Liputan6.com, Jakarta - Media Sosial dapat mempengaruhi kesehatan mental, baik dengan cara positif maupun negatif. Terlalu sering terpapar konten tertentu di media sosial dapat menimbulkan perasaan tidak aman bagi seseorang.
Menurut Farhan Zubedi selaku Kreator Jaringan Findes, sejak Pandemi COVID-19, banyak orang mulai menghadapi tantangan baru mengenai kesehatan mental dalam dirinya. Di antaranya kecemasan meningkat, depresi, dan keinginan untuk mencari dukungan di platform digital yang semakin berkembang.
Baca Juga
"Beberapa profesional kesehatan, termasuk dokter dan konselor, kini membuka konsultasi daring sebagai respons terhadap kebutuhan ini. Namun, mereka juga mengingatkan pentingnya berhati-hati dalam memberikan diagnosis atau saran kesehatan mental secara daring," kata Farhan dalam jumpa pers di Jakarta pada Kamis, 14 November 2024.
Advertisement
Farhan juga menyampaikan salah satu hal paling sering ditemui dalam dunia digital, yaitu erdapat hate comments atau komentar negatif. di berbagai unggahan. Ia menekankan bahwa hal ini adalah bagian dari tantangan yang dihadapi oleh setiap orang maupun kreator.Â
"Jika ada orang yang berkomentar dengan tujuan yang baik atau ingin berdiskusi, tentu saya sangat terbuka untuk itu. Namun, jika komentar tersebut bernada menyerang atau tidak konstruktif, lebih baik memilih untuk tidak merespons," jelasnya.
Farhan mengingatkan bahwa perilaku kolektif dalam kolom komentar dapat mempengaruhi dinamika diskusi. Ia menyarankan agar tidak terlalu terpengaruh atau memikirkan komentar negatif yang ada.
 "Semakin banyak hate comments yang muncul, semakin besar kemungkinan orang lain yang sebelumnya tidak berniat ikut berkomentar, akan tergoda untuk berkomentar negatif juga. Oleh karena itu, kita harus tetap menjaga sikap dan menghindari terjebak dalam perang komentar," terangnya.
 "Jika komentar tersebut benar-benar merusak, saya biasanya akan memblokir atau menghapusnya. TikTok juga memiliki fitur untuk mengatasi masalah ini dengan sangat baik," tambahnya.Â
Â
Kelola Perasaan Agar Tidak Membandingkan Diri di Medsos
Rizky Iskandar Sopian, S. Psi, selaku Konselor Satgas Pencegahan Primer Into The Light Indonesia, menjelaskan bahwa pengaruh konsumsi media sosial terhadap kesehatan mental saat ini mendorong seseorang untuk mencari cara mengontrol kondisinya. Contohnya dengan mencari cerita orang lain yang serupa. Rizky menjelaskan solusi yang bisa diambil ketika seseorang membandingkan nasibnya dengan orang lain saat scrolling di TikTok.
 "Saat melihat kehidupan seseorang yang lebih dari kita, yang perlu diingat adalah setiap orang punya garis hidupnya masing-masing. Apa yang kita lihat bisa jadi mereka lebih punya privilege atau memiliki kondisi yang lebih baik, tapi itu bukan berarti kita bisa mengontrol segala hal. Ada banyak hal yang tidak bisa kita kontrol, seperti status ekonomi keluarga atau lingkungan tempat tinggal," ujar Rizky.
"Meskipun banyak konten kreator yang memberikan trik untuk mengubah hidup, seperti pindah tempat tinggal, hal itu tentu memerlukan usaha lebih besar. Jadi, dengan mengingat apa kemampuan dan keterbatasan yang kita miliki, kita bisa lebih mengendalikan perasaan kita," tambahnya
Selain itu, Rizky menyarankan untuk melakukan detoksifikasi media sosial setelah merasakan hal tersebut. Memberikan jeda satu minggu dari media sosial bisa sangat berpengaruh pada kesehatan mental kita.
