Liputan6.com, Jakarta - Melestarikan batik butuh beragam aksi. Salah satunya merawat tanaman yang menjadi sumber pewarna alami batik. Indigofera, misalnya. Tanaman penghasil warna indigo alias biru itu menjadi salah satu favorit pewarna alami para pembatik karena keindahannya serta faktor lebih ramah lingkungan.Â
Merayakan Hari Batik Nasional yang tahun ini jatuh pada Rabu, 2 Oktober 2024, Museum Batik Indonesia mengajak masyarakat menanam Indigofera. Bibit yang sudah disiapkan dipindahkan ke dalam pot yang lebih besar kemudian ditutup dengan tanah. Terakhir, pohon tersebut disiram sebagai simbol perawatan.
Mengutip laman resmi Dinas Pertanian Provinsi Banten, tanaman itu bukanlah flora endemik Indonesia, tetapi diyakini dibawa bangsa Eropa. Perkebunan Indigofera pertama di Indonesia berlokasi di Wonogiri, Jawa Tengah. Itu menjadi salah satu tanaman yang wajib ditanam di samping kopi, karet, tebu, dan teh saat tanam paksa diberlakukan Belanda pada 1830.
Advertisement
Sebelum dimanfaatkan sebagai pewarna kain batik, masyarakat di sekitar Ambarawa, Jawa Tengah hanya mengetahuinya sebagai tanaman peneduh kopi dan bisa menyuburkan tanaman kopi. Belakangan, tanaman itu juga potensial dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena kaya akan nitrogen, fosfor, dan kalsium.
Tanaman tersebut memiliki banyak nama di daerah berbeda, ada yang menyebutnya tarum, nila, indigo, atau tom. Jenisnya juga beragam ada yang menyebut sekitar 700 spesies Indigofera ditemukan. Tapi, jenis yang paling mudah ditemui adalah Indigofera spicata, Indigofera stragalina, Indigofera tinctoria, Indigofera natalensis, Indigofera arrecta, Indigofera zollingeriana, dan Indigofera australis.
Â
Si Emas Biru
Tim Lifestyle Liputan6.com juga mendapatkan informasi dari plakat di Museum Batik Indonesia bahwa Indigofera dijuluki sebagai emas biru, merujuk pada warna alami yang dihasilkan. Itu lantara Indigo menjadi salah satu komoditas dagang yang laris di pasar dunia.
Kepopuleran tanaman Indigofera sebagai komoditas dagang berlanjut bahkan setelah sistem tanam paksa dicabut pada 1870. Pada awal abad ke-20, di Jawa Tengah terdapat sekitar 45 perusahaan pengolah nila. Pabrik-pabrik ini tidak hanya memproduksi nila, tetapi juga komoditas lain seperti tembakau, gula, dan kopi. Belanda juga mendirikan laboratorium untuk pengujian indigo di Klaten.
Pabrik-pabrik pengolah nila dan perkebunan besar tersebut dikelola oleh pejabat Eropa, sementara pekerjaan kasar dilakukan oleh penduduk pribumi. Ketimpangan ini memunculkan julukan lain untuk produk pewarna nila, yakni 'keringat biru Orang Jawa'.
Seiring waktu, penggunaan indigo sebagai pewarna berangsur-angsur menurun sejak kemunculan pewarna sintetis yang lebih murah. Perajin batik pun beralih hingga tak sadar mencemari lingkungan. Gerakan sustainability atau keberlanjutan memunculkan kembali pentingnya penggunaan bahan-bahan alami dalam setiap proses produksi, begitu pula dengan batik. Indigo kembali mendapat tempat.
Advertisement
Warisan Budaya yang Diakui Dunia dan Simbol Keelokan Bangsa
Archangela Y. Aprianingrum, Penanggung Jawab Unit Museum Batik Indonesia, memperlihatkan berbagai macam batik dengan ciri khas masing-masing. Batik telah ada sejak zaman Majapahit sebagai warisan nenek moyang. Secara resmi, batik diakui oleh UNESCO pada 2009 dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity yang menimbulkan konsekuensi untuk Indonesia agar terus melestarikannya.
"Ekosistem batik bukan hanya busana, tetapi keelokan batik menjadi ciri khas yang memiliki nilai penting dan filosofi yang menyentuh kehidupan kita hingga saat ini. Batik memang bukan hanya selembar kain, tetapi sebuah warisan budaya dengan filosofi mendalam,"ujar Kepala Sub Bagian Umum MCB, Brahmantara.
Archangela menekankan bahwa dengan memakai dan mempublikasikan batik, publik sudah membantu melestarikan budaya ini. Sementara, museum berperan melestarikan dan mengedukasi secara menyenangkan agar terbangun relasi yang nyaman dengan masyarakat.
"Ketika relasi itu terbangun dan rasa memiliki tumbuh, masyarakat pasti ingin menjaga keberadaan batik agar tidak hilang. Oleh karena itu, kami membangun komunikasi agar masyarakat melestarikan batik sesuai kemampuan mereka," ucapnya.
Regenerasi Batik untuk Gen Z
Pada kesempatan yang sama, Brahmantara juga menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam pelestarian batik. Dia menekankan bahwa proses regenerasi harus berjalan agar batik tetap lestari, terlebih jumlah perajin batik terus menurun.
"Saat ini, Gen Z menjadi garda terdepan yang kita targetkan. Kami berharap program edukasi ini dapat menarik minat mereka, sehingga mereka tidak terpengaruh budaya luar dan mampu mempertahankan batik sebagai warisan masa depan. Pemahaman mengenai mencanting hingga proses lainnya penting bagi Gen Z," ungkap Brahmantara.
Mengutip Antara, Rabu, 2 Oktober 2024, berdasarkan data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) pada 2020, jumlah perajin batik di Indonesia diperkirakan mencapai 151.565 orang. Namun, jumlah itu, menurut Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, sudah menyusut hingga tersisa kurang dari sepertiganya, yakni 37.914 orang.
Sejumlah brand batik kekinian menyadari pentingnya peran perajin. Mereka pun turut aktif mengupayakan regenerasi, salah satunya dilakukan jenama OE yang memberdayakan perajin di Solo dan Yogyakarta. Sejak dirintis 2013, founder OE, Rizki Triana mulai melihat regenerasi berjalan dengan pembatik menerapkan digitalisasi dalam prosesnya.
Advertisement