Sukses

Apakah Program Carbon Offset di Sektor Pariwisata Dapat Perhatian Wisatawan?

Dalam laporan terbaru PwC, kesadaran wisatawan atas isu-isu lingkungan meningkat, tapi apakah terefleksi pada kepesertaan dalam program carbon offset yang disediakan pelaku pariwisata?

Liputan6.com, Jakarta - Hampir semua aktivitas yang kita lakukan menghasilkan emisi karbon, lebih-lebih di sektor pariwisata. Dengan tingginya mobilitas dan konsumsi energi, tidak sedikit karbon yang dihasilkan dari setiap perjalanan yang dilakukan. Itu pula yang melatari Bobobox meluncurkan fitur Carbon Offset Toggle pada tahun lalu.

Dengan fitur tersebut, tamu yang menginap difasilitasi untuk mengurangi jejak karbon yang dihasilkan sebelum menyelesaikan pembayaran. Setiap kontribusi yang diberikan kemudian dikonversi menjadi kredit karbon untuk mendukung Lahendong Geothermal Project yang berada di Sulawesi Utara.

Grup perhotelan itu bekerja sama dengan Fairatmos dalam menghitung emisi dari setiap aktivitas yang dilakukan individu secara rinci. Hasilnya, Bobopod menghasilkan sekitar 6,6 kg tCO2, dan Bobocabin sekitar 8,2 kg tCO2. Angka-angka ini kemudian menjadi dasar perhitungan kontribusi dalam fitur carbon offset mereka.

Setelah satu tahun diluncurkan, jumlah pengguna fitur Carbon Offset Toggle terus bertumbuh. Saat ini, rata-rata tingkat adopsi fitur ini meningkat hingga sembilan persen untuk keseluruhan produk. Konsumen yang menginap di Bobocabin menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi terhadap perubahan iklim, dengan 18,2 persen pengguna secara rutin melakukan offset emisi menggunakan fitur ini.

"Peningkatan ini menunjukkan bahwa semakin banyak tamu yang menyadari dampak lingkungan dari perjalanan mereka dan bersedia mengambil langkah nyata untuk berkontribusi," kata Satria Gundara, ESG Program Manager Bobobox, dalam rilis yang diterima Tim Lifestyle Liputan6.com, Sabtu, 28 September 2024.

 

 

2 dari 4 halaman

Ajak Lebih Banyak Pemain Turut Serta

Dengan hasil tersebut, Satria meyakini minat masyarakat untuk peduli terhadap isu iklim bertumbuh. Namun, ia menyatakan tak bisa melakoninya sendiri sehingga mengajak para pemain lain di sektor perhotelan turut serta.

"Bahwa menyediakan alternatif produk berkelanjutan, jika diiringi dengan penyadaran berwisata secara bertanggung jawab, akan menghasilkan dampak yang sangat besar," ujarnya.

Ia juga mengklaim bahwa emisi yang dihindarkan melalui inisiatif ini dalam satu tahun setara dengan berkendara sejauh 369.216 km menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin. Ini juga setara dengan hasil penyerapan karbon melalui penanaman sekitar 2.840 pohon selama 10 tahun.

Langkah yang diterapkan Bobobox sejalan dengan laporan terbaru PwC yang menyatakan bahwa semakin banyak pelancong yang memahami pentingnya keberlanjutan lingkungan dalam setiap aktivitas wisata. Tantangannya adalah, merujuk hasil riset Boston Consulting Group, konsumen cenderung awam tentang brand mana saja yang menawarkan produk atau solusi berkelanjutan, dan bahkan ketika mereka tahu, akses untuk mendapatkannya relatif lebih sulit.

3 dari 4 halaman

Apa Itu Carbon Offset?

Mengutip laman Fairatmos, istilah carbon offset mengacu pada setiap tindakan yang mengkompensasi emisi karbon dioksida (CO2) melalui upaya pengurangan emisi. Emisi antara lain adalah emisi gas rumah kaca (GRK) dan semacamnya yang diukur dalam CO2e.

Offset karbon merupakan metode yang dilakukan setiap individu atau perusahaan untuk mengkompensasi emisi CO2 yang dihasilkan melalui dukungan proyek pengurangan emisi bersertifikat. Berbagai proyek karbon tersebut harus mampu mengurangi emisi. Setiap individu atau organisasi harus membeli karbon kredit dengan 1 karbon kredit dapat mengurangi 1 ton CO2.

Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejak 2022 meluncurkan program penghitungan jejak karbon, Carbon Footprint Calculator. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan nilai emisi yang dihasilkan oleh aktivitas pariwisata dunia.

"Saat ini, sektor pariwisata menyumbang sekitar lima persen emisi dunia. Ini dari data Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam Weekly Press Briefing pada Senin, 30 Mei 2022.

Sandiaga menyebut banyak negara telah menstandardisasi pemakaian energi dan jejak karbon di semua industri. Agar tak ketinggalan kereta, pemerintah harus bergerak cepat dengan meluncurkan program Carbon Footprint Calculator. "Carbon Footprint Calculator digunakan untuk menghitung berapa besar emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas oleh wisatawan di destinasi," terangnya.

4 dari 4 halaman

Net Zero Emission 2060

Melalui program tesebut, pihaknya melakukan offset melalui penanaman pohon, bisa dengan menanam mangrove maupun kegiatan lainnya. Pihaknya akan terus meningkatkan dan melaporkan serapan karbon.

"Karena kita ingin manfaatkan momentum G20 untuk menyuarakan inisiatif pariwisata berkelanjutan sekaligus mempromosikan ekowisata Indonesia. Sudah saatnya kita menjadi bagian dari solusi bukan jadi bagian dari permasalahan," lanjutnya.

Sandiaga memanfaatkan momentum G20 dalam mendorong pilar-pilar dari The Tourism Working Group, yakni climate action, biodiversity, conservation, dan circular economy, sebagai bagian dari agenda besar penerapan pariwisata berkelanjutan. Salah satu misi besarnya adalah untuk menuju net zero strategy.

"Target dari Nationally Determined Contributions 2030 adalah penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional," sebutnya.

Sandiaga mengatakan, "Saya yakin kita bisa mencapai target net zero emisi di 2060. Ini bukan untuk kita, tapi untuk anak cucu kita ke depan, kita harus berikan warisan pariwisata yang lebih berkelanjutan sehingga keindahan alam kita ini bisa kita wariskan kepada generasi penerus kita."

 

Video Terkini