Liputan6.com, Jakarta - Tidak banyak yang bisa konsisten merentang karier yang sama hingga bertahun-tahun. Tantangan di tengah perjalanan membuat tak sedikit orang menyerah. Maka, apresiasi layak diberikan pada desainer Merdi Sihombing atas dedikasinya selama 25 tahun mengembangkan fesyen lokal berbasis budaya.
Merayakan perjalanan kariernya, desainer asal Sumatera Utara itu menggelar pameran instalasi bertajuk The Flying Cloth. Ia sengaja memilih tempat di Museum Nasional Indonesia yang baru kembali dibuka setelah kebakaran hebat pada 2023 demi mendobrak mindset bahwa pertunjukan fesyen haruslah di hotel.
"Kalau di luar negeri itu, fesyen yang berbasis budaya atau masyarakat adat itu di museum atau di bangunan-bangunan tua. Nah, bagaimana kita merespons ataupun mencoba kecintaan anak-anak muda di museum. Ya, harusnya buat semua ini... Jadi, orang bisa datang kemari, (terutama) anak-anak muda," tutur CEO PT. Eco Fesyen Indonesia itu di sela jumpa pers di Jakarta, Selasa, 12 November 2024.
Advertisement
Merdi menggandeng Heri Pemad sebagai art director dan Ignatia Nilu sebagai kurator The Flying Cloth untuk menggambarkan perjalanan kreatifnya secara indah. Selain instalasi berwujud kain tenun beragam motif dan helaian benang yang menggantung ke bawah atau ditumpuk atas di wadah melengkung yang juga digantung, ia juga memajang foto-foto koleksi busana yang dijepret langsung di lokasi tempat kain tenun itu dibuat.
"Jadi ketika difoto, pengrajin tahu, oh baju kami dibuat ini. Yang kami tenun, ternyata jadinya seperti ini, karena selama ini kan mereka enggak tahu," ujarnya.
Berbagi Ruang dengan Perajin
Merdi juga tak ingin menonjol sendirian. Lewat The Flying Cloth, ia memperkenalkan para perajin yang menjadi mitranya melestarikan dan merawat wastra warisan budaya Indonesia dengan menempatkan mereka langsung di depan. Sosoknya berganti setiap hari selama pameran yang dijadwalkan berakhir pada 24 November 2024.
Perajin dari berbagai daerah diajak menunjukkan keahliannya di Jakarta. Menurut alumnus Esmod dan Bunka itu, sudah saatnya desainer membuka perajin yang membantu proses pengerjaan karya. Hari itu, giliran seorang pembatik disabilitas berkacamata. Kehadirannya mampu menarik perhatian turis asing pengunjung museum yang penasaran. Mereka bahkan berebut berfoto bersama dengan pembatik itu.
"Sudah saatnya kita tidak boleh ada dibatasi, sembunyiin siapa pengrajin kita. Kita harus bawa pengrajin kita biar mereka pintar. Dan kalau mereka (pembeli lain) mau berhubungan langsung, silakan. Kita cuma memfasilitasi," tuturnya.
Pameran itu juga menampilkan sederet film-film fashion yang merekam karya Merdi dalam bentuk gambar bergerak. Ia ingin mengingatkan bahwa menjual fesyen itu bukan hanya runway, tapi ada banyak platform yang bisa dimanfaatkan.
"Seperti acara saya, ada screening film yang saya buat. Nanti lihat deh, film-filmnya keren-keren banget," ucapnya berpromosi mengingat karyanya pernah memenangkan penghargaan di ajang Melbourne Fashion Festival.
Advertisement
Mimpi Menggelar Fashion Week Berbasis Budaya Terbesar di Dunia
Lewat pameran itu pula, Merdi merintis jalan menggelar fashion week budaya terbesar di dunia. Ia meyakini betul bahwa budaya adalah kekuatan Indonesia yang tidak bisa ditandingi negara mana pun. Budaya yang dimaksud tidak hanya wastra, melainkan kerajinan tangan secara keseluruhan.
"Saya kepengen Indonesia menjadi pusat daripada fashion yang berbasis budaya. Kelar. Enggak ada ngomong kain-kain, enggak, semua kerajinan," ucapnya.
Meski begitu, ia menyadari mewujudkannya bukan pekerjaan mudah. Banyak tantangan dihadapi di lapangan, terutama ancaman kepunahan. Ia mencontohkan teknik celup ikat di Karo yang sudah kehilangan penenunnya. Ia pun menyiasatinya dengan menggunakan kain yang sudah jadi untuk diolah dengan teknik tersebut agar tidak benar-benar hilang.
"Yang penting teknik ikat celupnya yang kita kembalikan," ujarnya.
Belum lagi desa-desa yang semakin terbuka dengan budaya luar. "Sebuah desa itu, apabila terbuka, gampang dimasuki budaya luar, saya takut itu punah," ujarnya dengan nada khawatir seraya berharap pemerintah menyiapkan strategi jitu untuk melindungi budaya lokal.
Kekhawatiran Merdi atas keberlangsungan industri fesyen lokal juga berkaitan dengan ketergantung impor bahan baku. Banyak desainer di dalam negeri terlena dengan material-material impor yang murah hingga tak sadar menggerogoti industri dalam negeri.
Mengembangkan Produk Berkelanjutan yang 100 Persen Indonesia
"Mesti disadari bahwa kekuatan kita adalah fesyen yang berbasis budaya, makanya hulunya mesti dibenerin. Orang kayak saya ini kan jarang di Indonesia. Rata-rata kan membeli kain baru dibuat jadi baju," celotehnya.
Ia berharap lebih banyak orang Indonesia yang mau 'kerja capek' supaya maju industrinya. Tidak hanya fokus di hilir, tetapi juga mau repot membenahi sektor hulu yang sangat kurang. Kalau pun ada yang berinisiatif, jumlahnya belum sebanding dengan kebutuhan industri fesyen dalam negeri.
"Mimpinya kita ini semua, sama teman-teman, gimana buat 100 persen Indonesia. Jadi, benangnya ada di Indonesia, kemudian diwarnai dengan tumbuhan-tumbuhan Indonesia, dijahit di Indonesia, karena itu benar-benar statement Indonesia," celotehnya.
Proses perjalanan yang dilalui itu menjadi modal penting menghasilkan produk keberlanjutan yang mewah. Cerita dari setiap proses menjadikannya berhak dihargai tinggi, bukan dianggap murah karena dilabeli produk UMKM.
Isu keberlanjutan lingkungan menjadi perhatian besarnya selama ini. Dengan mengimpor, Merdi menyatakan jejak karbon yang ditinggalkan industri tenun lokal akan sangat besar. Padahal, industri fesyen semakin dituntut ramah lingkungan.
"Fesyen itu bukan hanya meninggalkan limbah tekstil yang cukup memprihatinkan, tapi juga meninggalkan jejak karbon," kata anggota Dewan Serat Indonesia itu. "Jadi, saya sih berharap pemerintah ada gerakan untuk menghidupkan kembali yang namanya penanaman-penanaman tumbuhan yang bisa menghasilkan serat dan menjadi benang," imbuhnya.
Advertisement