Sukses

Puncak Gunung Fuji Jepang Akhirnya Bersalju Setelah Memecahkan Rekor 130 Tahun, Dampak Krisis Iklim Kian Nyata

Keterlambatan datangnya salju di Gunung Fuji Jepang jadi yang terlama sejak data perbandingan tersedia pada 1894.

Liputan6.com, Jakarta - Langit cerah di sekitar Gunung Fuji pada Rabu pagi, 6 November 2024, memperlihatkan pemandangan yang telah dinantikan banyak orang: lapisan salju tipis yang menyelimuti puncak gunung tertinggi di Jepang tersebut. Potret dari berbagai titik di sekitar gunung, termasuk dari balai kota, ramai diunggah ke media sosial.

Mengutip Japan Today, Kamis (7/11/2024), Kota Fuji, yang terletak di Prefektur Shizuoka, jadi salah satu saksi utama dari fenomena ini. Akun X, dulunya Twitter, kota tersebut membagikan foto-foto Gunung Fuji yang menunjukkan lapisan salju tipis di puncaknya.

"Ini adalah foto-foto Gunung Fuji, dilihat dari balai kota pagi ini. Kita bisa melihat lapisan tipis salju di dekat puncak," demikian bunyi keterangan unggahan tersebut.

Meski salju akhirnya turun, Badan Meteorologi Jepang (JMA) belum dapat mengumumkan rekor baru untuk awal lapisan salju yang paling lambat karena tutupan awan di stasiun pemantauannya. Seorang pejabat JMA di kantor Kofu menyatakan bahwa kondisi cuaca yang berawan menghalangi pengamatan langsung. 

"Salju di gunung kemungkinan akan bertahan untuk sementara waktu," sebut pejabat tersebut.

Keterlambatan kedatangan salju jadi yang terlama sejak data perbandingan tersedia pada 1894, mengalahkan rekor sebelumnya pada 26 Oktober yang tercatat tahun 1955 dan 2016. Krisis iklim yang berdampak pada suhu Bumi lebih hangat disebut sebagai salah satu faktor utama penyebab telatnya kemunculan salju di puncak Gunung Fuji. 

2 dari 4 halaman

Suhu di Puncak Gunung Fuji Lebih Hangat

"Suhu pada bulan Oktober di puncak Gunung Fuji lebih hangat daripada suhu rata-rata," jelas pejabat JMA. Musim panas di Jepang tahun ini juga tercatat sebagai salah satu yang terpanas, seiring gelombang panas ekstrem yang melanda banyak bagian dunia.

Dampak perubahan iklim yang semakin nyata ini mengundang perhatian dan kekhawatiran dari berbagai kalangan, termasuk para ahli meteorologi dan pencinta alam. Gunung Fuji, yang biasanya tertutup salju hampir sepanjang tahun, jadi tujuan populer bagi para pendaki selama musim pendakian bulan Juli hingga September.

Lebih dari 220 ribu pengunjung mendaki lerengnya yang curam dan berbatu setiap tahunnya. Banyak di antaranya berusaha mencapai puncak setinggi 3.776 meter untuk menyaksikan matahari terbit.

Gunung simetris ini telah diabadikan dalam banyak karya seni, termasuk Great Wave karya Hokusai, dan terakhir kali meletus sekitar 300 tahun lalu. Fenomena keterlambatan salju ini tidak hanya menambah daya tarik visual Gunung Fuji, tapi juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan di tengah perubahan iklim yang terus berlangsung.

3 dari 4 halaman

Penurunan Jumlah Pendaki Gunung Fuji

Selain memecahkan rekor telat tersalju, Gunung Fuji mengalami penurunan jumlah pendaki tahun ini. Angkanya merosot signifikan hingga 14 persen pada musim pendakian 2024. Tren penurunan itu tampak sejak awal Juli hingga September. 

Hal tersebut terjadi setelah pemerintah Jepang menerapkan kebijakan baru untuk menangani mengatasi masalah overtourism. Di antara kebijakannya, yakni penerapan biaya masuk sebesar dua ribu yen (sekitar Rp218.490) dan sumbangan sukarela pada Jalur Yoshida.

Pemerintah juga menerapkan kuota maksimal empat ribu pendaki per hari. Penerapan sistem reservasi daring juga dilakukan untuk meningkatkan keselamatan dan mengurangi dampak lingkungan. 

Mengutip AFP, Jumat, 13 September 2024, penurunan jumlah pendaki terjadi meski angka turis asing yang datang ke Jepang meningkat, hampir 18 juta pada paruh pertama 2024. Langkah-langkah pengetatan dirancang untuk menjaga kelestarian dan kualitas pengalaman pendakian di Gunung Fuji yang dikenal sebagai destinasi ziarah dan simbol budaya Negeri Sakura.

4 dari 4 halaman

Pemeliharaan Jalur Pendakian

Kebijakan baru ini ikut berdampak positif terhadap pemeliharaan dan pengelolaan jalur pendakian. Dengan jumlah pendaki yang terbatas, pihak berwenang bisa lebih efektif dalam mengawasi dan mengatur penggunaan fasilitas, serta menjaga kondisi jalur tetap optimal.  

Pengurangan jumlah pendaki membantu meminimalkan dampak lingkungan yang disebabkan kerumunan yang besar, seperti kerusakan vegetasi dan pencemaran. Upaya ini termasuk bagian dari strategi berkelanjutan agar memastikan Gunung Fuji tetap dapat dinikmati generasi masa depan tanpa mengorbankan keindahan alam maupun nilai-nilai budaya yang ada.   

Kementerian Lingkungan Jepang menyebut, data jumlah pendaki dikumpulkan menggunakan perangkat inframerah yang dipasang di empat jalur utama pendakian gunung. Musim panas ini, kementerian mencatat sekitar 178 ribu pendaki, turun cukup banyak dari 200 ribu pada tahun sebelumnya maupun masa pandemi.

Data akan terus diperbarui untuk memberi gambaran lebih jelas mengenai efektivitas kebijakan baru. Evaluasi mendalam akan dilakukan guna menilai dampak kebijakan ini. Pihak berwenang berharap informasi ini bisa membantu perencanaan kebijakan selanjutnya, serta menjaga keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan pengelolaan jumlah pendaki ke Gunung Fuji.

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence