Liputan6.com, Jakarta - Temuan tentang mikroplastik sebagai endapan benda asing yang tidak dapat dicerna atau diserap oleh tubuh sudah semakin parah. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova memperingatkan bahwa mikroplastik sudah ditemukan di hampir semua ekosistem, mulai dari perairan hingga pegunungan dengan kelimpahan yang beragam.
"Jadi di Indonesia itu memang seluruh bagian ekosistem mulai dari air, tanah, udara, air tawar, lautan terdalam, gunung tertinggi itu semua sudah terkontaminasi mikroplastik," kata Peneliti Pusat Riset Oseanografi BRIN Reza dalam diskusi daring BRIN mengutip Antara, Jumat (4/10/2024).
Baca Juga
Dia menjelaskan mikroplastik di lingkungan sendiri merupakan hasil sampah plastik yang terdegradasi dan tidak dikelola dengan baik. Apakah dibuang secara sembarangan maupun hasil pengelolaan yang tidak tepat seperti dimusnahkan dengan proses pembakaran.
Advertisement
Kandungan mikroplastik yang bocor ke lingkungan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui ikan atau hewan air lain yang dikonsumsi. Selain itu bisa juga lewat pernapasan dan paparan terhadap benda plastik yang mengalami proses pelapukan atau degradasi perlahan.
Menurutnya, 75 persen dari sampel biota air, tanah dan udara dari penelitian terkait mikroplastik sampai dengan 2024 memperlihatkan kandungan mikroplastik. Selain itu, permodelan penyebaran mikroplastik di permukaan air laut wilayah Asia Tenggara memperlihatkan bahwa semakin dekat dengan arah aktivitas penduduk maka semakin tinggi pula mikroplastik yang lepas ke lautan.
Semua Terkait dengan Pengelolaan Sampah
Lebih jauh Reza menjelaskan, kelimpahan mikroplastik juga beragam. Jumlahnya mulai dari 0,1 sampai 11 juta partikel mikroplastik per 1.000 liter air, 3 sampai 50.000 partikel per kilogram tanah dan 0,1 sampai 65 partikel per individu produk perikanan.
"Dari sekitar 109 negara, negara Asia Tenggara termasuk yang paling banyak 'mengonsumsi' mikroplastik," jelasnya lagi.
Namun, meski jumlah penggunaan produk plastik Indonesia lebih rendah dibandingkan negara tetangga yakni sebesar 22,5 kilogram per kapita dan lebih sedikit dibandingkan Singapura lebih dari 100 kilogram dan Malaysia 80 kilogram, tapi atribusi sampah plastik yang bocor ke lautan diperkirakan lebih besar.
Menurut Reza, hal itu terkait erat dengan pengelolaan sampah di Indonesia yang masih belum optimal, termasuk masih maraknya praktik pembakaran sampah secara terbuka oleh masyarakat.
Untuk itu, dia mendorong pengelolaan sampah plastik yang lebih baik dan pengurangan produksi plastik sekali pakai yang masih terjadi saat ini. Sementara pemerintah pun masih mengembangkan lebih jauh pengelolaan sampah RDF.
Advertisement
RDF Sebagai Solusi Pengelolaan Sampah
Timbunan sampah perkotaan diperkirakan akan meningkat dari 2,3 miliar ton pada 2023, menjadi 3,8 miliar ton pada 2050. Tanpa tindakan segera dalam pengelolaan sampah, pada 2050 biaya tahunan global ini bisa mencapai dua kali lipat hingga mencapai 640,3 miliar dolar AS.
Sementara itu, masih terdapat 38 persen sampah global yang tidak terkelola dengan baik yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) digadang bisa mengatasi masalah tumpukan sampah, sekaligus untuk mengeksekusi capaian target nol emisi gas rumah kaca pada 2050.
Namun untuk mencapai itu, ekosistem pengelolaan sampah di Indonesia harus matang. "Kalau ekosistemnya tidak terbangun maka akan mangkrak," ungkap Rosa Vivien Ratnawati Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (Dirjen PSLB), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ditemui usai pemaparan hasil studi pemetaan potensi off-taker RDF di kawasan Jakarta Pusat, Selasa, 1 Oktober 2024.
Ia pun menyebut teknologi RDF harus ada hulu dan hilirnya. Diperlukan konsistensi dan komitmen antara penyedia sampah yang akan dikelola dan juga off-taker atau perusahaan pengolahnya.
Teknologi RDF Bergantung pada Off-Taker
"Karena memang teknologi RDF ini sangat tergantung pada off-taker. Kalau kita sudah ngumpulin sampah kemudian kita buat jadi RDF ternyata off-taker-nya tidak bisa menerima atau off-taker-nya ada tapi jumlahnya tidak konsisten juga nggak bisa berjalan," sebut Rosa.
Inilah yang membuat pemerintah dalam hal ini KLHK menggandeng swasta untuk membuat studi tentang visibilitas TPA dan off-taker. "Tujuan studi ini adalah untuk melihat satu ekosistem besar yang harus kita siapkan, daerah-daerah mana yang harus kita siapkan tindak lanjut atau pelaksanaan RDF ini," jelasnya lagi.
Direktur Penanganan Sampah dari KLHK, Novrizal Tahar menambahkan tentang langkah selanjut dalam temuan studi. Dengan luasnya wilayah Indonesia, masing-masing daerah harus mengidentifikasi kesiapannya untuk penerapan RDF.
"Melakukan visibilitas tadi untuk bisa dilaksanakan dan kendalanya harus bisa dianalisis dalam studi lanjutan," kata Novrizal, saat ditemui di kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa penggunaan teknologi RDF bertujuan mengatasi permasalahan sampah dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Sedangkan pemetaan off-taker RDF adalah untuk mendukung penerapan prinsip energi recovery dalam pengelolaan sampah di Indonesia.
Advertisement