Liputan6.com, Jakarta - Putaran kelima Komite Negosiasi Antar-Pemerintah soal Polusi Plastik (INC-5) di Busan, Korea Selatan (Korsel) menunjukkan perbedaan negara-negara mengenai bagaimana mengakhiri sampah plastik. Sejumlah negara ingin produksi plastik dibatasi, sementara yang lain hanya ingin fokus pada pengelolaan sampah plastik.
Walaupun polusi plastik telah diakui sebagai masalah global yang membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia ternyata hasilnya memble. Sebagian negara, ternyata tidak ingin menghentikan produksi plastik primer dan membatasi bahan kimia berbahaya di dalam plastik.
Baca Juga
Melansir The Korea Times, Senin (2/12/2024), selama sepekan para delegasi para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merundingkan dua dokumen perjanjian yang disiapkan Ketua INC Luis Vayas Valdivieso. Namun, pembelahan sikap para delegasi yang terjadi sebelum sidang tak bisa dipertemukan.
Advertisement
Pembelahan itu terutama menyangkut pembatasan produksi plastik primer dan pelarangan bahan kimia berbahaya dalam plastik. Sebanyak 94 negara telah menyatakan mendukung hal ini, sebagian besar dari negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Eropa. Dari Asia hanya Bangladesh dan Filipina, yang berada dalam daftar negara pendukung.
Menteri Luar Negeri Korea Selatan Cho Tae-yul dalam salah satu sesi di hari terakhir pertemuan pada Minggu, 1 Desember 2024, mengatakan para anggota delegasi seharusnya tidak melupakan tujuan untuk membuat kesepakatan legal untuk mengakhiri polusi plastik.
Ketidaksepakatan dalam perundingan ini pun tercermin dalam dokumen revisi yang dirilis pada Minggu, 1 Desember 2024 oleh ketua pertemuan, Luis Vayas Valdivieso. Dokumen ini dapat menjadi dasar perjanjian, tetapi masih dipenuhi berbagai opsi terkait isu paling kontroversial, seperti pembatasan produksi plastik, pengelolaan produk plastik dan bahan kimia berbahaya, serta pembiayaan untuk membantu negara berkembang melaksanakan perjanjian tersebut.
Beberapa negosiator dan kelompok lingkungan yang mengamati pembicaraan mengungkapkan kekecewaan mendalam. Rencana pertemuan INC berikutnya masih belum ditentukan, tetapi diperkirakan akan dilangsungkan pada 2025. Kegagalan tercapainya kesepakatan ini terjadi satu pekan setelah Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) yang hasilnya juga tidak memuaskan semua pihak.
Pengurangan Dampak Perubahan Iklim
Gelaran COP29 yang digelar di Baku, Azerbaijan, untuk membahas kebijakan iklim global dengan fokus pada pengurangan dampak perubahan iklim, percepatan transisi energi, dan peningkatan pendanaan iklim telah berakhir. Dalam ajang ini ditargetkan pendanaan untuk negara berkembang kurang lebih USD 500 miliar hingga USD 1 triliun per tahun bagi negara berkembang.
Sementara itu, tim ilmuwan Global Carbon Project yang berbasis di Inggris mengeluarkan laporan terbaru soal emisi karbon global dari bahan bakar fosil. Laporan tersebut menyebut bahwa kadar emisi karbon global dari bahan bakar fosil mencapai rekor tertinggi pada 2024.
Laporan bertajuk "Anggaran Karbon Global 2024" itu, seperti dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (15/11/2024), memproyeksikan emisi karbon dioksida (CO2) dari pembakaran dan penggunaan bahan bakar fosil sebesar 37,4 miliar ton, naik 0,8% dari tahun 2023.
Melansir kanal Global Liputan6.com, selain emisi dari penggunaan bahan bakar fosil, laporan tersebut juga mengungkap proyeksi emisi dari perubahan penggunaan lahan (seperti deforestasi) sebesar 4,2 miliar ton, sehingga total emisi CO2 diproyeksikan mencapai 41,6 miliar ton pada tahun 2024, meningkat dari 40,6 miliar ton pada tahun 2023 lalu.
