Liputan6.com, Jakarta - Mitigasi bencana di sektor pariwisata bukanlah barang baru bagi pemerintah dan pelaku usaha. Tapi, pelaksanaannya di lapangan terkesan baru tataran wacana. Padahal, dengan banyak destinasi wisata berada di daerah rawan, khususnya terkait destinasi wisata alam, hal itu menjadi langkah antisipatif untuk menunjang keselamatan dan keamanan semua pihak sekaligus keberlanjutan usaha.
"Selain wisatawan, pariwisata juga mendatangkan investasi dan tenaga kerja yang besar sehingga upaya mitigasi bencana ini sangat penting untuk menjamin keselamatan dan keamanan wisatawan, masyarakat, pelaku usaha, tenaga kerja, dan investasi di destinasi pariwisata," kata Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan (P2Par) ITB Budi Faisal secara tertulis kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 5 Desember 2024.
Baca Juga
Elemen mitigasi bencana di sektor pariwisata, kata Budi, sama dengan mitigasi bencana secara umum. Itu mencakup regulasi, mekanisme operasional/SOP, sistem peringatan dini, sumber daya manusia, infrastruktur mitigasi bencana (bangunan tahan bencana, jalur evakuasi, titik kumpul, bangunan evakuasi), fasilitas mitigasi bencana (papan informasi bencana, sirine bencana, peralatan dan perlengkapan penanggulangan bencana alam, serta ambulans), hingga koordinasi dan kolaborasi.
Advertisement
Berdasarkan analisisnya, implementasi mitigasi bencana di destinasi wisata di lapangan sejauh ini masih terbatas di aspek perencanaan. Ia menyebut sudah banyak destinasi pariwisata yang menyusun rencana mitigasi bencana di destinasi pariwisata sebagai bagian rencana induk pembangunan kepariwisataan maupun dokumen tersendiri seperti yang disusun Kabupaten Magelang.
"Dinas Pariwisata, Pemuda,dan Olahraga Kabupaten Magelang telah menyusun Standarisasi Pengamanan Kawasan Wisata Berbasis Masyarakat dan Berbasis Bencana sebagai upaya memitigasi bencana. Provinsi Jawa Barat juga telah memiliki Peraturan Gubernur tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan. Contoh lainnya adalah Kabupaten Manggarai Barat yang telah memiliki Peraturan Bupati tentang Penyelenggaraan Akomodasi Pariwisata Tangguh Bencana," tuturnya.
Rencana Tak Sejalan dengan Implementasi di Lapangan
Meski sudah ada rencana, implementasi di lapangan dinilai belum berjalan baik. Menurut Budi, belum semua daya tarik wisata maupun fasilitas pariwisata memiliki fasilitas mitigasi bencana maupun mengelola usaha berbasis mitigasi bencana. Sebagian besar yang sudah menjalankannya adalah mereka yang berskala nasional maupun internasional, seperti hotel bintang 3 ke atas, chain hotel, atau pengelola kawasan pariwisata, seperti Nusa Dua dan Mandalika.
Sementara, daya tarik wisata berbasis masyarakat dan desa wisata yang memiliki fasilitas maupun SOP mitigasi bencana masih sangat terbatas, walau hanya sekadar jalur evakuasi dan titik kumpul. Program pemerintah yang ada, khususnya terkait desa wisata, dianggap belum optimal mendorong ke arah desa tangguh bencana.Â
"Ada daya tarik wisata yang sudah memiliki jalur evakuasi, tetapi begitu ditelusuri ternyata malah diarahkan ke jalan buntu atau berputar-putar tidak jelas, bahkan belum merencanakan titik kumpulnya di mana. Jadi, mitigasi bencana masih menjadi tantangan besar di destinasi pariwisata di Indonesia," ujar Budi.
Yani Adriani, staf P2Par ITB, menyebutkan bahwa biaya adalah faktor utama yang membuat implementasi mitigasi bencana masih belum berjalan di lapangan. "Mitigasi bencana membutuhkan dukungan biaya yang relatif tinggi, dari mulai identifikasi risiko, penyiapan rencana dan SOP, pembangunan infrastruktur dan pengadaan fasilitas mitigasi bencana, peralatan perlengkapan penyelamatan, pelatihan staf secara rutin, sertifikasi peralatan, dan lain-lain," imbuhnya.
Advertisement
Antara Mispersepsi dan Advokasi
Biaya itu pula yang dianggap beban karena hasilnya tidak langsung berpengaruh pada peningkatan harga produk atau layanan. Di sisi lain, pengelola wisata khawatir akan munculnya persepsi negatif dari wisatawan terhadap usahanya bila menerapkan mitigasi bencana.
"Misalnya, wisatawan jadi takut menginap di hotel tersebut karena menganggap hotel rawan kebakaran atau destinasi pariwisata rawan gempa," kata Yani lagi.
Untuk itu, pemerintah diminta berperan lebih untuk menyosialiasikan sekaligus memastikan dunia usaha menjalankan kewajibannya. Staf Ahli Menteri Bidang Manajemen Krisis Kemenparekraf, Fadjar Hutomo, dalam kesempatan terpisah, menegaskan bahwa setiap pengelola dan penyedia jasa wisata wajib meminimalisir risiko bencana dan kecelakaan.
"Bagi pengelola dan penyedia jasa wisata, dalam hal regulasi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif nomor 4 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata," katanya.
"Jika pengelola atau penyediaan menerapkan ini dan melakukan sertifikasi, tentunya hal ini dapat mengurangi tingkat risiko yang akan terjadi di tempat wisata, karena saat proses sertifikasi, mereka akan diaudit oleh auditor pariwisata yang dimiliki oleh Lembaga Sertifikasi yang telah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN)," imbuh pria yang akrab disapa Cak Tom itu.
Banyak Pihak yang Terlibat
Pemerintah, kata dia, selama ini sudah berusaha mendorong pelaku usaha menaati aturan lewat sosialisasi, pelatihan, dan bimtek, 'yang massif kepada pelaku usaha, asosiasi, pemerintah daerah, dan lintas kementerian/lembaga'. Namun, hal itu sepertinya belum membuahkan hasil.
Di samping itu, pemerintah juga mengawasi pelaksanaannya dengan acuan Permen Parekraf No 8/2021 tentang Sanksi Administratif Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Priwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Perka BKPM No 5 tahun 2021 tentang Pedoman dan Tatacara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
"Dalam hal ini, pengawasan dilakukan berdasarkan kewenangan berjenjang, sesuai dengan tingkat risiko dalam perizinan berusaha (rendah dan menengah rendah di kabupaten/kota; menengah tinggi di provinsi dan tinggi serta PMA di pusat)," ujar Cak Tom.
Hal itu lantaran pawisata merupakan urusan pemerintah konkuren, yang berarti dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik tingkat I maupun tingkat II. Pariwisata juga merupakan urusan pemerintahan pilihan.
Pembagian kewenangan di atas kemudian tercermin dalam mekanisme dan kewenangan perizinan berusaha, berdasarkan UU Cipta Kerja No 6/2023 dan PP 5/2021. Dalam kedua regulasi tersebut, ancaman yang dapat diberikan berupa sanksi administratif, dari mulai peringatan hingga pencabutan izin usaha.
Â
Advertisement
Seimbangkan Efek Jera dan Kompensasi
"Jenis pelanggaran yang umum ditemukan selama ini berupa pelanggaran administratif, seperti kesalahan saat melakukan perizinan berusaha dalam hal ini penetapan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia), dan kurang memahami regulasi dalam hal ini pemenuhan kewajiban untuk mensertifikasi usaha," kata Tom.
Itu pun tidak semua aspek jadi kewenangan Kemenparekraf. "Terkait standar Keselamatan pada peralatan angkat dan angkut serta konstruksi, seperti jembatan kaca, lift, elevator, gondola, dll, ini merupakan kewenangan pengawasan lembaga lain, seperti Kemenaker dan KemenPU," sambungnya.
Meski begitu, Tim P2Par ITB menilai belum ada sanksi yang diberikan terhadap pengelola destinasi pariwisata, daya tarik wisata,maupun fasilitas pariwisata yang tidak menerapkan mitigasi bencana. Regulasi yang ditetapkan baru bersifat imbauan dan hanya menjadi salah satu persyaratan untuk memenuhi sertifikasi tertentu di bidang pariwisata, seperti sertifikasi usaha pariwisata dan sertifikasi pariwisataberkelanjutan.
"Regulasi yang lebih tegas seharusnya dapat diberlakukan karena kita berada di negara yang rawan bencana. Akan tetapi, regulasi yang lebih tegas ini harus didukung juga oleh regulasi lainnya yang membantu pengelola destinasi pariwisata agar lebih mudah menyiapkan berbagai elemen mitigasi bencana, serta pemberlakuan apresiasi atau insentif tertentu bagi mereka yang menerapkannya dengan baik.
Â