Liputan6.com, Jakarta - Seiring perkembangan zaman, budaya gotong royong yang telah lama menjadi identitas masyarakat Indonesia kini menghadapi tantangan besar. Tradisi saling membantu dan bekerja sama itu perlahan mulai memudar, tergantikan gaya hidup individualistis dan tuntutan modernitas.
Pakar finansial, Ligwina Hananto menilai perkembangan zaman membawa seseorang semakin hidup secara individualistis. Bahkan dalam hubungan keluarga besar yang semestinya saling membantu, budaya gotong royong tidak benar-benar diterapkan.
"Dulu kita menerima bahwa menghidupi keluarga besar adalah norma. Ini bagian dari budaya kita yang tadinya sangat komunal, tetapi kini mulai terasa membingungkan," kata Wina di acara DBS Foundation Bestari Festival di Jakarta, pada Sabtu, 19 Oktober 2024.
Advertisement
"Jika kita memilih untuk hidup secara individualistis, seharusnya kita melakukannya secara penuh, aku sendiri, Mama sendiri, Om, dan Tante sendiri, terserah mereka. Namun, sekarang kita berada di tengah-tengah, bingung antara menjadi individualis atau komunal setengah-setengah,"Â sambungnya.
Ia menilai demikian karena menurutnya, budaya gotong royong bermakna semua urusan adalah urusan kita bersama. Itu semestinya berjalan seimbang tanpa membebani satu pihak dengan pihak lainnya. Kenyataannya di lapangan, nilai itu diterapkan berat sebelah.
"Keberatan saya adalah, gotong royong seharusnya melibatkan 10 orang membantu satu orang. Namun, saat ini yang terjadi adalah satu orang harus membantu 10 orang. Ini bukan gotong royong, melainkan memanfaatkan orang yang terlihat paling sukses, yang sebenarnya tidak adil," kata Wina.
Dampak Negatif Kurangnya Budaya Gotong Royong
Wina kembali menjelaskan ketika konsep gotong royong tidak diterapkan dengan benar, akan mengakibatkan kegagalan generasi saat ini karena kejadian di masa lalu yang dilakukan generasi yang lebih tua. Seorang anak yang dibebani untuk membantu keluarga akan sulit mengatur keuangannya dalam hidupnya.
"Fenomena sandwich generation ini bukanlah hal yang baru terjadi. Ini bagian dari kegagalan generasi sebelumnya dalam menyiapkan keuangan mereka. Kisah hidup mereka selama satu generasi menggambarkan realitas ini. Bukan untuk menyalahkan, tetapi fakta menunjukkan bahwa mereka gagal menyiapkan masa pensiun, sehingga individu tersebut harus didukung oleh anak-anaknya, yang pada gilirannya harus mendukung anak-anak mereka," kata Wina.
Wina menggambarkan istilah sandwich generation tidak lagi terbatas pada mereka berada di tengah-tengah, yang harus menyokong orangtua sekaligus anak-anak. "Kenyataannya, banyak yang sendirian harus mendukung keluarga besar. Ini bukan sandwich generation, ini lebih tepat disebut ayam geprek generation. Rasanya sudah berat dan pedas, seperti kerok-keroknya," tambahnya.Â
Advertisement
Berani Menolak Bila Tidak Sanggup
Melihat lunturnya budaya gotong royong saat ini, dia menjelaskan sejumlah strategi yang bisa diterapkan untuk mengatur keuangan ketika hendak membantu keluarga, yaitu memeriksa penghasilan dan pengeluaran agar saling menyesuaikan.Â
"Selama pengeluaran tersebut masih bisa dipenuhi, kita harus menghadapi kenyataan. Namun jika pengeluaran untuk orangtua dan keluarga besar ternyata sangat besar, maka kita harus berani berkata, ini sudah tidak sanggup. Jika dibiarkan, situasi ini bisa berujung pada masalah keuangan yang lebih serius, seperti pinjaman online atau judi online, yang pada akhirnya dapat menggali kubur sendiri," kata Wina.
Berikutnya, ia meminta setiap individu melihat peluang mendapatkan penghasilan lain untuk mendukung kehidupannya. Ia menyebutkan contoh pengalaman ibu temannya yang membuka warung mi instan di garasi rumah. "Dari hasil penjualan tersebut, ia bisa membantu membayar listrik rumah orangtuanya. Hal-hal kecil seperti itu ternyata memiliki dampak yang besar," lanjutnya.
Masing-masing anggota keluarga besar juga harus mawas diri terkait bantuan. Siapa yang paling membutuhkan didulukan, sembari yang bersangkutan berusaha agar mandiri seiring waktu. "Kita perlu memeriksa siapa dalam keluarga besar yang bisa memberikan bantuan. Biasanya, anak-anaklah yang membantu orangtua. Dalam keluarga saya sendiri, sudah ada kejadian serupa. Ibu saya yang memiliki tujuh saudara harus membantu satu dari mereka," tegasnya.
Dampak Positif dari Penerapan Gotong Royong dengan Baik
Bila menerapkan konsep gotong royong dengan baik, Wina meyakini tidak akan ada pihak yang terbebani. Dia juga menekankan untuk selalu berkomunikasi terkait kondisi apa pun kepada keluarga.
"Dalam penerapan yang baik, misalnya dari enam saudara, satu keluarga yang dibantu, misalnya seorang ibu sudah berusia 74 tahun, dan keenam saudaranya juga sudah dewasa dan tidak memiliki penghasilan tetap. Dalam situasi ini, seorang ibu juga bisa menanyakan kepada anaknya, 'Kamu bisa bantu?' Setelah itu, mungkin dapat membahas masalah ini dengan adik atau saudara lainnya," kata Wina.
Wina kembali menekankan bahwa gotong royong ini tidak berhenti di level saudara-saudara, tetapi disebar ke generasi di bawah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tidak menyebabkan kegagalan di masa depan.
"Misalnya ada 23 sepupu, dan saat ini ada 12 orang yang dengan senang hati berkata, "Ayo kita bantu". Dengan cara ini, akhirnya yang membantu tidak hanya enam orang sepupu yang sudah kesulitan, tetapi juga 12 orang generasi yang masih produktif," kata Wina.
Wina menyampaikan bahwa ketika seseorang mengalami situasi terhimpit, mereka harus berbicara dengan keluarga dan berkata dengan jujur seberapa batas kemampuan membantu. Itu menjadi pilihan yang tepat, dan penting bagi kita memiliki banyak teman agar saling membantu pekerjaan lebih ringan.Â
Advertisement