Advertisement
Tanda-Tanda Seseorang Butuh Pertolongan
Rizky menjelaskan tanda-tanda seseorang yang membutuhkan pertolongan terkait kesehatan mental dapat dilihat dari beberapa perubahan sikap. Perubahan ini tidak hanya dari yang ceria menjadi pemurung, tetapi juga sebaliknya, dari pemurung menjadi ceria.
"Misalnya, perubahan yang dapat kita lihat pada seseorang yang mengalami gangguan dan memiliki pikiran untuk bunuh diri, bahkan yang sudah merencanakan untuk melakukannya, biasanya akan tampak lebih ceria dan lebih senang. Karena mereka merasa sudah lepas dari kaitannya dengan dunia," sebut Rizky.
"Mereka kerap memberikan barang-barang yang bermakna besar bagi mereka, seperti memberi barang kesayangan, misalnya boneka atau cendera mata sebagai tanda bahwa mereka ingin meninggalkan dunia ini," tambahnya.
Rizky menambahkan bahwa perubahan pola makan dan pola tidur juga perlu diamati. Bila rutinitas dilakukan lebih atau kurang dari waktu yang biasanya, maka hal ini perlu diberikan perhatian dan pertolongan.
"Perubahan pola tidur, misalnya, kalau biasanya tidur 8 jam sehari, tapi tiba-tiba berkurang, itu bisa menunjukkan ada masalah dengan pola tidur mereka. Sebaliknya, jika tidur mereka bertambah, meskipun tidur lebih lama, energinya tetap tidak terisi, itu juga bisa jadi masalah. Jadi, jika pola tidur berubah, kemungkinan besar masalahnya ada di mentalnya," tutur Rizky.
Hal serupa juga jika seseorang makan lebih banyak dari biasanya, itu bisa jadi tanda bahwa dia sedang mengalami stress eating, makan untuk mengatasi stres. "Sebaliknya, kalau makanannya berkurang, mungkin ada masalah dengan citra diri atau usaha untuk mengontrol diri dengan cara mengurangi porsi makan," tambahnya.
Pelatihan Kreator untuk Menciptakan Konten yang Aman
Dalam kesempatan yang sama, Marshiella Pandji selaku Public Policy dan Government Relations TikTok Indonesia, menyampaikan untuk meningkatkan kesadaran mental, TikTok menyiapkan konten kreator yang memiliki wawasan yang baik bdan ekerja sama dengan WHO untuk mengedukasi kesehatan mental. Ia berharap informasi kredibel mengenai kesehatan mental dapat tersampaikan dengan tepat dan tidak menimbulkan dampak negatif.
 "Para kreator ini diharapkan akan menjadi penerjemah atau penyebar informasi yang akurat. Di era digital ini, penting bagi kita menyampaikan informasi dengan cara ringkas dan mudah dimengerti, terutama di platform seperti TikTok. Ini adalah kesempatan besar untuk memperkenalkan informasi yang benar dan praktis tentang kesehatan mental ke audiens," ujar Marshiella
Marshiella menambahkan, dalam upaya kolaborasi dengan WHO, TikTok akan menjalankan pelatihan khusus bagi kreator yang ingin membuat konten tentang kesehatan mental. Hal ini bertujuan untuk memberikan panduan tentang pembuatan konten yang aman dan efektif, sambil tetap mematuhi pedoman komunitas TikTok.
"Kami akan memberikan sumber daya yang lebih lengkap dan strategi agar para kreator dapat menjangkau audiens yang lebih luas dengan konten yang aman dan bermanfaat," ujar Marshiella.
"Kompleksitas isu kesehatan mental memerlukan kerja sama antara platform digital, pemerintah, kreator, dan organisasi nirlaba. Dengan program ini, kami berupaya menciptakan lingkungan yang mendukung percakapan tentang kesehatan mental berbasis informasi yang kredibel," pungkasnya.
Â
Â
Â
Advertisement