan dimusnahkan jauh dari pantai Eropa. Namun beberapa pekan kemudian, kontainer-kontainer tersebut masih terombang-ambing di Mediterania, setelah berbulan-bulan saling tuding tentang apa sebenarnya yang dikirim dan apakah itu legal.
Advertisement
Meskipun dikritik dan memicu pro kontra, perdagangan pengelolaan sampah erus menjadi usaha bernilai miliaran dolar. Bank Dunia memperkirakan bahwa sekitar dua miliar ton limbah diproduksi setiap tahun di seluruh dunia dan diperkirakan akan mencapai 3,4 miliar ton pada 2050 mendatang.Â
Dari tumpukan limbah tersebut, regulator sudah menetapkan sebagian tertentu sebagai bahan berbahaya dan bisa membahayakan kesehatan karena tingkat reaktivitas atau toksisitas kimianya. Untuk mengatur industri dengan lebih baik, Konvensi Basel—yang ditandatangani pada 1989 oleh 53 negara, melarang anggota organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) untuk mengirim limbah ke negara-negara nonanggota.Â
 Â
Kontainer dan Limbah Beracun
Meski begitu, Albania, yang terletak di Eropa Tenggara dan bukan anggota forum ekonomi yang berpusat di Paris, bebas untuk mengirim limbah ke luar negeri. Material yang disimpan dalam 102 kontainer itu berasal dari pabrik baja Kurum International milik Turki di Elbasan, Albania tengah. Limbah tersebut awalnya dibeli oleh perusahaan Albania Sokolaj, yang kemudian menjual material tersebut ke anak perusahaannya di Kroasia, GS Minerals, dengan kargo yang akan dibongkar di Thailand untuk diproses.
Menurut dokumen yang dilihat oleh AFP, Sokolaj memberi label limbah tersebut sebagai "oksida besi yaitu zat yang tidak dilarang untuk dikirim atau dianggap berbahaya. Analisis zat pada kontainer dilakukan oleh laboratorium Kroasia yang berkantor pusat di Zagreb. Saat dihubungi oleh AFP, laboratorium tersebut menolak berkomentar, dengan mengatakan bahwa "informasi tersebut hanya dapat diberikan kepada klien".
Sokolaj sendiri belum menanggapi pertanyaan tentang apa yang ada di dalam kontainer tersebut. Kontainer itu kemudian berangkat ke pelabuhan Trieste di Italia, tempat kontainer tersebut dimuat ke dua kapal kargo yang dioperasikan oleh raksasa pengiriman global Maersk, Campton dan Candor.
Bertepatan dengan berlayarnya kapal-kapal tersebut di sepanjang garis pantai Afrika, sebuah organisasi yang fokus dalam melacak limbah beracun, Basel Action Network (BAN), menghubungi Maersk.Seorang yang tidak diketahui identitasnya telah menghubungi hotline jaringan tersebut untuk melaporkan bahwa kontainer tersebut bukan hanya membawa oksida besi, tapi juga limbah beracun.Â
Advertisement
PM Albania Tolak Pengiriman Kembali Sampah
Maersk diminta untuk menghentikan kapal-kapal tersebut. Namun menurut BAN, tidak ada tanggapan dan mematikan transponder atau alat pelacak saat mereka berlayar menuju Singapura. BAN memberi tahu pihak berwenang Thailand, yang menolak mengizinkan kontainer masuk.
"Pemerintah Thailand menolak mengimpor lebih dari 800 ton debu tungku busur listrik (EAFD) dari Albania," terang Departemen Pekerjaan Industri Thailand dalam sebuah pernyataan. EAFD sendiri merupakan produk sampingan berbahaya yang dihasilkan selama pembuatan baja.
Usai mendapat pemberitahuan dari pemerintah Thailand, Maersk mengatakan kepada AFP bahwa mereka telah menyerahkan kontainer-kontainer tersebut kepada perusahaan pelayaran MSC di Singapura untuk mengembalikan kontainer-kontainer tersebut ke Albania. Namun menurut pihak Maersk, kontainer-kontainer yang diduga itu atas nama perusahaan pelayaran lain dan tidak satu pun yang dinyatakan mengandung limbah berbahaya.
Jika kontainer-kontainer itu dinyatakan mengandung limbah berbahaya, pihak mengklaim pasti menolak untuk mengangkutnya. Pada akhir Agustus, 102 kontainer di atas dua kapal berlayar kembali ke Eropa. Perdana Menteri Albania Edi Rama dikabarkan membela pengiriman tersebut dan mengecam para pengkritik, tapi ia menolak untuk mengizinkan kontainer tersebut kembali ke pelabuhan di negaranya.
Situasi itu memicu BAN mengiurim surat terbuka kepada pemerintah Albania, dengan mengatakan kontainer yang membawa bahan berbahaya tidak dapat dikirim tanpa persetujuan tertulis dari eksportir, negara transit, dan otoritas di tujuan akhir. Sampai Kamis, 3 Oktober 2024, 102 kontainer masih berada di laut, dengan kargo di satu kapal di lepas pantai Italia dan satu lagi di dekat Mesir.
Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Terbanyak
Baru-baru ini, sebuah studi baru dari University of Leeds, Inggris, menyoroti skala besar sampah yang tidak diangkut dan pembakaran sampah plastik secara terbuka dalam inventarisasi polusi plastik global. Berdasarkan penelitian tersebut, Indonesia ditetapkan sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak ketiga di dunia.a di dunia.Â
Melansir situs web kampus tersebut, Selasa, 10 September 2024, para peneliti menggunakan AI untuk memodelkan pengelolaan sampah di lebih dari 50 ribu kotamadya di seluruh dunia. Model ini memungkinkan tim memprediksi berapa banyak sampah yang dihasilkan secara global dan apa yang terjadi pada limbah tersebut.
Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature, terhitung 52 juta ton produk plastik mencemari lingkungan pada 2020, yang jika dideretkan dalam satu garis, akan membentang mengelilingi dunia lebih dari 1.500 kali. Studi tersebut juga mengungkap bahwa lebih dari dua pertiga polusi plastik di planet ini berasal dari sampah yang tidak diangkut.
Hampir 1,2 miliar orang, yang merupakan 15 persen dari populasi global, hidup tanpa akses ke layanan pengangkutan sampah. Temuan tersebut mencatat bahwa pada 2020, sekitar 30 juta ton plastik dibakar di rumah-rumah, di jalan-jalan, dan di tempat pembuangan sampah, tanpa adanya kontrol lingkungan.
Pembakaran plastik menimbulkan ancaman "substansial" terhadap kesehatan manusia, termasuk cacat perkembangan saraf, reproduksi, dan kelahiran. Para peneliti juga mengidentifikasi "titik panas baru" penghasil polusi plastik, yang mengungkap India sebagai penyumbang terbesar, diikuti Nigeria dan Indonesia.
Â
Advertisement