Sukses

Budaya Maritim Suku Bajau Didorong agar Dapat Pengakuan Warisan Budaya Takbenda UNESCO

Untuk pertama kalinya, komunitas Suku Sama-Bajau, atau dikenal sebagai Suku Bajau atau Suku Bajo, dari seluruh Indonesia dan Asia Tenggara berkumpul dalam Kongres Nasional Sama-Bajau 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Kongres Nasional Sama-Bajau 2024 yang berlangsung pada 12--14 Desember 2024 di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, resmi berakhir. Kongres tersebut diklaim sebagai tonggak penting dalam menyatukan masyarakat Suku Sama-Bajau, lebih populer dikenal sebagai Suku Bajo, yang tersebar di 14 provinsi di Indonesia.

Dalam kongres bertema 'Sama-Bajau dan Orang Sulawesi: Budaya Bahari dan Pangan Laut' tersebut, untuk pertama kalinya Suku Sama-Bajau dari seluruh Indonesia dan perwakilan Asia Tenggara mendiskusikan dan menginisiasi kolaborasi untuk pemajuan budaya maritim, pelestarian lingkungan pesisir, dan penguatan identitas suku laut.

"Saya berharap agar  kongres ini dapat menjadi inspirasi dalam upaya perlindungan budaya berkelanjutan serta menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh komunitas Sama-Bajau," kata Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdi Mastura, yang membuka acara secara daring, dikutip dari rilis yang diterima Tim Lifestyle Liputan6.com, Senin (16/12/2024).

Salah satu hal yang disepakati dalam kongres tersebut adalah peningkatan kolaborasi lintas negara, khususnya negara-negara di Asia Tenggara, untuk penghargaan dan penguatan budaya Bajau sebagai shared intangible culture. Mereka juga sepakat memperkuat kerja sama antara komunitas Sama-Bajau dan berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan Asia Tenggara.

Ada tiga hal yang dikolaborasikan, salah satunya para peserta salah satunya sepakat untuk mendorong pengakuan budaya maritim Sama-Bajau sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Mereka sepakat untuk memperkuat jaringan komunikasi berkelanjutan. Para peserta juga menyepakati program kerja bersama di bidang pendidikan berbasis budaya dan mata pencaharian berkelanjutan.

 

2 dari 4 halaman

Deklarasi Luwuk

Kongres itu juga menghasilkan Deklarasi Luwuk sebagai komitmen bersama. Ada tiga poin yang disampaikan, meliputi:

 Melestarikan tradisi dan identitas budaya Suku Sama-Bajau.

 Mengoptimalkan pemanfaatan budaya maritim Bajau untuk meningkatan konektivitas di Nusantara, peningkatan ketahanan pangan dengan produksi perikanan tangkap dan budidaya, serta meningkatkan tata Kelola pesisir/perikanan yang berkelanjutan dan berkeadilan

 Mendorong advokasi isu-isu diskriminasi, marginalisasi, serta pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan lingkungan pesisir dan kelestarian laut.

Kegiatan kongres juga diramaikan beragam sesi diskusi yang membahas antara lain identitas Suku Sama-Bajau dan tantangan dalam era modernisasi; keberlanjutan ekosistem laut sebagai sumber kehidupan komunitas pesisir; dan potensi pangan laut dalam kerangka budaya bahari Nusantara dan Asia Tenggara. Peserta kongres juga diajak mengunjungi pemukiman Suku Sama-Bajau di Kampung Jayabakti untuk melihat langsung kehidupan sehari-hari dan mempererat ikatan kekeluargaan. 

Kongres tersebut difasilitasi Kementerian Kebudayaan dan melibatkan BRIN, komunitas Suku Bajau, akademisi, peneliti, NGO dalam dan luar negeri, serta tokoh dari Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Kongres ini turut dihadiri peneliti asing dari Australia dan Denmark, menunjukkan perhatian dunia terhadap budaya maritim Indonesia.

3 dari 4 halaman

Asal-usul Suku Bajau

Mengutip kanal Hot Liputan6.com, Suku Bajo atau yang juga dikenal dengan nama Suku Sama-Bajau merupakan suku bangsa yang berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Mereka terkenal sebagai suku nomaden yang hidup di atas laut, dikenal juga sebagai gipsi laut.

Bahasa yang digunakan oleh Suku Bajo adalah Bahasa Sama-Bajau. Sejarah mencatat bahwa Suku Bajau telah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk negeri Sabah dan berbagai wilayah di Indonesia, sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka juga diakui sebagai anak negeri di Sabah.

Migrasi suku-suku di Kalimantan diyakini berasal dari arah utara, yakni Filipina, pada zaman prasejarah. Suku Bajo yang mayoritas beragama Islam, merupakan gelombang migrasi terakhir dari arah utara Kalimantan.

Mereka memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan, serta menduduki pulau-pulau di sekitarnya. Hal ini terjadi lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis, seperti suku Bugis dan suku Mandar.

4 dari 4 halaman

Persebaran Suku Bajo

Saat ini, Suku Bajo telah menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia, terutama Indonesia Timur, bahkan sampai ke Madagaskar. Mereka umumnya telah menetap dan berbaur dengan suku-suku lain di daerah-daerah yang mereka huni.

Beberapa wilayah di Indonesia yang terdapat Suku Bajo antara lain Kalimantan Utara (Nunukan, Tana Tidung, Tarakan, dan Bulungan), Kalimantan Timur (Berau, Bontang, Balikpapan, dll.), Kalimantan Selatan (kabupaten Kotabaru disebut orang Bajau Rampa Kapis), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo, dan sekitarnya), serta Sapeken di Sumenep. Mereka juga dapat ditemui di wilayah Indonesia timur lainnya.

Suku Bajau memiliki kehidupan yang unik dengan sebagian besar dari mereka tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas tiang di perairan dangkal. Ada juga sebagian Suku Bajau yang hidup sebagai penghuni perahu. Di antara mereka, komunitas lokal terdiri dari kelompok-kelompok perairan yang tersebar yang terdiri dari keluarga-keluarga yang anggotanya secara teratur kembali, antara interval penangkapan ikan, ke tempat pengikatan bersama yang umum.

Biasanya, dua hingga enam keluarga akan bergabung dalam aliansi untuk secara teratur menangkap ikan dan berkumpul bersama, seringkali berbagi makanan, jaring dan perlengkapan serta menggabungkan tenaga kerja. Saat ini, kegiatan penangkapan ikan utamanya untuk dijual ke pasar. Aktivitas penangkapan ikan bervariasi dengan pasang surut air laut, monsun dan angin lokal, arus, migrasi ikan pelagis, dan siklus bulanan lunar.

Video Terkini