Laporan ini muncul di tengah berlangsungnya KTT Iklim PBB COP29 di Baku, Azerbaijan, di mana negara-negara menegosiasikan cara untuk mencapai target yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015 dan mempercepat pengurangan emisi menuju "net zero” atau nol emisi karbon guna membatasi kenaikan suhu global.
Advertisement
Pertemuan COP29
"Waktu hampir habis untuk memenuhi target Perjanjian Paris - dan para pemimpin dunia yang bertemu di COP29 harus melakukan pengurangan emisi bahan bakar fosil secara cepat dan mendalam, agar kita memiliki peluang untuk tetap berada di bawah 2 derajat Celsius, dari tingkat pemanasan pra-industri," ujar Pierre Friedlingstein dari Exeter's Global Systems Institute, yang memimpin penelitian tersebut.
Sementara emisi CO2 dari bahan bakar fosil meningkat dalam 10 tahun terakhir, emisi CO2 dari perubahan penggunaan lahan justru rata-rata mengalami penurunan, sehingga menjaga total emisi relatif stabil selama periode itu, kata laporan tersebut. Namun tahun ini, emisi karbon dari bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan diperkirakan akan meningkat.
Hal ini sebagian disebabkan oleh kekeringan, dan emisi dari deforestasi serta kebakaran hutan yang dipicu oleh pola cuaca El Nino pada 2023-2024. Dengan lebih dari 40 miliar ton CO2 yang dilepaskan setiap tahunnya, tingkat karbon di atmosfer terus meningkat, dan itu mendorong pemanasan global yang berbahaya.
Tahun 2024 juga diprediksi akan jadi tahun terpanas yang pernah tercatat, siap melampaui rekor suhu panas pada 2023, dengan beberapa bulan berturut-turut mencatatkan suhu lebih dari 1,5 derajat Celsius. Delegasi Indonesia juga menghadiri COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, pada 11 sampai 22 November 2024. Partisipasi ini jadi langkah konkret memperkuat komitmen dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dan upaya keberlanjutan lainnya.
Delegasi Indonesia di COP29
Delegasi yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, Hashim Djojohadikusumo itu juga menggelar berbagai pertemuan bilateral dan diskusi strategis untuk memperkuat diplomasi dan kerja sama internasional dalam menangani krisis iklim. Menurut Menteri Lingkungan Hidup (LH) merangkap Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq, Indonesia terus mengambil langkah nyata mewujudkan berbagai target Kesepakatan Paris 2015 yang diratifikasi pada 2019.
"Keikutsertaan Indonesia di COP29 ini ditandai dengan tekad yang kuat untuk tidak tergantung pada bantuan atau hibah, tetapi kita fokus pada kemitraan yang saling menguntungkan," terang Hanif pada sesi Media Briefing di Baku, Azerbaijan, Kamis, 14 November 2024 dalam rilis yang diterima tim Lifestyle Liputan6.com.
Pada COP29, Indonesia mengidentifikasi 19 inisiatif penting, terdiri dari 14 aspek negosiasi dan lima bentuk kerja sama platform untuk meraih target emisi yang lebih ambisius. Menteri LH mengakui proses negosiasi UNFCCC memakan waktu, namun sudah ada berbagai kerja sama konkret dengan beberapa mitra untuk meningkatkan aksi mitigasi dan adaptasi di Indonesia, termasuk perdagangan karbon.
"Kita manfaatkan instrumen-instrumen yang telah mulai operasional dari Paris Agreement dan juga kerja sama bilateral di bidang pengendalian perubahan iklim. Kita juga akan galang berbagai pihak di Indonesia untuk bergerak cepat segera menyusun agenda kerja dalam aksi konkret paska COP29 Baku yang membawa manfaat bagi Indonesia," tuturnya.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement