Liputan6.com, Jakarta - Dunia sudah lama menyoroti dampak fesyen terhadap lingkungan. Solusi untuk mengurangi serta mengatasi limbah fashion dari sisi bahan hingga prosesnya pun sebetulnya telah terjawab.
Penggunaan raw materials yang berkelanjutan serta riset untuk penggunaan teknologi agar mengurangi dampak fesyen terhadap keberlangsungan lingkungan terus dilakukan. Penemuan teknologi terbaru juga memungkinkan material ramah lingkungan juga bisa ramah di kantong.
Marketing Manager Asia Pacific Rayon, Ismail mengungkapkan Indonesia memiliki sumber daya untuk membuat material ramah lingkungan. "Asal bahan baku utama, dari buah pohon eucalyptus dan akasia dikelola secara lestari dan bertanggung jawab," katanya saat talkshow di JFW 2025 pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Advertisement
Seperti yang diketahui, material kain rayon viskosa pada umumnya memang bisa dibuat dari serat selulosa pohon eucalyptus, bambu, tebu, beech, maupun pinus. Menurut Ismail, produksinya terkoordinasi dengan baik, bahan baku tersebut juga berasal dari pohon bisa dipanen setiap 5 tahun sehingga memiliki pasokan yang banyak.
Tak ketinggalan aspek ramah lingkungan seperti mudah diurai baik air, tanah, udara dan telah memiliki sertifikasi untuk praktek sustainability yang terjamin. Semua itu juga bisa dilakukan berkat teknologi terbaru agar tercipta kualitas serat viscose atau viskosa yang baik dengan pemenuhan produksi memakai 100 persen energi terbarukan seperti solar panel.
Inovasi dan teknologi yang digunakan, teknologi terbaru agar serat viscose, 100 persen energi terbarukan dari solar panel. "Kita juga menerapkan dan memastikan semua bahan terpakai. Meminimalisir dampak sampah dan penggunaan air dalam produksinya," kata Ismail lagi.
Indonesia Kaya Material Ramah Lingkungan
Lebih jauh Ismail mengungkapkan, bahwa Indonesia termasuk berlimpah dalam memasok material ramah lingkungan untuk fesyen. "Kita sangat bersyukur ada di negara tropis sangat mudah mendapat air hujan, matahari juga mudah. Menjamin pasokan akan selalu ada. Menejemen pengelolaan hutan bisa memenuhi bahan baku," jelasnya.
Julius, General Sales Manager PT Dunia Tex mengungkapkan, secara produksi pihaknya punya beberapa unit lengkap untuk memproduksi material ramah lingkungan dari hulu sampai hilir. Sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia, benang dan pertenunannya sudah terkenal.
"Serat viscose dipintal jadi benang atau ditenun jadi kain. Proses produksinya, dari pemilihan bahan baku dan permintaan konsumen apa yang kira-kira cocok dan bisa dijadikan produk," kata dia.
Menurutnya memproduksi bahan ramah lingkungan juga harus memastikan hasilnya nyaman dipakai dengan look style yang bagus. Dari situ beberapa bahan baku yang banyak dicari salah satunya serat selulosa yaitu serat yang berasal dari tumbuhan.
"Serat fiber yang ada itu diproses melalui pemintalan benang mulai dari menjadi bahan baku benang lalu ada proses penenunan. Dalam penenunan menjadikan selembar kain untuk bahan baku pencelupan seperti pakaian," papar Julius.
Prosesnya juga termasuk pemberian warna alami lalu finishing dan mendistribusikannya ke pembeli. Proses hulu ke hilir telah menerapkan langkah yang meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.
Advertisement
Kendala Menciptakan Bahan Serat Viscose yang Sesuai
Tak berhenti sampai material jadi, ada pula proses pengolahan limbah untuk bisa kembali menjadi produk daur ulang agar bisa diproses kembali. Namun pembuatan material ramah lingkungan seperti serat viscose maupun serat selulosa ini juga memiliki kendala dalam hal treatment produk karena ada penyusutan saat finishing.
"Jadi memang ada treatment khusus untuk menstabilkan proses tersebut," cetusnya.
Menurutnya kualitas serat selulosa lebih beradaptasi dibanding lain, seperti lebih nyaman dipakai karena lembut dan secara karakter bahan tersebut memang memiliki kemampuan beradaptasi dengan cuaca lebih baik.
Hanya saja daya tahannya dibanding serat kapas dan polyester masih belum setara. Namun, serat selulosa bersifat organik jadi sangat mendukung produk tekstil berkelanjutan. Penggunaan air lebih sedikit, sementara pertanian kapas biasanya lebih butuh banyak air.
"Kita lebih banyak berkolaborasi jadi kita banyak riset pengembangan mungkin serat selulosa dan serat lain yang sustainability dan mungkin kita eksplorasi lagi untuk branding," kata Julius.
Mencampur Bahan Baku agar Harganya Bisa Terjangkau
Material yang ramah lingkungan, biasanya memiliki harga yang lebih bersaing karena proses serta kualitasnya. Namun tetap ada solusi untuk bisa mendapatkan harga yang bersaing di pasaran.
"Brand lain pun melakukan hal yang sama, di blend supaya menghasilkan harga yang lebih terjangkau," kata Julius.
Tapi pihaknya pun melakukan riset sebelum memasarkan produk. Salah satunya mencari range harga supaya produknya bisa tepat sasaran.
Dwi Mayasari, Product Development dari Emba Group yang juga produsen material ramah lingkungan mengungkapkan, pihaknya sedang mengembangkan material denim yang ramah lingkungan. Penggunaan serat viscose dengan cotton yang berasal dari perkebunan yang tersertifikasi pun menjamin produknya dibuat dengan sistem pengupahan yang adil kepada pekerja.
"Tidak menggunakan pestisida dan air berlebih, kami juga ada brand viscose yang menggunakan serat APR," sebut Dwi.
Keunggulan material denim yang diproduksi Emba Group juga memiliki material dan kualitas yang lebih bagus. "Sustainable viscose lebih nyaman, viscose halus, terasa adem dan halus, tidak diragukan lagi kenyamannya," terangnya.
Dwi menyebut bahwa antusiasme permintaan pasar terhadap bahan yang ramah lingkungan di kalangan Gen Z juga semakin terlihat. Kebanyakan market ini juga sangat sadar dengan isu keberlanjutan. Dengan itu Emba Group pun tak ragu untuk memproduksi material ramah lingkungan. Segmen pasar ready-to-wear juga disebut banyak perkembangannya untuk bahan sustainability.
Advertisement