Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai awal tahun 2025 memicu beragam kekhawatiran, termasuk dampaknya pada sektor pariwisata. Meskipun pemulihan pariwisata pasca-pandemi Covid-19 menunjukkan perkembangan positif, namun ada kemungkinan kebijakan ini berpotensi memperlambat laju pertumbuhan pariwisata yang belum sepenuhnya pulih. Lalu, apa reaksi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mengenai PPN 12 persen?
Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana mengaku tetap optimistis dengan pertumbuhan bidang pariwisata karena diyakini semakin meningkat dari tahun ke tahun usai pandem. Meski begitu Menpar mengakui ada kemungkinan kebijakan tersebut bakal berdampak pada sektor pariwisata.
Baca Juga
"Namun sejauh ini belum ada informasi keluhan dari pelaku usaha sektor pariwisata terkait kebijakan tersebut, mungkin juga karena baru diterapkan di tahun depan. Jadi kita belum bisa memprediksi bagaimana dampak PPN 12% terhadap sektor pariwisata,” terangnya dalam Jumpa Pers Akhir Tahun (JPAT) di Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat, Jumat (20/12/2024).
Advertisement
“Yang jelas kita meyakini keputusan pemerintah ini pasti sudah lewat berbagai pertimbangan yang matang. Ya itu kita akan lihat ya. Tapi nanti kalau ada hal-hal yang perlu diperbaiki pasti akan dilakukan. Kita akan lakukan pertemuan buat membahasnya," sambungnya.
Menpar Widianti menambahkan, Kemenpar juga berusaha menyiapkan sejumlah langkah unrtuk mensiasati naiknya harga di berbagai sektor. Di antaranya dengan rencana membuat paket-paket wisata yang lebih terjangkau dan menggandeng para stakeholder agar harga-harga seperti tiket perjalanan bisa tetap terjangkau.
"Ada hal-hal lain yang membuat kita tetap optimistis, walaupun ada kenaikan PPN. Minat masyarakat terhadap wisata tetap besar dan terbukti selama ini tidak terlalu berpengariuh dalam berbagai situasi. Seperti sekarang jni ada konflik di beberapa negara, tapi tetap saja banyak yang traveling ke luar negeri," timpal N Made Ayu Marthini selaku Deputi Bidang Pemasaran Kemenpar dalam kesempatan yang sama.
Diprediksi Tetap Banyak yang Berwisata
"Di masa pandemi saja walaupun tidak bisa berwisata tapi banyak yang staycation. Jadi mudah-mudahan tidak begitu terdampak dan kita optimistis tetap banyak yang berwisata,” lanjutnya.
Pendapat senada dikatakan Vinsensius Jemadu selaku Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kemenpar. Ia juga optimistis akan tetap banyak orang yang berwisata karena sudah seperti kebutuhan prioritas bagi sebagian masyarakat.
"Dengan kenaikan PPN 12 persen, kemungkinan masyarakat banyak yang mengurangi pengeluaran untuk barang-barang yang mewah dan terkena pajak tinggi. Pengurangan itu bisa saja dialihkan ke pos traveling atau berwisata baik ke luar negeri maupun di dalam negeri," jelas pria yang akrab disapa Vinsen ini.
"Bisa saja yang tadinya banyak ke luar negeri nantinya lebih memilih berwisata di dalam negeri saja, karena harapnnya tentu lebih banyak lagi yang berwisata di dalam neger," tambahnya.
Di sisi lain, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyebut harga hotel akan meningkat imbas kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Bahkan, beberapa kategori hotel atau restoran diprediksi bisa bangkrut.
Advertisement
Sektor Pariwisata yang Terkena PPN
Dia menerangkan, beban PPN 12 persen itu secara langsung akan menjadi tanggungan konsumen. Pasalnya, setiap pasokan yang digunakan oleh hotel dan restoran turut terkena PPN. Alhasil, angka kenaikannya bisa lebih tinggi.
"Soal hotel itu kan suplainya macam-macam ya, yang suplai ke hotel dan restoran itu, dan itu pasti kena PPN semua," kata Sutrisno, ditemui di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024, melansir kanal Bisnis Liputan6.com.
Dia mengatakan, kenaikan harga itu turut berpengaruh pada tingkat okupansi hotel. Dengan harga yang tinggi, maka permintaan dari masyarakat akan turun. Belum lagi, hotel dihadapkan dengan pemangkasan anggaran perjalanan dinas 50 persen. Artinya, kegiatan dinas instansi di hotel akan berkurang.
"Jadi implikasinya apa? Kalau kemudian PPN naik itu kan pasti dibebankan kepada harga. Kalau harga naik, permintaan akan turun. Sementara dari sisi permintaan sekarang ini, adanya pembatasan 50% perjalanan dinas itu dihilangkan, itu saja sudah sangat memukul, ditambah lagi dengan harga naik," terangnya.
Dengan kenaikan harga tadi, biaya yang ditanggung konsumen juga meningkat. Dari sisi pengusaha, hal tersebut akan membebani operasional. "Semakin tidak ada orang yang kemudian menginap atau mengunjungi objek pariwisata. Itu implikasi dari PPN itu, belum lagi nanti kerumitan dari sisi administrasinya," ucapnya.
Dampak Terhadap Okupanasi Hotel
Lebih lanjut, Sutrisno menyampaikan ada kemungkin hotel dan restoran kategori tertentu bisa bangkrut karena tingginya beban operasional. Mulai dari kenaikan PPN hingha kewajiban pembayaran upah pegawai. "Itu pasti, pasti (jumlah hotel berkurang). Kalau harga naik, permintaan akan turun. Itu hukum ekonominya akan begitu," ujarnya.
Dia menerangkan, beban perusahaan dimulai dari kenaikan upah yang bisa mencapai 9 persen sebagai efek dari penetapan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen. Kemudian, dengan penerapan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendatang.
"Harga kan pasti akan naik. Naiknya karena apa? Satu, karena beban PPN. Dua, karena beban upah yang terlalu tinggi, 9 persen . Itu mau dibebankan ke mana kalau tidak dibebankan kepada harga? Kalau harga naik, orang tidak beli," jelas dia.
Dia mencatat, okupansi hotel kategori bintang 4 dan bintang 5 saat ini saja hanya sekitar 55 persen. Sementara itu, hotel dengan kelas dibawahnya hanya terisi 40 persen. Hotel-hotel ini yang diprediksi kena dampak lebih berat. Risikonya tadi adalah bangkrutnya usaha tersebut.
Advertisement