Liputan6.com, Jakarta - Para pencipta lagu yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) bergabung dalam Focus Group Discussion Tata Kelola Royalti Musik di Jakarta, Selasa (10/12/2024). Selain berdiskusi mencari solusi atas carut-marut pengumpulan dan pendistribusian royalti, sejumlah pencipta lagu juga mengeluarkan uneg-uneg mereka soal ketidakadilan atas hak ekonomi mereka, termasuk Piyu Padi dan Rieka Roeslan.
Piyu yang bernama asli Satriyo Yudi Wahono itu sempat menunjukkan nilai royalti yang diterimanya via LMK/LMKN (Lembaga Manajemen Kelola Nasional). Dalam dokumen digital tertera bahwa royalti bersih setelah dipotong Pph yang dibayarkan lembaga negara itu hanya Rp125.782, lebih sedikit dari angka yang diterima di tahun sebelumnya, yakni Rp349.283.
Baca Juga
"Buat beli senar aja enggak cukup. Senar saya Rp200 ribu. Rp125 ribu itu, kita minum kopi bisa nraktir 10 orang kalau Rp10 ribuan," sindirnya pedas.
Advertisement
Jumlah royalti Piyu itu tidak lebih baik dari Rieka Roeslan. Pencipta lagu sekaligus solois itu membeberkan royalti yang didapatnya sepanjang 2024 hanya Rp147.833. "Kalau dibagi 12 (bulan), hanya Rp10ribuan. Itu pun dibayarnya baru setahun kemudian," keluhnya.Â
Baik Piyu maupun Rieka menyatakan bahwa besaran royalti itu tidak mencerminkan fakta di lapangan bahwa event musik sedang banyak-banyaknya digelar di berbagai tempat. "Saya punya data, dari salah satu provider, Loket, mereka nyebutin ada 951 event. Itu total penjualan tiketnya Rp1,04 triliun. Tapi, tidak ada sama sekali masuk ke pencipta royaltinya," ujar Piyu yang menjabat sebagai Ketua Umum AKSI itu.
Keluhkan Peran LMK yang Tak Berfungsi
Berdasarkan situasi yang dihadapinya, Piyu dan rekannya di AKSI menilai bahwa LMKN tidak kompeten dalam menjalankan fungsinya mewakili para pencipta lagu mengutip royalti dari para pengguna, khususnya penyanyi di sejumlah pertunjukan musik. Padahal, LMK diamanatkan oleh undang-undang hak cipta untuk memungut royalti tersebut.
"Saya royaltinya cuma Rp125 ribu. Pencipta lain juga kurang lebih ratusan ribu seperti itu. Jadi, ada hal yang enggak benar," kata Piyu.
Ia juga menyoroti LMKN yang pasif dalam mengumpulkan data. Menurutnya, lembaga itu semestinya bergerak aktif mendata para pencipta lagu beserta karyanya, termasuk pertunjukan musik yang diselenggarakan, bukan menunggu pelaporan saja. "Setelah kita melihat LMK ternyata tidak berhasil untuk memberikan kesejahteraan buat pencipta, ya kita harus... ajukan untuk perubahan," kata Piyu lagi.
Salah satunya, ia mendorong agar pemerintah memberi kesempatan pencipta lagu mendapatkan royalti langsung tanpa perantara LMK. AKSI sudah mengusulkan penerapan sistem Digital Direct License (DDL). Setiap penampil ataupun penyelenggara event diminta membayarkan lisensi sebelum pertunjukan dimulai dan jadi syarat izin kepolisian keluar.
Â
Advertisement
Usulan Hybrid License
"Real time, karena berkaitan dengan izin. Jadi kalau mau masukin izin acara, izin konser, ini kan ada venue-nya di mana, tanggal berapa, setelah masukin data, ada data untuk lisensi. Lisensinya itu masuk ke DDLI itu. Lagunya apa aja, bayar lisensi, udah. Habis itu baru keluar izin keramaian dari kepolisin," jelas Piyu.
Namun, usulan itu nyatanya terbentur oleh aturan Undang-undang Hak Cipta yang menyebut LMK sebagai pihak yang diamanati pengumpulan royalti. Untuk itu, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Dhani sekaligus Dewan Pembina AKSI itu mengusulkan agar ada hybrid license lewat surat keputusan bersama lintas kementerian, terutama Kementerian Hukum, Kementerian Kebudayaan, dan Polri.
Selain itu, ia dan rekan-rekannya di Komisi X DPR segera mendorong revisi Undang-Undang Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta pada 2025. Ia mengaku usulan revisi itu sudah digulirkan di Badan Legislatif DPR. "Selama 10 tahun ini, pengarang lagu tertinggal dalam urusan royalti, live event, pertunjukan musik. Padahal, pertunjukan musik di Indonesia sekarang ini lagi rame-ramenya... Yang makmur hanya penyanyi," ujarnya.
Â
Tanggapan Menekraf
Menanggapi hal itu, Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya memastikan akan mengomunikasikan masukan dari para pencipta lagu dengan kementerian terkait.Â
"Ini domainnya tidak hanya di satu kementerian, perlu kolaborasi Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Hukum, Kementerian Kebudayaan, dan mungkin ada beberapa kementerian lainnya. Tapi semangatnya adalah bagaimana solusi yang ditawarkan oleh ekosistem musik ini bisa didengarkan, bahkan mungkin bisa dipakai menjadi kebijakan pemerintah," ujarnya.
Dengan keluarnya SKB nanti, ia berharap kebijakan itu akan bisa memotong kompas hambatan yang selama ini terjadi. Dengan hybrid license, pihak pengguna bisa langsung membayar lisensi kepada penciptanya (direct license) atau bisa juga membayar via pihak ketiga lewat sistem blanket license.
Yang pasti, Riefky mengakui bahwa ada masalah dalam tata kelola royalti musik, yakni belum efisien dan belum akuntabel. Dengan masukan beragam pihak, ia menyadari bahwa hal itu perlu dibenahi agar lebih akuntabel dan lebih efisien. "Sehingga, bisa benar-benar tepat sasaran juga kepada pengarang lagunya," ujarnya.
Â
Advertisement