Sukses

Influencer Malaysia Bunuh Diri karena Tak Tahan Di-bully di Media Sosial, Pelakunya Cuma Didenda Rp300 Ribuan

Kematian tragis influencer di Malaysia membunyikan alarm tentang bahaya bully di media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Kejamnya komentar di media sosial bisa membunuh seseorang, atau banyak orang. Hal itu menimpa seorang influencer Malaysia bernama Rajeswary Appahu yang dikenal sebagai Esha.

Ia ditemukan meninggal di rumahnya pada Jumat, 5 Juli 2024. Insiden itu terjadi sehari setelah Esha mengajukan laporan polisi terhadap dua orang dan menuduh mereka melecehkannya secara daring. Perempuan itu diduga bunuh diri setelah di-bully terus menerus lebih dari sebulan.

Dikutip dari Channel News Asia pada Selasa, 3 Desember 2024, seusai dilakukan penyelidikan berdasarkan undang-undang mengenai intimidasi kriminal dan pelecehan daring, dua orang didakwa di pengadilan dan mengaku bersalah. Pemilik panti jompo, Shalini Periasamy, didenda RM100 (Rp356.700) akibat berkomentar dengan bahasa tak pantas di TikTok.

Sementara, pengemudi truk B. Sathiskumar dipenjara satu tahun karena menyerang secara verbal Rajeswary menggunakan akun TikTok miliknya, Dulal Brothers. Hingga lima bulan kemudian, keluarga Rajeswary terus mencari jawaban. 

"Saya ingin tahu mengapa putri saya bunuh diri. Saya perlu tahu. Saya ibunya. Saya tidak bisa tidur di malam hari. Saya sangat sedih anak saya meninggal," kata ibunya, Puspa Rajagopal, kepada CNA.

"Pengadilan hanya mengeluarkan denda sebesar RM100 (Rp356.700). Apakah ini akan menjadi preseden untuk kasus serupa terhadap perempuan lain? Bahkan jika trolling dan ancaman itu akhirnya merenggut nyawa seseorang?" tanya saudara perempuannya, Susila Appahu. 

Putusan pengadilan itu pun memicu kemarahan publik Malaysia. Hal ini menyoroti risiko yang dihadapi oleh pengguna media sosial, khususnya wanita.

 

2 dari 4 halaman

Tingginya Kasus Penindasan di Dunia Maya Malaysia

Selama tiga tahun terakhir terdapat 9.483 laporan penindasan maya. Terlihat sedikit lebih tinggi dari 9.321 yang diterima pada penipuan daring, menurut angka terbaru dirilis oleh Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia. 

Menurut laporan global oleh The Economist Intelligence Unit, pada 2021, 85 persen perempuan mengalami kekerasan daring. Bentuk paling umum termasuk ujaran kebencian, pelecehan, doxxing, ancaman kekerasan, dan penyebaran gambar yang tidak diinginkan atau konten seksual eksplisit.

Meskipun Malaysia kekurangan data khusus gender, organisasi nonpemerintah (LSM) memperkirakan jumlah kejahatan dunia maya terhadap perempuan di negara tersebut sama kritisnya dan terus meningkat. Undang-undang yang ada tidak mendefinisikan penindasan maya, kata Firzana Redzuan, pendiri Monsters Among Us, sebuah LSM yang bertujuan memerangi kekerasan terhadap anak-anak.

"Itu artinya tidak ada perlindungan, tidak ada cara mencegah (kejahatan), dan kita tidak bisa memikirkan mekanisme untuk menawarkan dukungan bagi mereka yang telah menjadi korban penindasan dan perundungan siber," sebut Firzana.

3 dari 4 halaman

Menebar Ketakutan pada Influencer Lain

Influencer media sosial, Shakila Zen, seorang aktivis yang menyuarakan isu lingkungan, dan Nandini Balakrishnan, yang memproduksi konten tentang beberapa topik termasuk diskriminasi, feminisme, dan isu sosial lainnya, juga mengalami situasi serupa dengan Esha. Kedua wanita itu terkadang merasa nyawa mereka dalam bahaya. 

Shakila pernah menerima replika tangan terpenggal berdarah yang dikirim ke rumah orangtuanya tepat dua tahun lalu. Barang itu disertai dengan surat anonim yang isinya mengancam akan menyiramnya dengan air keras.

"Saya tidak keberatan jika ancaman itu hanya ditujukan kepada saya, tetapi jika menyangkut keluarga, teman, dan komunitas tempat saya bekerja, itu sangat sulit bagi saya," sebut Shakila. 

Nandini menambahkannya, "Salah satu hal yang paling sering dikatakan orang adalah kamu harus tampil apa adanya, jadi saya harus bisa mengungkapkan perasaan saya, karena itu hak saya. Itu hak saya untuk terluka."

Saat ini, RUU Keamanan Daring akan segera diajukan di parlemen untuk menutup celah hukum dan mendorong terciptanya lingkungan digital yang lebih aman. Berdasarkan RUU tersebut, penyedia platform media sosial harus memastikan keamanan platform. Tindakan tersebut termasuk melindungi anak-anak berusia di bawah 13 tahun hingga membatasi akses ke konten berbahaya.

4 dari 4 halaman

Mencoba Menjadikan Internet Lebih Aman

Ada RUU tersebut sebagai salah satu langkah dari pemerintah Malaysia untuk membuat ruang daring lebih aman pasca-kasus Rajeswary. Pada Agustus, pejabat mengumumkan bahwa media sosial dan platform pesan daring dengan sedikitnya delapan juta pengguna lokal harus mengajukan permohonan izin dari pemerintah. Peraturan perizinan akan mulai berlaku 2025. 

Persyaratan tersebut adalah bagian dari kerangka regulasi baru untuk memastikan ekosistem daring lebih aman. Kode etik untuk platform juga sedang disusun. Selain hukum, para ahli mengatakan menjadikan internet tempat lebih aman dimulai dari rumah. 

"Orangtua harus membimbing anak-anaknya tentang cara bernavigasi di ruang daring, alih-alih membatasi penggunaannya," kata Firzana.

"Kita selalu mengajarkan anak-anak kita yang masih muda cara menyeberang jalan. Namun, saat mereka membuka Instagram, Anda berasumsi bahwa anak itu langsung tahu," tambahnya. Ia juga menyampaikan, "Membangun ketahanan dalam kehidupan nyata sama halnya dengan kehidupan daring."

Meski begitu, Shakila dan Nandini meyakini bahwa hal tersebut tidak akan cukup untuk membuat mereka merasa lebih aman. Note: Bunuh diri bukanlah solusi untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan. Jika Anda atau orang di sekitar Anda mengalami tekanan dan muncul pikiran untuk bunuh diri, segeralah hubungi hotline bunuh diri Indonesia melalui nomor 1119 (ekstensi 8) atau hotline kesehatan jiwa Kemenkes di nomor 021-500-454.

Video Terkini